Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Awal Baru dan Pertemanan yang Kuat
Bab 11: Awal Baru dan Pertemanan yang Kuat
Rabu, 25 Januari 1984
Pagi yang cerah menyambut Arya di halaman rumahnya. Seperti biasa, setelah melaksanakan salat subuh di masjid, ia memulai rutinitas olahraganya. Udara segar pagi itu memberikan ketenangan tersendiri, apalagi ketika ia memandang luasnya halaman rumah yang dipenuhi bunga dan pohon buah. Meskipun sederhana, rumah yang dirancang dengan kombinasi gaya limas modern dan joglo tradisional itu memiliki aura yang berbeda—terasa hangat dan penuh kenangan.
Arya masih terkesima dengan kenyataan bahwa keluarganya memiliki rumah dengan halaman seluas satu hektar di kota kecil seperti Sekayu. Rumah-rumah di kota ini biasanya hanya memiliki pekarangan kecil, tetapi milik keluarganya berdiri megah dengan taman luas yang tampak seperti oase di tengah kota. Kehidupan barunya ini benar-benar berbeda dari masa lalu.
Setelah selesai olahraga, Arya beranjak masuk ke rumah untuk bersiap-siap ke sekolah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat ibunya, Sulastri, sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper besar.
“Ibu, mau pergi ke mana? Kok bawa banyak koper?” tanya Arya penasaran.
Sulastri tersenyum. “Ibu harus ke Jakarta. Ada banyak yang harus diurus, mulai dari izin HGU untuk perkebunan kita sampai mencari asisten yang bisa dipercaya. Oh iya, Ibu juga mau menjemput Nenek Isat.”
Arya mengerutkan kening. “Nenek Isat? Itu adiknya kakek kan? Dia kan orang Belanda. Jadi dia bisa bahasa Indonesia juga?”
“Iya, nak. Nenek buyutmu dulu orang Indonesia yang ikut suaminya ke Belanda saat deportasi tahun 1950-an. Jadi, meskipun sudah lama tinggal di sana, mereka masih fasih berbahasa Indonesia,” jelas Sulastri.
Arya mengangguk, sedikit terkejut mendengar cerita itu. “Berarti Ibu ada tiga misi di Jakarta ya? Berapa lama di sana?”
“Paling cepat dua minggu, paling lama satu bulan. Amanda tidak mau ikut, jadi Ibu titip Amanda di rumah ya,” ujar Sulastri sambil menatap Arya penuh harap.
Arya tersenyum. “Tenang saja, Bu. Amanda akan kuperlakukan seperti seorang putri kecil.”
Sulastri tertawa kecil mendengar ucapan Arya. Walaupun Arya masih anak-anak, sikap dewasanya selalu memberikan rasa tenang pada Sulastri.
***
Berangkat Sekolah
Setelah sarapan, Arya seperti biasa mengantar Amanda ke taman kanak-kanak. Saat keluar dari halaman rumah, Arya melihat Salamitha Nisrina baru saja keluar dari rumahnya dengan sepeda.
“Kak Mitha, yuk ke sekolah bareng!” seru Amanda ceria.
“Boleh!” jawab Mitha sambil tersenyum.
Mereka bertiga pun bersepeda bersama. Sesampainya di TK Amanda, Arya menasihati adiknya untuk tidak pulang sendiri. “Pulang sekolah nanti tunggu Mbok Siti atau aku jemput. Jangan ikut orang asing ya.”
“Siap, Pak Arya!” Amanda menjawab sambil memberi hormat ala polisi, membuat Mitha tertawa kecil.
Melihat senyum Mitha, Arya merasa damai. Ia tahu bahwa Salamitha akan tumbuh menjadi wanita yang luar biasa di masa depan, dan interaksi kecil ini membuatnya lebih menghargai kehadirannya. Arya kemudian melanjutkan perjalanan ke sekolah bersama Mitha.
Di tengah jalan, mereka bertemu Abdi yang langsung bergabung. Perjalanan menjadi lebih ramai dengan candaan khas anak-anak. Arya mulai merasa lebih nyaman dengan kehidupannya saat ini.
***
Di sekolah, hari Arya berjalan seperti biasa hingga bel istirahat berbunyi. Arya berencana keluar sebentar untuk menjemput Amanda, tetapi langkahnya terhenti ketika Dika dan gengnya menghadangnya di halaman sekolah.
