Gadis Desa yang memiliki kakak dan adik, tetapi dia harus berjuang demi keluarganya. Ayahnya yang sudah usia di atas 50 tahun harus dia rawat dan dijaganya karena ibunya telah meninggal dunia. Adiknya harus bersekolah diluar kota sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki keluarga yang sedang diuji perekonomiannya.
Ikuti terus karya Hani_Hany hanya di noveltoon ♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani_Hany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Hasna mampu bekerja selama setahun di Kantor Desa. Dia mampu membuktikan jika dia bisa menjadi Bendahara desa yang baik dan bertanggung jawab.
"Hebat juga dia bisa gantikan pak Miftah." ujar Sari kepada Siska pelan. Siska hanya mengangguk saja! Memang wajar jika Hasna mudah paham, dia anak yang pintar dan cerdas.
Dia bukan hanya berprestasi saat di sekolah tetapi di kampus juga. "Hati-hati kak ketahuan perselingkuhanmu dengan pak Desa. Hasna itu diam-diam pemantau." ucap Siska berbisik.
"Ish kamu ini, diam!" ujar Sari tegas. Siska hanya nyengir kuda.
Hasna bukan tipe wanita yang pelapor, dia tidak peduli dengan urusan orang lain. Lebih tepatnya tidak mau ikut campur. "Mereka itu kerjanya gosip saja! Habis uang negara pakai bayar orang-orang malas seperti mereka." batin Hasna.
Meski diam tapi Hasna tahu akan hal itu. "Bodo amat, terserah mereka." imbuhnya dalam hati. Hasna biasa ikut ke kota MI untuk mengurus pencairan dana Desa. Jadi dia tahu jika Sari biasa ikut pergi bersama.
Pada suatu hari pekerjaan Hasna sudah selesai, dia begitu malas melihat orang-orang yang datang hanya bergosip. "Pulang deh, pekerjaanku dah kelar." gumamnya pelan.
"Pak Sek-des, saya pulang duluan ya!" pamitnya ramah. Pak Sek-des menatap Hasna heran.
"Eh, kamu dimarahi pak Desa nanti. Pekerjaan sudah selesai kah?" tanyanya dengan menatap Hasna yang siap untuk pulang.
"Pekerjaan sudah beres pak. Tidak ada juga mau dikerja disini bosan pak." jujur Hasna. "Saya pulang pak." ujarnya melangkah keluar menuju kendaraannya. Ya! Hasna sudah beli motor baru. Meski masih atas nama ayahnya sih.
"Hasna, mau kemana kamu?" teriak pak Desa Adi, Hasna yang sudah menyalakan mesin motornya dia urungkan. Dia berbalik menatap pak Desa.
"Mau pulang saya pak, pekerjaan saya sudah selesai." jawab Hasna santai.
"Berani sekali kamu melanggar aturan. Orang pulang kantor itu jam satu siang Hasna." ujarnya tegas. Hasna diam sejenak sebelum menjawab.
"Kan tugas saya sudah selesai pak, lebih baik saya pulang daripada disini hanya bergosip malah menambah dosa." ujarnya tegas. Yang lain hanya menonton.
"Beraninya dia melawan pak Desa." bisik Sari pada staf disana. Stafnya hanya mengangguk membenarkan.
"Kalau kamu berani pulang, tidak usah kerja disini lagi! Anak kecil sudah bandel, masih ingusan tidak mau dengar kata orang tua." omel pak Desa. Tapi tanpa Hasna, siapa yang dapat menggantikan pak Miftah? Tidak ada!
Hasna termasuk kuat menghadapi orang-orang macam mereka. Hasna tetap melanjutkan langkah untuk pulang. Dia tidak peduli jika harus dipecat. "Terserah." batin Hasna kesal.
Setiap ke kantor mereka pada menggosipkan Hasna, baik itu penampilan Hasna, cara bergaul Hasna, maupun cara kerja Hasna. Hasna memang tidak mau jika terlibat dalam hal bersih-bersih.
"Aku loh banyak kerjaan, sedang mereka datang untuk bersih-bersih dan bergosip." gerutu Hasna kesal. Karena memang pekerjaan yang melibatkan laptop selain Hasna hanya pak Sek-des yang mengerjakan.
Di kantor desa
"[Halo Ahmad, bisa datang ke kantor desa?]" tanya pak Desa Adi melalui sambungan teleponnya.
"[Halo pak Desa, iya ada apa ya?]" Tanya ayah Ahmad santai, dia sedang istirahat karena baru pulang dari kebun bersama sang isteri.
