Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Jebakan Karina
"Ayo, Ralina ... Minum lagi. Kamu kan sekarang sudah besar. Sudah saatnya kamu mencoba minuman orang dewasa," rayu Friska.
"Benar, Ralina. Jangan hanya belajar terus di kamar. Sesekali kamu harus bergaul dengan kami," imbuh Zia.
Keduanya merupakan teman baik Karina.
Ralina tidak menyangka dirinya akan berakhir seperti ini bersama mereka.
Dari rumah Karina bilang akan mengajaknya ke pesta ulang tahun temannya karena malas datang sendiri. Ia sampai didandani dan dipakaikan pakaian minim yang biasa Karina pakai. Ternyata ulang tahun itu dirayakan di sebuah klab malam.
Sejak tadi ia merasa risih. Rok yang dikenakan bahkan hanya menutupi separuh pahanya. Ia juga hanya mengenakan atasan tanktop yang terbuka. Sementara, ada dua lainnya teman laki-laki kakaknya yang terus menatapnya dengan tatapan jelalatan.
Ia terpaksa menuruti kemauan teman-teman kakaknya untuk ikut meminum minuman yang warnanya cantik tapi rasanya agak pahit dan membuat tenggorokkannya terasa terbakar. Ia tidak tahu minuman semacam apa yang mereka berikan.
"Ralina benar-benar masih SMA, ya?" tanya Ardan, lelaki yang sedari tadi terus menatapnya.
Ralina hanya menjawabnya dengan anggukkan. Ia berharap kakaknya segera kembali karena ia sangat ingin pergi dari sana.
"Selisih umurnya dengan kita berarti berapa?" sahut Toddy, laki-laki satunya.
"Ralina masih 17 tahun. Jadi selisih 5 tahun dengan kita," jawab Friska.
"Ah, masih kecil ...," guman Toddy.
"Tapi kecil-kecil menggemaskan. Harus sering-sering kita ajak main bareng supaya lebih pengalaman," ujar Ardan.
Lain kali Ralina tidak akan mau lagi kalau diajak kakaknya pergi. Ia lebih baik di rumah dan menghabiskan waktu dengan membaca buku.
Tiba-tiba rangan Zia merangkul pundaknya.
"Ralina ini pinter banget, loh ... Dia selalu peringkat pertama di sekolah," kata Zia.
"Berarti jauh banget yang bedanya dengan Karina. Dia kan dulu sering jadi peringkat terbawah di sekolah!" imbuh Ardan.
Suara tawa seketika menggema di ruangan tersebut. Hanya Ralina yang tidak tertawa dengan bercandaan mereka.
"Kalian sedang membahas apa? Sepertinya seru."
Mereka langsung berhenti tertawa saat Karina masuk ke dalam ruangan mereka bersama Aiden.
"Tidak ... Kami hanya sedang bercanda saja tadi," kilah Zia yang takut Karina akan marah jika tahu mereka sedang membicarakannya.
Ralina bersyukur kakaknya sudah datang. Ia berusaha berdiri dari tempatnya. Ia merasa tidak enak badan. Kepalanya terasa mulai pusing dan badannya agak lemas.
"Kak, ayo pulang ... Aku tidak enak badan," rengeknya.
"Kamu tidak enak badan? Tadi ke sini baik-baik saja."
"Aku juga tidak tahu, kepalaku pusing."
Ralina melirik ke arah lelaki yang ada di dekat kakaknya. Lagi-lagi ia merasakan tatapan melecehkan yang tidak seharusnya ia terima. Berada di sana benar-benar menakutkan.
"Oh, ya sudah. Kalau begitu, kamu istirahat dulu di sini. Aku akan menghubungi sopir untuk menjemputmu. Aku tidak enak meninggalkan Zia yang ulang tahun. Kita juga baru sebentar di sini."
Karina menuntun Ralina agar duduk di sofa. Ia mengecek dahi adiknya. Tubuh Ralina memang kelihatan lemas.
Aiden ikut bergabung duduk di samping Ralina. Sontak Ralina bergeser ke arah kakaknya karena merasa tidak nyaman.
"Adikmu sakit?" tanya Aiden.
"Ya, sepertinya dia sakit. Mungkin karena belum biasa main di tempat seperti ini," ujar Karina.
