Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beruang Tanah
Beruang tanah melaju seperti badai, langkah-langkah raksasanya mengguncang tanah hingga terasa getarannya di udara. Gerobak tempat Wira dan kedua peliharaannya berada akan hancur seketika jika makhluk itu sampai menabraknya.
Kinta, berinisiatif hendak mengalihkan perhatian sang monster. Namun Wira menghentikannya, dengan kecepatan lari dan tubuh beruang sebesar itu, Wira tahu rencana itu tidak akan berhasil menghindari tabrakan.
Dengan cepat, ia meraih senapannya dan melompat ke atas gerobak untuk mendapatkan sudut tembak yang jelas. Matanya tajam menatap titik vital di tubuh sang monster.
"Tegakkan kepalamu dan lihat aku," gumamnya penuh determinasi. "Aku akan memastikan kau merasakan sengatannya."
Mata Wira terkunci pada monster itu, membidik salah satu matanya. Beruang tanah mengamuk, aura intimidasi yang keluar dari makhluk itu begitu kuat hingga seolah menekan udara di sekitarnya. Namun, Wira tidak goyah. Baginya, ancaman ini hanyalah hembuskan ringan dibanding kekuatan Harimau Titan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Wira menarik pelatuk senapannya, peluru melesat cepat dan membidik mata beruang tanah dengan presisi sempurna. Namun, suara benturan logam bergema di udara saat peluru menghantam kelopak mata monster itu, sama sekali tak melukainya.
Wira mengerutkan kening, jantungnya berdebar. 'Bahkan titik lemahnya sekuat ini?' pikirnya.
Beruang tanah terus melaju dengan ganas, jaraknya semakin dekat. Nafas panas dan raungan ganasnya membuat tanah bergetar. Wira menyadari bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya sebelum gerobaknya dihancurkan berkeping-keping.
Wira meminta Kinta dan Sumba meninggalkan grobak jika ia gagal menghentikan beruang tanah di tembakan berikutnya. Ia menggenggam senapan lebih erat, mata bersinar penuh tekad. "Kalau begitu, bagaimana jika aku memperkuatnya dengan Ki?"
Ia menarik napas dalam, mengalirkan energinya. Ki dari tubuhnya berkumpul di perut, lalu merambat ke tangan, mengisi senapan seperti aliran listrik yang liar namun terkendali. Logam senapan itu bergetar seolah hampir meleleh karena energi yang mengalir terlalu besar untuk ditahan.
Bang!
Suara tembakan menggema di seluruh hutan, memecah keheningan dengan suara seperti halilintar. Cahaya terang dari proyektil yang dipenuhi energi Ki melesat cepat, menghantam tepat ke mata kanan beruang tanah. Raungan kesakitan terdengar menggelegar, mengguncang pepohonan dan membuat burung-burung beterbangan.
Monster raksasa itu kehilangan keseimbangan, tubuh besarnya melenceng dari jalur. Ia menabrak beberapa pohon besar, menyebabkan suara patahan dan debu berhamburan di udara. Tubuhnya terus meluncur hingga akhirnya berhenti dengan keras, menghantam tebing di kejauhan.
Groaarrr!
Raungan kembali terdengar, kali ini penuh dengan amarah dan rasa sakit. Tapi aura intimidasi yang tadi begitu menekan kini telah hilang, tergantikan oleh kelemahan.
Wira menarik napas lega, tapi matanya tertuju pada senapan di tangannya. Senjata itu hancur, tak mampu menahan energi Ki yang telah ia salurkan. Logamnya retak di beberapa bagian, dan larasnya terlihat hancur tidak kuat menahan ledakan energi.
"Jadi senjata api tak cocok untuk Ki," pikirnya, memasang ekspresi datar meskipun di dalam hatinya ia merasa kecewa. Ia mengembalikan senapan itu ke grobak, kemudian menoleh pada Kinta serta Sumba yang menatapnya penuh semangat.
"Baiklah, sepertinya perburuan dimulai."
Kinta menggonggong antusias, sementara Sumba menggeram pelan, menunjukkan giginya yang tajam. Wira mengambil berbagi senjata dan bahan peledak dari dalam tas perlengkapan.
Karena merasa bahwa senjata jarak dekat adalah pilihan terbaik untuk memaksimalkan penggunaan Ki miliknya, Wira pun meninggalkan senjata api dan lebih memilih pedang atau tombak.
Tanpa membuang waktu, mereka meninggalkan gerobak. Wira, bersama Kinta dan Sumba, bergerak cepat menuju tempat di mana beruang tanah itu berada.
***
Beruang Tanah menggeram liar, darah menetes dari mata kanannya yang hancur. Rasa sakit bercampur amarah menjalar di tubuhnya. Telinganya menangkap suara gonggongan Kinta dan geraman Sumba yang mendekat. Meski penglihatannya terganggu, kemampuan Seismik Sense miliknya memungkinkan ia merasakan setiap getaran di tanah.
Dengan kekuatan penuh, beruang itu menghantam tanah dengan cakarnya. Retakan menjalar cepat seperti riak air yang meluas dari pusat pukulan. Wira, yang peka terhadap serangan ini, melihat gelombang energi tanah menyebar dengan cepat.
