Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Malam itu di sebuah hotel mewah Kota J, Sabrina Alexandra berdiri limbung di depan pintu kamar yang salah. Pikirannya kacau, tubuhnya lemah akibat minuman yang entah siapa mencampurnya. Dengan langkah yang tak stabil, ia membuka pintu dan masuk.
Sabrina yang biasa dipanggil Bina, dengan langkah sempoyongan, akhirnya menemukan kamarnya di hotel setelah berjuang melawan efek alkohol dan obat perangsang yang tanpa sengaja ia konsumsi. Matanya setengah terbuka, dan pikirannya bercampur aduk. Ketika ia melihat pintu kamar terbuka sedikit, ia berpikir itu adalah kamarnya. "Akhirnya..." gumamnya pelan.
Tanpa berpikir panjang, ia masuk, menutup pintu, dan langsung merebahkan diri di kasur empuk yang seolah memanggilnya. "Ah, nyaman banget," katanya sambil menggeliat, tubuhnya mengikuti rasa hangat dan lembut dari tempat tidur itu. Gaunnya yang pendek tersingkap, dan rambut panjangnya berantakan, tapi Sabrina tidak peduli.
Di balik pintu kamar mandi yang berembun, seorang lelaki berusia hampir menginjak kepala tiga tampak berdiri di bawah pancuran air. Tetesan air yang mengalir membasahi tubuhnya, menghapus lelah setelah seharian menjalankan tugasnya sebagai seorang dai. Sualaiman atau Aiman, nama lelaki itu, sedang menikmati momen sunyi dalam kesibukannya mengisi kajian di wilayah kota J.
Hari ini adalah hari ketiga ia berada di kota itu, jauh dari rutinitasnya di Malang. Agenda dakwah yang padat memaksanya menginap di hotel sederhana dekat lokasi kajian. Aiman bukan tipe orang yang suka kemewahan, sehingga kamar yang sederhana ini sudah lebih dari cukup baginya.
Usai mematikan pancuran, ia meraih handuk yang tergantung di dekat wastafel. Wajahnya tampak tenang meski lelah, sisa energi setelah mengisi kajian di hadapan ratusan jamaah. Hatinya bergemuruh memikirkan tugas yang belum selesai, namun ia tetap mensyukuri kesempatan berdakwah yang terus datang kepadanya.
Mengeringkan rambut dengan handuk, Aiman berjalan ke pintu kamar mandi. Ia tidak menyadari bahwa sesuatu telah berubah di dalam kamarnya. Saat pintu terbuka, udara dingin dari AC menyentuh kulitnya. Namun, bukan hanya udara dingin yang menyambutnya.
Pandangan Aiman langsung tertuju pada sosok tak dikenal yang terbaring di atas ranjang. Ia tertegun. Seorang perempuan, dengan pakaian minim dan posisi yang sangat... tidak pantas, tergeletak di sana. Tubuhnya menggeliat pelan, membuat sprei yang rapi menjadi berantakan.
" Astaghfirullah!" seru Aiman, langsung mundur ke dinding, matanya membelalak. Ia berpikir keras, mencoba memahami apa yang terjadi. Siapa wanita ini? Kenapa ada di sini?
"Ayo, bangun!" Aiman mendekat dengan hati-hati, mengguncang bahu wanita itu, berharap ia sadar dan segera pergi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sabrina membuka matanya sedikit, memandang Aiman dengan tatapan kabur. Senyum kecil menghiasi wajahnya, dan ia kembali menggeliat, tubuhnya bergetar seperti menolak kenyataan. "Hmmm... lo siapa sih? Nggak usah ganggu," katanya dengan suara manja.
"Mbak! Ini kamar saya! Bangun, dan tolong keluar sekarang!" Aiman berusaha menjaga jarak, tetapi Sabrina tiba-tiba meraih tangannya, memegangnya erat seperti tak ingin dilepaskan.
"Nyaman banget... jangan ribut, gue cuma mau tidur," ucap Sabrina, sambil menarik tangan Aiman lebih dekat.
"Astaghfirullah, apa-apaan ini! Lepaskan, Mbak!" Aiman berusaha melepaskan diri, tetapi Sabrina malah semakin mendekat. Tubuhnya, yang lemas karena pengaruh obat, bergerak dengan menggoda tanpa ia sadari.
Aiman merasa jantungnya berdebar keras. Wajahnya memerah, dan ia berkali-kali memohon perlindungan kepada Allah dalam hati. Tapi situasinya semakin sulit ketika Sabrina duduk dan memandangnya dengan tatapan kabur namun penuh godaan.
"Astaghfirullah... maafkan saya, ini darurat," gumamnya pelan sebelum menepuk bahu Sabrina dengan hati-hati.
