Kalista Aldara,gadis cuek yang senang bela diri sejak kecil.Tapi sejak ia ditolak oleh cinta pertamanya,ia berubah menjadi gadis dingin.Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan laki-laki berandalan bernama Albara. "Gue akan lepasin Lo, asalkan Lo mau jadi pacar pura-pura gue."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh dua
"kakak.."
Aldara menyunggingkan senyum begitu gadis kecil itu berlari dan memeluknya. Penampilannya sudah sangat berubah. Tubuhnya terlihat bersih, pakaiannya juga rapi. Aldara berjongkok lalu mengusap pipi gadis kecil itu.
"Nama kamu siapa?"
"Raina."
"Cantik."
"Kal,gue enggak?" Tanya Zulfa seraya merentangkan tangannya. Satu makhluk aneh itu terlihat menaik-naikkan alisnya.
"Ya udah gede, malu lah sama umur."
Zulfa terlihat menghentakkan kaki, tetapi sesaat kemudian dia menarik senyuman sebagai penetralisir rasa kesalnya.
"Raina ini Kalista."
"Aldara," koreksinya.
Zulfa berdecak kecil." Tapi karena dia sedang berkamuflase jadi jangan panggil Kalista di sembarang tempat."
"Dikira gue bunglon",gerutunya.
"Eh gue udah daftarin Raina sekolah. Tapi belum mulai perlengkapannya aja, lu temenin dia ya?"
Aldara bergumam. Ia pun bangkit lalu menggenggam tangan gadis kecil itu dan berjalan ke arah toko di sekitaran sana. Tidak ada agenda khusus dalam pertemuan mereka ini.
Dari mulai tas, hingga printilan kecil seperti penghapus, semua saudara yang pilihkan. Raina hanya menatap semua itu dengan penuh binar. Jangankan memilih sendiri, berada di posisi ini pun mungkin belum pernah terpikirkan olehnya.
Aldara sudah merasa seperti malaikat sekarang.
"Ada hal lain yang kamu mau?" tanya Aldara pada Raina.
Raina menggeleng pelan, "Gak ada kak, ini juga udah cukup."
Mereka pun melangkah menuju kasir. Ketika Aldara hendak membuka dompet, Zulfa lebih dulu menyerahkan kartu pada kasir dengan wajah ceria.
"Duit gue sekarang udah banyak, Kal," jelas Zulfa sambil tersenyum centil khasnya.
Aldara menahan napas, memperhatikan Zulfa yang tengah berkomunikasi dengan kasir. Ia teringat saat pertama kali bertemu Zulfa. Saat itu, Aldara masih seusia Raina. Meski berusia beberapa tahun di atasnya, tubuh Zulfa kala itu jauh lebih kecil darinya, kurus dan tak terurus.
Zulfa ditemukan sendirian di bawah kolong jembatan, diterjang hujan deras. Sungai yang tak jauh darinya sebentar lagi akan meluap. Di bawah temaram malam, Zulfa hanya bisa menangis, terhimpit oleh pilihan hidup yang sama-sama menghancurkan. Entah harus pasrah terseret arus sungai, atau berjuang keras di jalanan demi masa depan yang tak pasti. Namun, kini Zulfa berdiri di sana, tegar dan ceria, menjadi sosok yang berhasil melewati perjuangan masa lalu.
Untuk pertama kalinya, Aldara merasakan kehampaan yang menyelimuti jiwa orang lain; dia menyaksikan betapa manusia dapat merasa putus asa. Sebelumnya, Aldara percaya bahwa setiap orang memiliki kebahagiaan mereka masing-masing, meskipun dengan cara yang berbeda.
Pada saat itu, Aldara menggendong tubuh Zulfa yang menggigil, berusaha membawanya ke tempat yang lebih baik. Menerjang derasnya hujan, pikiran Aldara berkeliaran, menyadari bahwa tidak semua orang mendapatkan kebahagiaan yang sama. Lantas, mengapa tidak dia yang menciptakan kebahagiaan bagi mereka?
Zulfa menjadi titik awal dari perjalanan baru Aldara; titik balik di mana ia mulai menggumuli hidup orang lain, hingga akhirnya lahir sebutan "anak Kalista".
Ujung bibir kirinya tersenyum, merenung kenangan lama yang menari-nari di benaknya. Ia sadar bahwa apa yang telah dilakukannya bukanlah perbuatan heroik, melainkan semata tindakan naif yang terus menggerogoti hatinya.
"Kal, ini kesukaan lo, kan?" ujar Zulfa seraya menunjuk lolipop yang dipegang erat di tangannya, baru saja diambil dari sisi kasir.
"Itu kesukaan lo," ungkap Aldara dengan raut wajah datar, seakan menegaskan kenyataan yang telah diketahui bersama.
Mendengar itu, Zulfa seketika tertawa terbahak-bahak, menertawakan kenangan masa lalu mereka. "Ternyata lo masih inget, ya! Gimana kalau kita nikah aja, biar gak lupa?" goda Zulfa sambil menepuk bahu Aldara dengan penuh keceriaan.