“Hey, anak culun! Kenapa kamu masih ke sekolah?” ejek Dika dengan nada tinggi, menarik perhatian siswa lain.
Arya hanya tersenyum sinis. “Ya jelas untuk belajar. Kalau kamu ke sekolah untuk apa?”
Ejekan itu memancing tawa dari beberapa siswa. Abdi dan Saka, yang melihat kejadian itu, langsung mendekat untuk mendukung Arya.
“Arya murid yang rajin, berprestasi. Tidak seperti kamu, Dika, cuma datang untuk pamer sepatu baru,” ujar Abdi dengan mulut pedasnya.
Tawa semakin keras terdengar. Wajah Dika memerah karena malu dan marah. Ia menatap Arya dengan penuh kebencian. “Kamu harusnya sudah mati di rumah sakit, tapi kenapa masih sehat-sehat saja?”
Mendengar itu, Arya hanya tersenyum tipis. “Oh, jadi kamu kecewa aku masih hidup? Jangan-jangan itu karena rencana licikmu gagal, ya?”
Perkataan Arya membuat Dika semakin panas. “Kamu jangan bicara sembarangan! Aku tidak ada hubungannya dengan kecelakaanmu!”
Arya mendekat dengan tenang. “Benarkah? Lalu kenapa kamu terlihat sangat kesal melihat aku baik-baik saja?”
Dika tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia melayangkan pukulan ke arah Arya sambil berteriak, “Kamu jangan banyak omong! Terima ini!”
***
Arya yang sudah mengantisipasi serangan itu dengan mudah menghindar. Wajah Dika semakin memerah karena malu, apalagi saat tawa siswa lain terdengar.
Melihat Dika gagal, gengnya ikut menyerang Arya. Namun, Arya tetap tenang. Dengan gerakan lincah, ia menghindari setiap pukulan dan membalas dengan cepat. Dalam waktu singkat, Dika dan antek-anteknya sudah terkapar di tanah, meringis kesakitan.
“Kenapa, Dika? Mau mengadu ke ibumu seperti anak kecil?” ejek Saka sambil tertawa.
Tawa siswa semakin riuh. Dika hanya bisa menahan malu sambil menggertak, “Tunggu saja, Arya! Aku akan membalas ini!”
Abdi yang tidak bisa menahan diri ikut meledek. “Silakan, Dika. Tapi jangan lupa bawa surat izin dari ibumu dulu!”
Arya tidak memedulikan ancaman Dika. Ia menepuk bahu Abdi dan Saka sambil berkata, “Aku harus menjemput Amanda. Kalian hati-hati, ya.”
***
Sesampainya di TK, Arya melihat Amanda sudah bersama Mbok Siti. Ia sempat berbincang sebentar dengan Amanda, memastikan adiknya tidak bermain terlalu jauh. Ketika Arya hendak kembali ke sekolah, Mbok Siti menyampaikan kabar yang membuatnya bersemangat.
“Den Arya, ada kiriman untuk Den tadi pagi. Katanya isinya komputer Apple dan IBM.”
Mendengar itu, Arya tersenyum lebar. Komputer yang ia pesan akhirnya tiba. “Letakkan saja dulu di ruang kerja Ibu, Mbok. Nanti sepulang sekolah aku cek.”
Arya tahu siapa yang harus diajak untuk merakit komputer itu. Ia segera kembali ke sekolah dengan rencana untuk mengajak Saka dan Abdi ke rumahnya setelah jam pelajaran selesai.
***
Di kelas, banyak siswa yang masih membicarakan pertengkaran Arya dan Dika tadi. Namun, Arya tetap tenang dan fokus pada pelajaran. Setelah bel pulang berbunyi, ia langsung menghampiri Saka dan Abdi.
“Saka, pulang sekolah mau main ke rumahku? Ada barang elektronik baru yang perlu dirakit,” ujar Arya.
Mata Saka berbinar. “Apa itu? Aku pasti mau! Barang elektronik baru selalu menarik!”
Abdi yang mendengar itu merasa iri. “Kenapa cuma Saka yang diajak? Aku juga mau ikut!”
Arya tertawa kecil. “Kamu boleh ikut, Abdi. Tapi jangan sentuh apa pun kalau kamu tidak mengerti, ya.”
Setelah semuanya sepakat, mereka bertiga pulang ke rumah Arya. Arya sudah tidak sabar menunjukkan komputer barunya dan memulai langkah pertamanya di dunia teknologi. Hari itu menjadi awal dari rencana besar Arya.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa