Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Saka terdiam di tempatnya, tubuhnya kaku oleh pelukan erat Jian An yang tak terduga. Wanita itu, dengan tubuh basah kuyup dan suara yang terisak-isak, memegangnya seolah dia adalah satu-satunya pegangan yang tersisa di dunia ini. Ada sesuatu dalam pelukan itu rasa sakit, kehilangan, dan harapan yang membingungkan Saka. Ia bahkan bisa merasakan napas Jian An yang terengah-engah di dadanya, menambah intensitas momen yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Maaf, tapi sepertinya…” Saka mencoba berbicara, meskipun suaranya terdengar ragu. Namun, Jian An langsung memotongnya dengan nada yang begitu tegas meski penuh emosi.
“Aku akan menyelamatkanmu,” isak Jian An, matanya berkaca-kaca saat menatap wajah pria itu. “Jadi biarkan aku menolongmu kali ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi…” Kata-kata itu diiringi air mata yang terus mengalir, membasahi bahunya dan menyentuh hati Saka. Wanita ini begitu hancur, begitu putus asa, hingga membuatnya tak tega untuk mengatakan apapun yang mungkin menyakitinya.
Saka hanya bisa berdiri dalam diam, membiarkan Jian An terus memeluknya. Ia mencoba mencerna situasi yang ada, mengapa wanita ini tampak begitu mengenalnya, dan apa yang sebenarnya terjadi padanya? Meski perasaan bingung meliputi dirinya, ada juga rasa hangat yang aneh menyelimuti hatinya. Wajah Jian An, meskipun lelah dan basah oleh air mata, memancarkan keindahan yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa saat, Saka akhirnya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia mengangkat tangannya perlahan, dengan ragu-ragu menyentuh punggung Jian An. “Dengarkan aku,” ujarnya lembut, meskipun suaranya terdengar agak serak. “Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud, tapi aku akan memastikan kamu aman sekarang. Jadi tenanglah, kita akan menemukan jawaban bersama.” Jian An mengangguk kecil, masih dalam pelukannya, seolah kata-kata itu cukup untuk memberinya harapan di tengah keputusasaan.
Saka melangkah ke luar kamar hotel, memanggil Pak Joyo yang setia menunggu di lorong. “Pak Joyo, tolong siapkan beberapa pakaian untuk wanita itu. Jangan lupa, pesan juga makanan yang hangat dan sederhana. Dia terlihat sangat lelah,” ujar Saka dengan nada tegas namun lembut. Pak Joyo mengangguk patuh, segera melaksanakan tugas yang diberikan.
Di dalam kamar, Jian An berdiri mematung di dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan kota yang gemerlap. Lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung tinggi bersinar terang, memantul di dinding kaca kamar yang begitu modern. Jian An memandang ke sekeliling dengan bingung, matanya terpaku pada setiap detail ruangan dari karpet empuk hingga sofa berbahan kulit yang terlihat mahal. Semua ini tampak asing baginya, seperti dunia lain yang tak pernah ia bayangkan.
Ia berjalan perlahan mendekati meja kecil yang dihiasi vas bunga putih. Jemarinya menyentuh permukaan meja, merasakan dinginnya marmer. “Di mana aku?” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Pandangannya beralih ke lampu yang menggantung di langit-langit, terlihat begitu rumit dan indah, berbeda dari lentera minyak yang biasa ia kenal.
Saka masuk kembali ke kamar dengan membawa segelas air putih. “Minumlah ini,” katanya sambil menyodorkan gelas kepada Jian An. Wanita itu menatapnya sejenak, ragu, sebelum akhirnya menerima gelas tersebut. Ia meminum air itu perlahan, seolah-olah menenangkan diri dari kekacauan yang melanda pikirannya.
“Tempat ini... sangat berbeda. Apakah aku... sudah mati?” tanya Jian An dengan suara lirih, matanya memandang Saka dengan tatapan penuh pertanyaan. Saka terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tidak, kamu tidak mati. Kamu selamat, dan sekarang kamu ada di sini. Aku akan membantumu, tapi kamu harus percaya padaku,” jawab Saka, suaranya lembut namun tegas, membuat Jian An merasa sedikit tenang meski hatinya masih penuh kebingungan.
"Pertama-tama, kamu harus jadi istriku." Ucap Saka yang akan merencakan sesuatu. Jian An masih bingung dengan apa yang Saka ucapkan. "Bukankah kita sudah menikah." Sahut Jian An yang menekan saklar lampu tidur di samping ranjang.
