Sebuah Seni Dalam Meracik Rasa
Diajeng Batari Indira, teman-teman satu aliran lebih suka memanggilnya Indi, gadis Sunda yang lebih suka jadi bartender di club malam daripada duduk anteng di rumah nungguin jodoh datang. Bartender cantik dan seksi yang gak pernah pusing mikirin laki-laki, secara tak sengaja bertemu kedua kali dengan Raden Mas Galuh Suroyo dalam keadaan mabuk. Pertemuan ketiga, Raden Mas Galuh yang ternyata keturunan bangsawan tersebut mengajaknya menikah untuk menghindari perjodohan yang akan dilakukan keluarga untuknya.
Kenapa harus Ajeng? Karena Galuh yakin dia tidak akan jatuh cinta dengan gadis slengean yang katanya sama sekali bukan tipenya itu. Ajeng menerima tawaran itu karena di rasa cukup menguntungkan sebab dia juga sedang menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya di kampung. Sederet peraturan ala keraton di dalam rumah megah keluarga Galuh tak ayal membuat Ajeng pusing tujuh keliling. Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyai Gendeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Apes
Begitu ramai dan padatnya manusia-manusia kesepian yang butuh hiburan malam ini membuat club malam jadi lebih kotor dari malam biasa setelah club itu tutup saat semua lampu telah dinyalakan.
Ajeng bergegas pergi ke loker tempat ia menyimpan jaket juga tas untuk segera pulang. Waktu sudah menunjukkan ke angka empat subuh. Ia sudah mulai mengantuk. Baru saja hendak pulang, ia mendengar suara orang muntah di dalam kamar mandi.
Tadinya Ajeng tidak mau menggubris, lagipula ia sempat berpikir kalau itu salah satu pegawai yang ikutan mabuk. Tapi karena mendengar beberapa benda berjatuhan dari dalam juga melihat sekeliling yang sudah sepi ia jadi penasaran.
"Masa gue mesti masuk ke dalam sini?" tanya Ajeng sama diri sendiri sembari menatap palang pintu bertuliskan laki-laki itu.
Mundur lagi Ajeng, bergegas mau pergi tapi suara seseorang meminta pertolongan membuatnya jadi kesal sendiri. Ajeng akhirnya memberanikan diri membuka pintu dan terlihatlah seorang lelaki tampan dalam keadaan mabuk dan sudah muntah di sana.
Ajeng menepuk jidatnya, antara kasihan juga kesal kenapa pria yang ia tahu adalah sosok bernama Galuh, yang punya acara party beberapa jam yang lalu itu sekarang sedang sekarat karena alkohol di dalam ruangan ini tanpa seorang teman pun.
"Kenapa lo? Aduh, makanya kalo gak bisa minum gak usah sok-sokan minum. Mabok gini kan! Nyusahin orang aja!" Ajeng ngedumel sendiri. Tadinya ia pikir lelaki itu tak tahu apa yang sedang ia katakan namun saat ia melihat lelaki itu membuka mata dan menatapnya tajam dengan pandangan tak suka ia langsung menutup rapat bibirnya.
"Bantuin! Nanti gue bayar lo," ujar Galuh memerintah sambil mengulurkan jemarinya berharap Ajeng menyambut dan menariknya untuk berdiri.
Tapi bagaimana mau membuat lelaki dengan perawakan kekar itu berdiri, yang ada malah Ajeng yang kini terjerembab begitu saja di atas tubuh lelaki itu. Ajeng menatap kesal sekalian jijik pada jaketnya sendiri yang sudah kena muntahan lelaki itu. Di luar perkiraannya, lelaki itu malah tertawa kesenangan melihat Ajeng yang nampak kesal kepadanya.
"Makanya, punya badan gedean dikit. Narik gini aja gak bisa. Tunggu ya, lo mesti bantuin gue ke mobil, gue masih sadar cuma rada puyeng."
Ajeng menatap jengkel pada Galuh yang sedang berusaha berdiri dengan susah payah saat ini. Orang mabuk memang begitu, terlalu denial bahwa mereka memang sedang kacau. Akhirnya setelah melalui perjuangan dengan susah payah, Galuh berhasil berdiri dan langsung merangkul pundak Ajeng.
"Bawa gue keluar!"
Ingin sekali Ajeng menggigit paru-paru Galuh sekarang juga agar lelaki itu tak hanya sekedar mabuk tapi juga mengalami henti nafas sekalian. Sudahlah memerintah seenak jidat, lelaki itu juga berat. Dan lagi, tangannya yang memang panjang itu kini menimpa aset berharga Ajeng yang tak pernah disentuh pria manapun.
"Gila ya, ada manusia kayak elo gini. Nyusahin orang aja! Lagian, mana teman-teman lo yang tadi ikutan party. Mau enaknya doang, susahnya bagi ke orang lain."
Masih bersungut, Ajeng memapah Galuh yang hanya tertawa mendengar kekesalan Ajeng. Ia membuka sedikit matanya, melihat ke belahan dada yang tak sengaja terlihat begitu saja karena kancing kaus Ajeng yang terlepas.