"[Besok datanglah ke kantor Desa, ada yang ingin saya bicarakan]" ujarnya lagi. Ayah Ahmad mendengar ada nada kesal dalam setiap ucapan pak Adi.
"[Baiklah pak, besok saya akan datang]" jawab ayah. Panggilan pun diakhiri. "Ada apa ya sama Hasna?" Batin ayah bertanya-tanya.
Ayah menatap ponselnya berniat menghubungi Hasna tapi dia urungkan. Akhirnya ayah melanjutkan istirahatnya karena nanti harus mencari pakan kambing lagi.
Hasna di rumah sibuk buat cemilan yang dia lihat dari ku-tube. "Akhirnya jadi juga, mantap ini." Gumam Hasna pelan, dia bangga dengan hasil karyanya.
Dia masak sendiri, makan sendiri, nikmatnya! Dia ambil ponselnya, lalu memotret hasil karyanya kemudian dia kirim kepada keluarganya.
Keesokan harinya ayah Ahmad datang pagi-pagi. "Hasna." Panggilnya setelah turun dari motor.
"Iya ayah, aku sedang mandi." Jawab Hasna agak keras. Ayah masuk ke dalam rumah, saat duduk di kursi ayah melihat cemilan di atas meja.
"Hasna buat kue." Gumamnya pelan lalu mencoba kue buatan Hasna. "Enak." Imbuhnya. Sambil menunggu Hasna, ayah ngemil.
Usai mandi dan ganti baju Hasna keluar kamar. "Eh, ayah. Sama siapa?" Tanya Hasna basa basi.
"Sendiri. Oya, ayah di telefon sama pak Desa, ada apa ya?" Tanyanya menatap Hasna yang sedang memakai sisir rambut.
"Ha?" Tanya Hasna sambil berpikir. "Oh, mungkin karena kemarin aku pulang duluan ayah. Kalau aku dipecat gak apa-apa ya ayah?" Tanya Hasna.
"Loh, emang kamu buat masalah apa?" Tanya ayah belum paham inti permasalahannya.
Akhirnya Hasna menceritakan kronologi dia pulang kemarin yang menyebabkan pak Desa marah besar. "Begitu ayah." Ucap Hasna jujur.
"Oh ya sudah." Jawab ayah santai, setidaknya dia sudah mendengar jawaban yang jujur dari putrinya.
Menjelang siang ayah berangkat bersama Hasna, dia mengenakan pakaian santai tapi sopan. Kemeja maroon dengan jilbabnya yang serasi, dengan celana hitam andalannya.
"Aku sudah siap jika harus dipecat! Pasti akan ada solusi dari setiap masalah yang ada. Allah maha Besar." Batinnya yakin.
Setibanya di kantor, pak Desa sudah uring-uringan dengan para stafnya yang lambat datang. "Hasna, kamu ke kantor Camat untuk mengikuti rapat." Perintah pak Desa.
Hasna mengangguk pasti "Untung masih pagaian rapi, hampir aku pakai kaos oblong." Batin Hasna tersenyum senang.
"Sama siapa pak?" Tanya Hasna penasaran. Pak Desa hanya menunjuk saja ke arah pak Sek-des tanpa berniat menjawab.
Ayah Ahmad diajak ke ruangan pak Desa, mereka akan berbicara empat mata saja. "Duduk pak Ahmad." ujar pak Adi sang kepala Desa. Mereka berteman sejak remaja, satu kampung.
"Terima kasih pak Adi, ada apa?" tanya ayah Ahmad tanpa basa basi. Ayah duduk di kursi plastik, sedangkan pak Desa duduk di kursi kerjanya.
"Bagini pak Ahmad, tolong anda nasehati putri bapak. Dia kemarin pulang begitu saja di jam kerja! Dia bikin malu saya, karena saya tegur tapi dia berani membantah dan tetap pulang. Saya bisa saja memecatnya pak." ujarnya.
"Saya akan berikan toleransi kali ini, jika mengulang lagi sebaiknya keluar saja dari pekerjaan ini." imbuhnya menahan geram. "Berani-beraninya anak kecil melawan saya." batinnya.
Usai mengatakan itu, pak Desa tersenyum sinis. Ayah Ahmad hanya mengatakan. "Iya pak, nanti akan saya nasehati dia." ucapnya pelan. "Dia memang punya pendirian kuat, semoga saja masih bisa saya nasehati. Dia tidak mungkin pulang tanpa alasan." batin ayah Ahmad.
semangat kak hani /Determined//Determined//Determined//Determined/