Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas yang Memudar
Malam itu, Sasa duduk di ruang tengah dengan secangkir teh di tangan. Arman belum pulang, dan ia hanya mengirim pesan singkat yang mengatakan akan lembur. Sasa menatap ponselnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi kebiasaan baru Arman—pulang larut, sering termenung, dan lebih sering memeriksa ponsel—membuat pikirannya tak tenang.
“Enggak, aku enggak boleh suudzon,” gumamnya pelan sambil menyesap teh yang sudah mulai dingin.
Namun, di sudut hatinya, ada rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan.
***
Di tempat lain, Arman sedang duduk di sebuah kafe bersama Caca. Pertemuan mereka tidak direncanakan, tetapi terasa seperti sesuatu yang tak bisa dihindari. Hujan deras di luar membuat suasana kafe terasa lebih intim, hanya diiringi suara denting cangkir dan percakapan pelan para pengunjung.
“Kenapa kita ada di sini, Arman?” tanya Caca pelan, matanya menatap lurus ke cangkir kopinya.
Arman terdiam. Ia tahu Caca tidak bertanya tentang tempat itu, tetapi tentang situasi yang mulai berkembang di antara mereka.
“Caca, aku... aku enggak tahu. Aku merasa nyaman sama kamu. Bukan berarti aku enggak sayang sama Sasa,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat.
“Jangan bawa-bawa Sasa,” potong Caca. “Dia sahabatku, dan aku enggak mau jadi orang yang menyakitinya.”
“Tapi aku juga enggak bisa bohong sama perasaan ini,” balas Arman, matanya memancarkan kejujuran yang membuat hati Caca semakin kacau.
Caca menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam gejolak emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia tahu perasaan ini salah, tetapi setiap kali bersama Arman, ia merasa ada bagian dari dirinya yang selama ini kosong akhirnya terisi.
“Arman, kita enggak boleh kayak gini,” katanya, hampir seperti berbisik.
Arman mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang sedang terjadi.
***
Keesokan harinya, Sasa memutuskan untuk mengejutkan Arman di kantornya. Ia membawa bekal makan siang yang ia buat dengan penuh cinta, berharap ini bisa sedikit memperbaiki jarak yang ia rasakan di antara mereka.
Ketika sampai di kantor Arman, ia melihat pintu ruangannya sedikit terbuka. Ia mendekat dengan langkah ringan, berharap melihat suaminya yang sibuk bekerja. Namun, suara percakapan dari dalam membuatnya berhenti.
“Arman, kita harus berhenti,” suara itu jelas suara Caca, dan nada bicaranya terdengar penuh emosi.
“Aku tahu, Ca, tapi—”
Sasa tidak mendengar sisanya. Tubuhnya kaku, seakan terpaku di tempat. Ia tidak berani masuk atau menunjukkan keberadaannya. Dengan tangan gemetar, ia menahan napas, mendengar sisa percakapan itu.
“Enggak ada tapi, Arman. Ini salah, dan kamu tahu itu. Kita harus menjaga jarak, demi Sasa.”
Kata-kata itu seolah menjadi cambuk bagi Sasa. Ia ingin masuk dan meminta penjelasan, tetapi kakinya terasa berat. Akhirnya, ia memilih pergi, meninggalkan kantor Arman dengan hati yang penuh tanda tanya dan rasa sakit.
***
Malam itu, Sasa duduk di kamar sambil memeluk lututnya. Ia tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Air matanya mengalir pelan, tetapi ia berusaha menahan suara isakannya agar tidak terdengar oleh Arman yang baru saja pulang.
“Sayang, kamu tidur?” tanya Arman dari balik pintu.
Sasa menghapus air matanya dan mencoba menjawab dengan nada biasa. “Iya, Mas. Lagi ngantuk banget.”
Arman tidak masuk, hanya berkata, “Selamat tidur, ya.”
Namun, saat langkah Arman menjauh, Sasa merasakan hatinya semakin hancur.
***
Di hari-hari berikutnya, Sasa mencoba bersikap seperti biasa. Ia tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan, meskipun hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah antara Arman dan Caca. Ia bahkan mengundang Caca untuk makan siang di rumah, mencoba mencari tahu kebenaran di balik kecurigaannya.
Ketika Caca datang, Sasa menyambutnya dengan senyum hangat. “Akhirnya kita bisa ngobrol santai lagi. Aku kangen banget sama kamu.”
Caca tersenyum, meski ada rasa bersalah yang ia sembunyikan. Ia tahu kedatangannya hanya akan membuat rasa bersalahnya semakin besar, tetapi ia tidak ingin menolak undangan Sasa.
Selama makan siang, Sasa memperhatikan gerak-gerik Caca dengan seksama. Ia mencoba mencari petunjuk, tetapi Caca terlalu pandai menyembunyikan emosinya.
“Ca, aku mau tanya sesuatu,” ujar Sasa tiba-tiba.
Caca menghentikan suapannya. “Apa, Sa?”
“Kamu pernah merasa Arman berubah enggak akhir-akhir ini? Kayak... ada yang dia sembunyikan?”
Pertanyaan itu membuat Caca terpaku. Ia mencoba bersikap tenang, tetapi Sasa bisa melihat ada sedikit keterkejutan di wajah sahabatnya.
“Enggak, kok. Mungkin dia cuma sibuk sama kerjaannya,” jawab Caca akhirnya, berusaha menghindari tatapan langsung dengan Sasa.
Sasa tersenyum kecil, meski hatinya tahu jawaban itu tidak sepenuhnya jujur.
***
Malam harinya, Sasa akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Arman. Mereka duduk di ruang tengah, suasana terasa dingin meski cuaca di luar cerah.
“Mas, aku mau ngomong sesuatu,” ujar Sasa, suaranya pelan tapi tegas.
Arman menatapnya. “Apa, Sayang?”
Sasa menarik napas panjang. “Aku cuma mau tanya, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku?”
Arman terdiam. Pertanyaan itu seperti pukulan telak baginya. Ia tahu ini adalah saatnya untuk jujur, tetapi ia juga takut menghancurkan hati Sasa.
“Enggak ada, Sa. Aku enggak pernah bermaksud menyembunyikan apa-apa,” jawabnya akhirnya, meski suaranya terdengar ragu.
Sasa menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata itu. Tetapi ia hanya menemukan keraguan.
“Mas, kalau kamu ada masalah atau sesuatu yang mengganggu, tolong bilang sama aku. Aku istri kamu,” katanya, hampir seperti memohon.
Arman mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia tahu ia sedang berdiri di tepi jurang yang berbahaya.
***
Akankah Sasa menemukan keberanian untuk menghadapi kebenaran? Atau justru ketiga hati ini akan tenggelam dalam perasaan yang tak termaafkan?