Namun, bukannya bangun, Sabrina malah menggeliat, semakin merosot ke arah pinggir ranjang. "Mbak, ayo bangun. Mbak, tolong keluar dari kamar saya," kata Aiman, suaranya terdengar tegas.
Sabrina perlahan membuka matanya yang setengah terpejam, wajahnya menyunggingkan senyum lemah. "Hmm... Mas, tangan lo kok enak ya, hangat gitu..." katanya sambil memiringkan kepala.
"Mbak! Jangan ngomong begitu!" seru Aiman dengan suara hampir melengking, buru-buru menarik tangannya. Tapi Sabrina justru meraih lengannya kembali, mencengkeram dengan kuat.
"Mas, nggak usah malu-malu. Gue tahu lo juga suka gue, kan? Lihat nih... gue cantik banget, kan?" Sabrina berkata sambil mendekatkan wajahnya ke Aiman. Matanya yang redup menatap penuh percaya diri, sementara aroma minuman keras bercampur parfumnya tercium menyengat.
Aiman mundur, tapi Sabrina terus mendekat, seperti kucing yang mengincar mangsanya. "Mbak, ini nggak benar! Kamu harus pergi!" teriak Aiman, berusaha menjaga jarak.
Namun, sebelum ia sempat menghindar lebih jauh, Sabrina tiba-tiba meraih ke arah bawah, tepat di tengah tubuh Aiman. Dalam sekejap, wajah Aiman memucat, matanya membelalak seperti tersambar petir.
"ASTAGHFIRULLAH! MB... MBAK! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" serunya panik, langsung melompat mundur sambil memegang handuknya erat-erat.
Sabrina hanya terkekeh pelan, wajahnya terlihat puas meski pikirannya masih dikuasai pengaruh mabuk. "Hahaha, Mas, kok lucu ya... empuk banget," katanya, tertawa seperti tidak bersalah.
Aiman hampir kehilangan akal. Ia melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding, wajahnya penuh kengerian dan rasa malu. "Ya Allah, tolong hamba-Mu ini! Apa yang harus saya lakukan?!" bisiknya dengan suara putus asa.
Tapi Sabrina tampaknya tidak berniat berhenti. Ia bangkit perlahan dari ranjang, berjalan mendekati Aiman dengan langkah sempoyongan. "Mas, kok lo takut banget sih? Gue nggak gigit kok... kecuali kamu mau, di emut." katanya, matanya berkilat nakal.
Aiman merasa dirinya berada di ambang kehancuran. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menghalangi Sabrina dengan kedua tangannya. "Jangan mendekat, Mbak! Tolong sadar! Ini... ini nggak benar! Kita nggak kenal! Kamu mabuk!"
Namun, Sabrina hanya tersenyum miring, mendekatkan wajahnya ke Aiman. "Mas, kita nggak kenal sekarang, tapi nanti juga bakal kenal kan?" bisiknya, suaranya terdengar menggoda.
Aiman memejamkan mata, tubuhnya nyaris lumpuh karena bingung dan malu. Dalam hati ia terus memohon pertolongan Tuhan, berharap seseorang akan masuk ke kamar ini dan menyelamatkannya dari situasi yang memalukan ini.
Setelah perjuangan panjang dan banyak istigfar, akhirnya Aiman berhasil membuat Sabrina berhenti meronta-ronta seperti ulat bulu terkena obat nyamuk. Dengan napas yang masih tersengal, ia berdiri menjauh, memastikan jaraknya cukup aman dari jangkauan tangan nakal perempuan ini.
Aiman sudah mengenakan pakaian lengkap, Tapi entah kenapa, ketika Sabrina mulai duduk tenang di ujung ranjang, rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang basah oleh keringat justru memberikan kesan... lain. Sesuatu yang sulit ia jelaskan.
"Gue mau curhat dong." Sabrina tiba-tiba membuka suara, suaranya terdengar lebih normal meski masih ada sedikit nada melantur.
Aiman hanya bisa duduk terpaku di tepi ranjang, mencoba mencerna curahan hati yang tiba-tiba mengalir dari mulut Sabrina seperti banjir bandang. Suasana kamar yang gelap, kini hanya diterangi lampu meja kecil di sudut ruangan, terasa semakin surreal dengan percakapan yang tak pernah ia bayangkan.
Sabrina, dengan posisi setengah rebah dan tangan terentang di atas kepala, mulai bicara ngalor-ngidul, matanya sesekali menatap langit-langit sambil tertawa kecil sendiri. "Lo tau, Om? Gue tuh dulu anak baik-baik loh! Beneran! Gue tuh kayak malaikat kecil yang polos banget. Tapi ya namanya hidup, ketemu temen laknat yang suka ngajak 'coba ini, coba itu,' akhirnya ya jadilah gue begini!" katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk yang goyah.