Ketika mimpi berubah menjadi petunjuk samar, Sophia mulai merasakan keanehan yang mengintai dalam kehidupannya. Dengan rahasia kelam yang perlahan terkuak, ia terjerat dalam pusaran kejadian-kejadian mengerikan.
Namun, di balik setiap kejaran dan bayang-bayang gelap, tersimpan rahasia yang lebih dalam dari sekadar mimpi buruk—sebuah misteri yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bisakah ia mengungkap arti dari semua ini? Atau, akankah ia menjadi bagian dari kegelapan yang mengejarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veluna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terperangkap
Aku menutup pintu kamar dengan cepat dan berjalan ke tempat tidur, melemparkan tubuhku yang lelah ke atas kasur. Suasana di sekitarku terasa semakin mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai. Aku memejamkan mata, berusaha untuk mengusir segala pikiran buruk, tetapi hati ini terasa semakin berat.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar lagi di luar kamarku. Suara langkah itu semakin mendekat, semakin keras. Setiap langkahnya seperti memekakkan telinga. Aku menahan napas, takut kalau suara itu akan semakin mendekat dan akhirnya memaksaku untuk membuka pintu. Tak kuasa menahan rasa takut, aku menggenggam ponsel yang tergeletak di samping tempat tidurku.
Tiba-tiba ponselku bergetar, dan suara Ari terdengar dari sana. “sophi, jangan buka pintu kamar!” katanya dengan suara yang terdengar panik, seperti ada yang mengancam di seberang sana.
Aku langsung terkejut, cepat-cepat mengangkat ponsel itu. “Ari? Kamu di mana? Kenapa bisa tahu kalau aku hampir membuka pintu?” tanyaku, berusaha tenang.
“Tolong, jangan buka pintu. Aku tahu ada yang aneh di luar sana. Jangan dengarkan apa yang kamu dengar,” suara Ari semakin tegas, penuh kecemasan.
Namun, saat aku mendengar suara Ari yang khawatir itu, suara lain tiba-tiba terdengar dari luar kamar. Suara Maya, temanku, memanggil dari balik pintu. “sophi, buka pintunya. Jangan dengarkan suara dari ponsel itu! Itu bukan Ari yang kamu dengar!” Maya terdengar sangat meyakinkan, seolah ia benar-benar tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku merasa seperti terjebak di tengah kebingungan. Suara Maya begitu familiar dan penuh kehangatan, tetapi suara Ari juga terasa begitu nyata dan penuh rasa panik. Aku terguncang, tidak tahu harus mendengarkan siapa.
“Dira, buka pintunya sekarang juga!” suara Maya terdengar semakin mendesak, penuh tekanan. “Kamu nggak bisa mempercayai suara itu. Itu bukan Ari!”
Aku merasakan tubuhku kaku. Kedua suara itu, satu dari ponsel dan satu dari luar kamar, semakin memperburuk kebingunganku. Maya terus memaksa untuk aku membuka pintu, sementara Ari terus memperingatkan ku dengan suara yang penuh ketegasan. Aku merasa semakin terjebak, tak tahu harus kemana.
Dengan tubuh yang bergetar, aku berusaha berpikir jernih. Suara Maya di luar semakin keras, menuntut aku membuka pintu. Di saat yang sama, suara Ari di telepon semakin panik, memperingatkan ku untuk tidak mempercayai apa yang terjadi di luar sana.
Aku merasa terjebak antara dua dunia yang bertentangan. Maya terus menyuruhku untuk membuka pintu, sedangkan Ari, dengan suara panik terus meyakinkan aku.
Aku ingin membuka pintu, tapi instingku memberitahuku untuk tetap waspada. “sophi, tolong, buka pintu! Aku nggak bisa tinggal di luar lagi!” Maya terus berteriak, tapi aku tahu ada yang tidak beres dengan suaranya.
Suara Ari kembali terdengar di ponselku, lebih keras dan lebih tegas dari sebelumnya. “sophi, dengarkan aku. Jangan buka pintu! Itu bukan Maya! Kamu harus tetap di dalam, percayalah padaku!”
Hatiku berdetak kencang. Aku ingin percaya pada Ari, tetapi suara Maya begitu meyakinkan. Aku hampir tak mampu berpikir jernih. Ada perasaan aneh yang datang dari luar pintu, perasaan yang seakan mencoba menarik ku keluar, menjebak ku.
Aku memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Lalu, aku teringat satu hal. Ari sudah bilang dia pulang kampung karena neneknya meninggal. Di kampungnya, dia pasti tidak bisa menghubungiku karena tidak ada jaringan internet. Jadi, siapa yang meneleponku sekarang?
Ketika aku mulai merasa sangat bingung, aku mendengar sesuatu yang tak terduga. Tiba-tiba, suara Ari yang tadi penuh kecemasan berubah. Nada suaranya menjadi lebih rendah, lebih serak, seperti bisikan dari lubang yang dalam. "Sepertinya tua Bangka itu sudah mulai memprovokasi mu".
Aku merinding mendengar perubahan itu.
"Oh, perlukah aku menyebutmu cucu?" Suaranya semakin menyeramkan, seperti makhluk asing yang sedang mengejekku. Tubuhku langsung membeku, dan tanpa pikir panjang, aku melemparkan ponsel itu ke lantai.
Di luar kamar, suara Maya semakin keras. "sophi! Aku nggak punya banyak waktu! Tolong buka pintu ini!" teriaknya, nyaris putus asa.
Ketakutanku semakin menjadi. Aku merasa suara Maya di luar bukan berasal dari temanku. Tetapi aku juga tidak bisa memastikan apa yang benar dan apa yang salah. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran yang kalut.
Namun, sebelum aku bisa memutuskan, pintu kamarku tiba-tiba didobrak. Aku melompat kaget, dan di sana, Maya berdiri dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya penuh dengan keringat, tetapi matanya menatapku dengan kekhawatiran yang mendalam.
"Maya? Kamu... ini benar-benar kamu, kan?" tanyaku dengan suara bergetar.
Dia tidak menjawab. Dia langsung menghampiriku dan memelukku erat. "Aku di sini, sophi. Aku di sini," bisiknya, mencoba menenangkan tubuhku yang gemetar.
mampir juga dikerya ku ya jika berkenan/Smile//Pray/