“Lompat sekarang!” serunya pada Kinta dan Sumba.
Tanpa ragu, kedua peliharaannya melompat ke udara. Seketika itu juga, tanah di sekitar mereka mencuat tajam, membentuk pasak-pasak runcing setinggi satu meter yang keluar dari perut bumi. Formasi ini sangat berbahaya, jika mereka telah melompat maka tamatlah riwayat ketiganya.
Saat gravitasi mulai menarik mereka ke bawah, Wira bergerak cepat. Dengan tangannya yang cekatan, ia mengeluarkan tiga granat dan melemparkannya ke tanah di bawah mereka.
“Hancurkan pasak dan buka jalannya!” gumam Wira.
Ledakan beruntun mengguncang udara.
BOOM! BOOM! BOOM!
Pasak-pasak tanah hancur berkeping, membuka jalur aman untuk pendaratan mereka. Debu tebal membubung, menutupi pandangan. Namun, beruang tanah tetap bisa merasakan posisi mereka melalui getaran tanah. Meski begitu, gelombang ledakan membuat indra seismiknya kacau.
Beruang itu meraung frustrasi, kepanikan mulai menjalari tubuhnya.
Dari balik kepulan debu, muncul sebuah siluet bergerak cepat ke arahnya. Tatapan tajam dan penuh ancaman terlihat jelas meskipun dalam bayang-bayang.
“GRROAAARRR!” Beruang Tanah memekik marah.
Dalam kepanikan, ia mengangkat kedua cakarnya dan membentuk tembok tanah besar di depannya untuk perlindungan. Namun, sebelum tembok itu sepenuhnya terbentuk, suara gemuruh terdengar.
DUARRR!
Tembok tanah bergetar hebat, retakan menjalar cepat sebelum akhirnya runtuh berkeping-keping. Dari balik reruntuhan, Wira berdiri dengan tinjunya yang masih mengepulkan energi Ki, wajahnya tersebut puas.
“*Untuk apa kau bersembunyi? Bukankah kau yang awalnya ingin memburu kami?” kata Wira dengan nada provokatif, matanya tajam menantang.
Beruang Tanah semakin murka. Dengan geram, ia mengayunkan cakarnya yang besar ke arah Wira, serangan penuh amarah yang dapat meremukkan batu. Namun Wira, dengan refleks yang terasah, melompat ke samping, menghindari serangan maut itu dengan gesit.
Saat beruang itu lengah setelah serangan yang gagal, dari belakang, Kinta menerjang, giginya menyasar leher monster raksasa itu yang tidak dilindungi armor tanah. Sumba menyusul dengan tubrukan, membidik titik-titik lemah di tubuh lawan.
Raungan kesakitan kembali menggema di hutan. Beruang Tanah merasa rasa sakit dari serangan Kinta dan Sumba. Wira tahu ini adalah momen yang tepat untuk serangan pamungkas. Dengan energi Ki membungkus tubuhnya, ia melesat cepat bagaikan peluru, tinjunya siap menghantam titik vital.
Beruang Tanah menggeram marah, cakarnya sibuk menahan dan menyerang balik serangan dari Kinta dan Sumba. Serangan-serangan lincah dari kedua sahabatnya menciptakan celah yang Wira tunggu-tunggu.
Wira menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, memusatkan energi Ki di kaki dan lengan kanannya. Rasanya seperti gelombang badai yang ditahan dalam satu titik. Matanya menyala penuh energi.
BLARRR!
Tanah retak dan meledak di bawah kakinya ketika ia melompat dengan kekuatan penuh. Tubuhnya melesat bagai peluru, meninggalkan jejak debu dan serpihan tanah di belakangnya. Kecepatannya begitu mencengangkan hingga angin di sekitarnya bergetar hebat.
Beruang Tanah memutar kepalanya, matanya melebar dalam kepanikan. Makhluk raksasa itu baru sadar ada bahaya yang tak terelakkan mendekat. Mulutnya terbuka lebar, raungan tertahan di tenggorokannya.
Monster itu sadar jika tidak menghindari serangan, sehingga yang dia lakukan hanyalah memperkuat pertahanan armor tanahnya.
Wira berteriak, suaranya menggelegar bersamaan dengan lonjakan energi yang membungkus lengannya dengan aura berwarna merah.
"Jurus Raksanjukel!"
BLEDAM!
Pukulan Wira menghantam dada Beruang Tanah dengan dahsyat, memicu ledakan udara yang mengguncang sekeliling. Tubuh raksasa itu terlempar ke belakang, menghancurkan belasan pohon dalam jalur jatuhnya.
Debu dan serpihan tanah bertebaran, menyelimuti medan pertempuran dalam kabut kehancuran. Hening sejenak, hanya suara daun-daun yang gugur menyusul kekuatan luar biasa itu.
Wira berdiri tegap, nafasnya memburu, matanya tetap tajam memandang ke arah di mana Beruang Tanah tergeletak tak bergerak.
mohon berikan dukungannya