Aldara bergidik ngeri menatap temannya yang satu ini, tak habis pikir dengan kelakuan Zulfa yang spontan dan tak terduga. "Gila, lo!" sergah Aldara.
____
Tidak ingin repot dengan barang bawaan yang ribet, Aldara memutuskan untuk memasukkan semua barang ke dalam ransel dan menggendongnya. Zulfa mengajak Raina untuk membeli es krim, sementara Aldara lebih memilih menunggu di salah satu bangku taman.
"Copet! Tolong!" Teriakan itu tiba-tiba memecahkan kesunyian. Aldara menoleh dan mendapati seorang wanita yang tampak hampir menangis melihat tasnya yang diambil begal lalu dibawa lari.
Aldara mengangkat bahu dengan acuh tak acuh, lalu meraih ponselnya. Dia menyalakan timer dan kembali menatap ke depan sambil bersenandung kecil. Jemari Aldara mengetuk-ngetuk kursi bangku, seolah mengikuti irama lagu yang ia dengungkan.
Tepat saat Aldara mematikan timer yang berbunyi, Zulfa menghampirinya dengan napas terengah-engah, seakan baru saja mengejar sesuatu. Zulfa memamerkan senyuman yang menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Gagal." Gumam Zulfa.
"Jadwal kerja gue sibuk banget,jadi gak sempet olahraga,gak kekejar deh," jelas Zulfa memberi alasan.
Aldara menghela napas kecil lalu bangkit." Ke mana?"
"Gang yang ada bendera partai."
Aldara berjalan melewati wanita kecopetan yang menangis semakin kencang.Ia berjalan biasa,hanya langkah terayun lebih cepat.
Matanya membidik mulut gang yang tadi Zulfa sebutkan,tapi kakinya berbelok memasuki gang sebelumnya.Ia berkedip,saat membuka mata sorot matanya berubah.
Aldara berlari lalu meloncat,meraih ujung benteng kemudian dengan mudah ia berdiri di atasnya.Ia mengedarkan pandangannya.Sayangnya jarak rumah yang begitu berdekatan membuatnya tidak bisa memperhatikan setiap gangnya.
Aldara beralih menaiki atap rumah,melompat ke rumah selanjutnya ia berhasil berdiri pada atap rumah dengan dua lantai.Angin diatas membuat rambutnya berkibar.Aldara memejamkan matanya,tanpa membuang waktu,ia pun melompat pada atap di sampingnya.Dari satu rumah ke rumah yang lain hingga dirinya pun mendaratkan kaki pada sebuah gang yang cukup kotor dan sepi.Copet itu benar-benar hafal denah daerah ini.
Aldara sudah kembali normal.Dia bahkan terlihat santai menyandarkan punggung pada dinding gang,menunggu kehadiran pencopet itu.
Dari arah kiri, seorang pencopet muncul tiba-tiba. Wajahnya terlihat terkejut karena menemukan seseorang di sana. Namun, dalam sekejap, ia berhasil mengendalikan diri, menyembunyikan rasa panik dan berlakon seolah-olah ia hanyalah orang biasa yang sedang berjalan di tempat itu.
Pencopet itu hampir saja melewati Aldara, namun tepat sebelum ia berhasil melangkah lebih jauh, Aldara bergerak sigap. Dalam hitungan detik, Aldara mengunci kedua tangan pencopet itu ke belakang, menekan tubuhnya ke tembok. "Kalau mau mabok, jangan dari mencuri barang orang lain, bodoh," gumam Aldara penuh kejengkelan, sambil menekan tubuh pencopet itu lebih kuat lagi hingga muka pria malang itu meringis karena pipinya semakin tertusuk oleh butir-butir pasir dari tembok yang tidak rata.
"Lepasin, bangs*t!" umpat copet itu, mencoba berontak dengan sekuat tenaga. Namun, Aldara tak bergeming, ia justru semakin mengerahkan tenaga untuk menahan copet itu. "Mulut lo, gue tabok itu mulut kalau lama-lama," ancam Aldara dengan suara berapi-api.
"Lepasin!" Aldara tak kunjung melepaskannya, justru dengan perlahan, ia meraih salah satu jari kelingking pencopet itu dan melipatnya ke arah yang tidak seharusnya, memaksa copet itu menjerit keras kesakitan.
"Bacot doang Lo!"
"Ampun!" Copet itu memohon.
Aldara merebut tasnya lalu menghempaskan tubuh pencopet itu,lalu ia berdecih.
"Anak kemarin sore aja songong banget." Aldara menatap pencopet itu dengan tatapan tajam dan dagu yang terangkat.
"Apa Lo liat-liat?" Aldara mengatakan sebelah kakinya lalu pencopet itu pun berlari terbirit-birit.
Aldara menghela napasnya.Untung hanya pencopet biasa jadi ia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk melawannya.Sialan! Keanggunannya sebagai wanita sudah hilang. Padahal ia sudah susah payah belajar menjadi anggun.