Saka terdiam beberapa detik, memandangi Jian An yang duduk di tepi ranjang dengan ekspresi polos namun penuh keyakinan. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa percakapan ini tidak akan mudah. “Dengar,” katanya sambil duduk di kursi dekat meja, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati, “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, atau dari mana asalmu. Tapi aku yakin kita belum pernah menikah.”
Jian An mengerutkan kening, kebingungannya semakin jelas. Ia menatap Saka dengan tatapan penuh pertanyaan, seolah pria di hadapannya tengah berbicara sesuatu yang mustahil. “Banyu... apakah kamu sedang bercanda denganku? Kita menikah sepuluh hari yang lalu,” ucap Jian An dengan nada lembut namun tegas. Jemarinya menyentuh saklar lampu tidur di samping ranjang, memadamkan cahaya terang hingga ruangan hanya diterangi lampu temaram.
Saka tersenyum kecil, merasa semakin bingung. "Aku bukan Banyu, namaku Saka. Dan aku tidak bercanda,” ujarnya sambil mengusap tengkuknya, mencoba memahami situasi ini. “Mungkin kamu mengalami sesuatu yang membuat ingatanmu bercampur aduk. Aku hanya ingin membantu.”
Jian An tetap pada pendiriannya, bahkan menatap Saka seolah-olah ia tengah berusaha mengingat sesuatu yang sulit dijelaskan. “Kamu boleh menyangkalnya, tapi aku tahu siapa kamu. Wajahmu... suaramu... semuanya sama. Kamu adalah suamiku,” ucapnya, matanya mulai berkaca-kaca.
Saka terdiam, merasa simpati sekaligus bingung. Ia memutuskan untuk tidak memperdebatkan hal itu untuk sekarang. “Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya lebih lembut. “Kalau itu yang kamu pikirkan, kita akan bicarakan lagi nanti. Sekarang, istirahatlah. Kamu butuh tidur setelah semua yang terjadi.” Jian An hanya mengangguk pelan, membaringkan tubuhnya di atas ranjang sambil memandang Saka, yang kini berdiri dengan tangan di saku, matanya penuh dengan pikiran yang bertabrakan.
Saka melangkah keluar dari kamar hotel dengan langkah yang tenang namun pikirannya berkecamuk. Jian An, wanita aneh yang mengaku sebagai istrinya, telah mengguncang seluruh dunianya. Sambil menyusuri koridor hotel, Saka menarik napas panjang, mencoba mengurai logika di balik situasi ini.
Sambil menekan tombol lift, Saka bergumam, “Mungkin ini solusi yang tepat.” Ia teringat tekanan dari kakeknya untuk segera menikah dengan Gusti Ratih, wanita yang sama sekali tidak membuatnya tertarik. Namun, dengan Jian An di sisinya, terlepas dari misterinya. Ia mungkin bisa memiliki alasan kuat untuk menolak perjodohan itu. Ide itu mulai berkembang di benaknya, membentuk rencana yang terasa masuk akal menjadikan Jian An sebagai istri kontraknya.
Setelah sampai di lobi, Saka menatap ke luar jendela besar hotel. Lampu kota yang terang benderang mengingatkannya pada betapa dunia modern ini tak kenal ampun terhadap kelemahan. Jian An mungkin berasal dari masa yang berbeda, tapi kehadirannya bisa menjadi perisai bagi Saka, setidaknya sampai ia menemukan jalan keluar dari masalah perjodohan ini.
Ia menelepon Pak Joyo, asistennya yang setia. “Pak Joyo, pastikan semua dokumen hukum untuk kontrak pernikahan siap. Saya butuh itu secepatnya,” ucapnya tanpa basa-basi. Suara di ujung telepon sempat terdiam sebelum menjawab dengan sopan, “Baik, Tuan Saka. Saya akan segera mengurusnya.”
Saka mengakhiri panggilan dan menyelipkan ponselnya ke saku. “Jian An,” gumamnya sambil tersenyum kecil, “sepertinya takdir mempertemukan kita untuk suatu alasan. Dan alasan itu akan segera terwujud.” Dengan langkah mantap, ia kembali ke kamar, siap membahas rencananya dengan wanita misterius yang entah bagaimana membuat hidupnya semakin menarik.