Galuh tertawa lagi, bau alkohol menyengat membuat Ajeng kesal sendiri padahal ia sudah terbiasa mencium aroma alkohol dari minuman-minuman yang ia cicip dan ia racik.
"Mana mobil lo?" tanya Ajeng yang sudah mulai kewalahan memapah tubuh Galuh.
Galuh mengeluarkan kunci mobilnya lalu menekan remot. Ajeng segera pergi ke sumber suara.
"Harusnya lo bayar gue seharga satu bulan gaji gue nih!"
Ajeng masih betah mengomel sedangkan Galuh sudah mulai kehilangan kesadaran dan benar saja, saat ia sudah berhasil memasukkan Galuh ke dalam, lelaki itu malah tidur dengan nyaman. Ajeng meraup wajahnya sendiri, merasa tak sampai hati mau meninggalkan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya itu tapi juga merasa enggan mau mengantarnya.
Tiba-tiba ia melihat seorang staff pengamanan lewat sambil berlari.
"Pak, tolongin saya, Pak!" Ajeng berteriak melambai-lambai seperti memanggil teman lama yang sudah lama tak bertemu. Tapi yang dipanggil tidak berhenti malah semakin kencang berlari.
"Sorry, Neng Ajeng, ada yang berkelahi di depan!" teriak pak satpam menyebalkan. Bilang dong dari tadi, dia sudah action dengan melambai-lambai kegirangan tapi malah tidak mendapat bantuan.
"Ya Tuhan, mimpi apa sih gue semalem? Sial banget! Masa gue mesti anterin ini laki-laki pulang?"
Setelah menimbang-nimbang, berapa kali bolak balik dan mondar mandir di depan mobil dengan pemiliknya yang sudah bobo ganteng, akhirnya Ajeng masuk ke dalam mobil itu setelah sebelumnya ia memindahkan Galuh dengan susah payah ke kursi sebelah setir.
"Oke, semoga dengan bantuin elo malam ini, bisa menghapus dosa gue karena udah kabur dan bikin bokap darah tingginya gak sembuh-sembuh." Ajeng merogoh celana Galuh, bermaksud mencari dompet tapi ia malah melihat pemandangan durjana dimana pistol air selaras panjang milik Galuh bangun dan bangkit dari posisi yang semula rebahan.
Ajeng tak menghiraukan pemandangan langka itu ia masih terus merogoh saku celana Galuh lalu akhirnya menemukan dompet dengan banyak sekali kartu di dalamnya.
Ia melihat sebuah alamat gedung apartement. Lalu bergegas menghidupkan mesin mobil dan membawa Galuh ke sana. Sampai di apartemen yang dihuni kaum elit itu, Ajeng kebingungan tidak tahu dimana apartemen Galuh berada.
"Pak, maaf mau tanya, laki-laki ini tinggal di apartemen yang mana ya?" tanya Ajeng pada security yang sedang asyik makan singkong rebus dengan ikan asin.
Tampak lelaki itu melongok sebentar lalu tersenyum sembari menelan bongkahan singkong yang kemudian membuatnya hampir kehabisan nyawa karena singkong rebus nyangkut di tenggorokan. Ajeng jadi turun dari mobil dan segera memberikan air yang ada di dalam pos.
"Selamet ... Selamet." Pak satpam mengusap dada dan berterima kasih karena Ajeng sudah menyelamatkannya dari singkong durhaka yang hampir membuat pak satpam kehilangan nyawanya.
"Mas Galuh apartemennya yang paling atas, Neng. Nanti dari sini, Neng ke kanan ada lift masuk situ."
Ajeng manggut-manggut. Baru saja ia hendak minta bantuan kepada pak satpam untuk mengalihkan tanggungjawab, bermaksud meminta lelaki itu saja yang membawa Galuh ke tempatnya, tapi pak satpam malah ngacir ke dalam pos.
"Pak! Mau ngapain, Pak. Tolongin saya anterin laki-laki ini ke tempatnya!" teriak Ajeng sudah seperti tukang kredit panci nagih hutang ke ibu-ibu komplek.
"Maaf, Neng, saya sakit perut gak tahan pengen berak!" balas pak satpam diiringi suara bom yang keluar memenuhi toilet yang kecil itu. Suaranya sampai keluar, terdengar pula oleh Ajeng. Sungguh estetik sekali.
Ajeng akhirnya terpaksa membawa Galuh sendiri ke apartemennya yang berada di lantai paling atas. Nampak sekali kayanya lelaki itu. Sepanjang perjalanan membawa Galuh dengan lift Ajeng tak berhenti mengeluh tentang kesialannya subuh ini.
Sementara pak satpam yang baru saja keluar dari toilet melihat ke air yang ia minum, air yang diberikan Ajeng kepadanya saat sedang berusaha menelan bongkahan singkong rebus.
"Yaaaaa, pantesan saya sakit perut! Aer kobokan dikasih begini!"
Pak satpam mau nangis karena sekarang perutnya sudah mulas lagi. Tau aja kalau pak satpam udah seminggu gak buang hajat!