Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Rencana Jahat
Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Arlan menatap Widi dan Terry dengan tegas, menegaskan bahwa meskipun bukti yang ada menunjukkan mereka telah tidur bersama, ia tak akan menikahi Terry. Keputusan itu diambil setelah melihat bagaimana interaksi Adriel dan Terry.
“Aku tidak pernah menyukai Terry,” jawab Arlan tegas. “Dan setelah melihat bagaimana Adriel tak menyukainya, aku semakin yakin. Aku tidak akan menikahi wanita yang tidak disukai Adriel. Apalagi setelah aku tahu Terry tidak pernah benar-benar tulus pada Adriel.”
“Kau bicara omong kosong apa ini?” Widi menatapnya penuh ketidakpercayaan. “Jangan bilang kau—” Ia menatap Arlan tajam. “Apa kau mau menikahi Alika? Mama tak akan pernah setuju, Arlan! Sampai mati pun Mama tak akan merestuinya!”
Arlan menatap ibunya tanpa ekspresi, tetapi suaranya begitu tegas. “Kalau itu bisa membuat Adriel tumbuh besar dengan kasih sayang seperti dari ibu kandungnya sendiri, maka aku akan melakukannya.”
“Arlan!” Widi membentak, emosinya meluap. Sedangkan Terry, matanya terbelalak mendengar pernyataan Arlan.
Namun, Arlan tak menggubris. Ia berbalik dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Terry dan ibunya.
Widi menggeram, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Dadanya naik turun menahan emosi yang hampir meledak. Ia tidak percaya Arlan lebih memilih wanita seperti Alika daripada Terry.
Terry yang sejak tadi diam, akhirnya mendekat dengan ekspresi khawatir. “Tante…” panggilnya pelan.
“Diam kau!” bentak Widi tajam, membuat Terry terlonjak mundur. “Semua ini juga karena kamu terlalu lemah! Kalau dari awal kamu bisa membuat Arlan benar-benar menginginkanmu, aku tidak akan perlu repot seperti ini!”
Terry menggigit bibirnya. Matanya sedikit memerah karena marah dan frustasi, tapi ia menahannya. “Aku sudah melakukan segalanya, Tante,” ucapnya dengan suara bergetar. “Tapi Arlan… dia selalu melihat Alika. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, dia tetap kembali ke perempuan itu.”
Widi menghirup napas dalam, mencoba meredam emosinya. “Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi aku tidak akan membiarkan Arlan menikahi Alika.”
Ia berjalan ke sofa dan duduk dengan kasar, tangannya mengepal di atas pahanya. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya berputar cepat. Jika Arlan sampai benar-benar menikahi Alika, maka ia akan kehilangan kendali atas putranya. Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Terry menatap Widi dengan tatapan penuh harap. “Lalu, apa yang harus kita lakukan, Tante?”
Widi terdiam sejenak sebelum akhirnya menatap Terry dengan sorot mata tajam. “Kita harus membuat Alika pergi. Untuk selamanya.”
Bik Murni, pelayan setia Arlan, yang hendak merapikan vas bunga di dekat ruang keluarga mendadak menghentikan gerakannya. Tangannya mengepal di balik meja saat telinganya menangkap percakapan di dalam ruang keluarga.
"Tante benar. Dia sudah terlalu lama berada di rumah ini. Jika dibiarkan, dia benar-benar akan menjadi istri Arlan,” suara Terry terdengar tajam, penuh kebencian.
“Kita harus bertindak hati-hati,” sahut Widi dengan nada lebih tenang, tetapi tetap dipenuhi niat licik. “Aku sudah memikirkan cara. Kita akan membuatnya seolah-olah Alika menghilang karena keinginannya sendiri. Begitu dia pergi, Adriel akan terbiasa tanpanya, dan Arlan akhirnya akan menikah denganmu.”
Jantung Bik Murni berdegup kencang. Mata tuanya melebar, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia mengintip dari celah pintu dan melihat Widi serta Terry tengah membicarakan rencana keji mereka dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan.
Terry menelan ludah, matanya menatap Widi penuh harap sekaligus penasaran. “Bagaimana caranya, Tante?” tanyanya pelan, tetapi nadanya jelas mengandung kegelisahan.
Widi menyandarkan punggungnya ke sofa, mencoba menenangkan pikirannya. Setelah beberapa detik, ia menatap Terry dengan ekspresi penuh perhitungan. “Kita harus membuatnya pergi dengan kemauannya sendiri. Jika dia tetap tinggal, itu karena dia masih punya alasan untuk bertahan.”
Terry mengerutkan kening. “Maksud Tante?”
“Alika tidak punya siapa-siapa selain ayahnya dan Adriel,” ujar Widi, matanya menyipit penuh perhitungan. “Dia masih bertahan karena anak itu, bukan?”