Ralina memasang sikap waspada. Ia memegangi lengan kakaknya, takut diapa-apakan oleh lelaki itu. Tidak seperti teman-teman sekolahnya, teman-teman kakaknya tampak menakutkan semua.
"Ah, bagaimana kalau Aiden yang mengantarmu? Nanti kelamaan menunggu sopir dari rumah," usul Karina.
"Kamu mau mengantar adikku, kan?" Tanya Karina kepada Aiden.
Aiden tersenyum. "Ya, tidak masalah."
Ralina menatap kakaknya dengan raut wajah memelas. Ia menggeleng kecil menolak ide kakaknya.
"Tidak apa-apa, Aiden ini temanku. Dia tahu rumah kita," kata Karina meyakinkan.
"Aku mau pulang dengan Kakak saja," lirih Ralina.
"Aku masih lama di sini. Kalau kamu mau cepat pulang, Aiden yang akan mengantarmu."
"Kamu tidak perlu takut, Ralina. Aku bukan penjahat," ucap Aiden.
Perasaan Ralina memang mengatakan lelaki itu tidak baik. Tapi, ia sudah sangat tidak nyaman berada di sana.
"Aiden, antar adikku sekarang!" pinta Karina.
Aiden mengangguk. Ia meraih tangan Ralina, membantunya berdiri dan merangkul pinggangnya. Ralina tidak bisa menolak karena tubuhnya semakin terasa lemas. Ia pasrah ketika Aiden membawanya keluar meninggalkan ruangan itu.
"Mau aku gendong? Sepertinya kamu sangat lemas."
"Tidak, aku masih kuat jalan," kata Ralina menolak.
Aiden tersenyum-senyum seolah baru saja berhasil mendapatkan hadiah. Ralina terlihat begitu segar seperti sekuntum bunga yang terawat di dalam rumah kaca. Polos, lugu, dan menggemaskan. Ia tidak sabar untuk meniduri wanita muda itu.
Ketika mereka berjalan menyusuri koridor di lantai dua itu, lampu mendadak padam. Terdengar bunyi sirine peringatan kebakaran yang membuat suasana seketika menjadi riuh. Orang-orang ramai berteriak dan berlarian keluar dari ruangan. Dalam cahaya remang-remang, Ralina masih bisa menyaksikan keributan itu.
"Kenapa ini? Apa ada kebakaran? Kita harus cepat-cepat pergi dari sini!" ucap Aiden.
Ralina hanya bisa pasrah dipapah berjalan oleh Aiden. Sesekali orang yang berlarian panik menabrak tubuhnya. Sampai akhirnya semakin banyak orang yang berebut untuk turun ke bawah dan membuat Ralina terjatuh.
Suasana sangat tidak kondusif. Sangat bising dengan jeritan orang-orang terutama perempuan. Ada yang meminta tolong karena terinjak. Ralina terlalu lemas untuk berdiri. Ia beringsut mundur ke dekat dinding.
"Ralina ... Ralina ... Kamu dinama?"
Sayup-sayup terdengar suara Aiden memanggilnya. Ralina tak ada daya untuk menjawab suara itu. Apalagi banyak suara-suara lain yang terdengar dan membuatnya semakin pusing.
Sebuah tangan menyentuhnya. Ia tidak tahu siapa yang tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Dari perawakannya, jelas seorang lelaki tapi bukan Aiden.
Aiden masih memanggil-manggil namanya. Sementara, lelaki itu membawanya berjalan ke arah yang berlawanan dengan orang-orang. Ralina tak tahu kemana ia akan dibawa. Kesadarannya semakin berkurang dan akhirnya pingsan.
kira" kemana raliba apa diculik jg sama bobby bisa sj kn raliba dpt info dr seseorang beritahu kbradaan karina yg trnyata dibohongi jg sma orang itu krn oerginya ralina g ada yg tau knp hamin g ngejar waktu itu
tristan pdkt sama ralina ny jngan kasar"
klo g kabur masa iya tristan rela jd suami karina yg urak an demi mnjaga ralina udah dikuras uagnya msih korban raga pdhl udah menyadari klo suka sama ralina... buang " ttenagadan harta tristan
ralina kabur kemana nih
iklaskn ralina yg sudah di incar trintan dr kecil