Terry mengangguk cepat. “Ya, dia jelas terikat dengan Adriel.”
Widi tersenyum sinis. “Kalau begitu, kita buat dia tidak bisa lagi dekat dengan anak itu.”
Mata Terry menajam. “Tapi bagaimana caranya, Tante?”
Widi menghela napas, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kita bisa melakukan beberapa trik. Pertama, kita pastikan Arlan tidak bisa lagi mempercayainya. Kita buat seolah-olah Alika menyembunyikan sesuatu yang besar dari Arlan. Sesuatu yang akan membuat Arlan ragu untuk tetap membiarkan Alika ada di dekatnya.”
Terry mulai tersenyum tipis, memahami arah pembicaraan Widi. “Dan jika Arlan meragukannya, dia sendiri yang akan menjauhkan Alika dari Adriel.”
Widi mengangguk puas. “Tepat sekali. Setelah itu, kita buat Alika merasa bahwa tetap tinggal di sini hanya akan membahayakan dirinya dan orang-orang yang ia cintai. Jika perlu…” Widi menatap Terry dalam-dalam, nada suaranya semakin dingin, “…kita berikan sedikit tekanan agar dia tidak punya pilihan selain pergi.”
Terry tersenyum lebar, kali ini tanpa ragu. “Aku mengerti, Tante. Kita buat Alika pergi untuk selamanya.”
Bik murni menggeleng. "Tidak! Mereka tidak boleh berhasil!" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Bik Murni menggigit bibirnya. Ia tahu betapa baiknya Alika. Sejak pertama kali datang ke rumah ini, Alika memperlakukan para pelayan dengan hormat, selalu berbicara dengan lembut, bahkan tak segan membantu pekerjaan mereka jika sedang tidak sibuk. Berbeda dengan Terry yang selalu datang dengan wajah angkuh, memperlakukan mereka layaknya budak, menuntut ini dan itu tanpa sedikit pun ucapan terima kasih.
Dan Adriel... Mata Bik Murni menghangat saat membayangkan bayi mungil itu yang tumbuh dengan kasih sayang dari Alika. Anak itu selalu tersenyum setiap kali berada dalam pelukan Alika. "Bagaimana mungkin mereka tega memisahkan Tuan Muda Adriel dari satu-satunya sosok ibu yang dikenalnya?"
Dengan langkah hati-hati, Bik Murni beringsut pergi, tak ingin ketahuan menguping rencana jahat dua wanita itu.
***
Arlan melangkah keluar dari ruang perawatan dengan pikiran yang masih dipenuhi pembicaraan tentang proyek bisnisnya. Ia menghembuskan napas perlahan, merasa sedikit lelah setelah menjenguk rekan bisnisnya yang sedang sakit.
Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika matanya menangkap sosok yang sangat familiar.
Alika.
Wanita itu berjalan di lorong rumah sakit dengan Adriel dalam gendongannya. Seperti biasa, bocah itu melingkarkan lengannya di leher Alika, wajah mungilnya menempel di bahu wanita itu dengan ekspresi nyaman.
Arlan mengernyit." Apa yang dia lakukan di sini?"
Tanpa sadar, kakinya bergerak mendekat. Ia berniat memanggilnya, tetapi sesuatu membuatnya menghentikan langkah.
Alika tidak menuju ke ruang anak atau bagian umum lainnya. Ia malah berjalan ke arah yang tidak pernah Arlan duga, poli kandungan.
Arlan merasakan aliran darahnya mendesir lebih cepat. Matanya mengikuti setiap gerakan Alika dengan saksama, dan ia benar-benar tertegun saat melihat wanita itu masuk ke dalam ruangan pemeriksaan.
"Poli kandungan?" gumamnya.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak bisa ia hentikan.
"Apa Alika sakit? Tidak mungkin. Lalu, kenapa dia ke sana?" Arlan bergumam lirih, hatinya diliputi rasa penasaran.
Rahangnya mengatup rapat saat sebuah kemungkinan melintas di benaknya. Kemungkinan yang membuat dadanya terasa sesak seketika.
"Jangan bilang... dia sedang hamil?"
Jari-jarinya mengepal, mencoba meredam kegelisahan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Ia menatap pintu ruangan itu dengan sorot mata tajam, seolah ingin menembus dinding dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalamnya.
"Tidak. Bisa saja dia hanya memeriksakan kesehatan reproduksi atau berkonsultasi tentang keluhan lain. Tidak semua wanita yang datang ke poli kandungan sedang mengandung." Arlan mencoba berpikir positif.
Namun, logikanya seakan tak mampu mengalahkan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Malam itu...
Malam di mana ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Malam di mana batas-batas yang seharusnya tetap dijaga justru terabaikan.
"Jika benar Alika hamil..."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued