Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Aku duduk di ruang tamu, mencoba fokus pada konten yang harus kukerjakan untuk TikTok. Pikiran masih melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Sejak aku menolak memberikan uang kepada Bu Ningsih, suasana di rumah ini semakin tak nyaman. Mertua semakin sering datang, namun bukan untuk mencari solusi, melainkan untuk membuat suasana menjadi lebih buruk.
Pintu rumah tiba-tiba terbuka, dan aku bisa merasakan langkah kaki Bu Ningsih yang berat mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu bahwa dia akan memulai sesuatu lagi. Seperti biasa, hari-harinya tak pernah berlalu tanpa menyelipkan sindiran atau kritikan yang membuatku semakin merasa terasing di rumah sendiri.
"Kirana," panggil Bu Ningsih dengan nada dingin. Aku menoleh, berusaha menampilkan senyum sopan meski hati ini sudah penuh dengan kekesalan.
"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan suara tenang. Aku berusaha menahan diriku untuk tidak terlihat terganggu, tapi aku sudah tahu ke mana arah percakapan ini.
"Kamu dari tadi begini saja ya? Ngabisin waktu buat hal-hal nggak berguna. Nggak heran kalau sampai sekarang belum juga punya anak," ucapnya tanpa basa-basi.
Aku terdiam. Pernyataan itu seperti menamparku, tapi ini bukan pertama kalinya dia menyinggung soal itu. Sudah lama aku menikah dengan Dion, dan sampai sekarang memang belum ada tanda-tanda kehamilan. Topik ini sudah sering menjadi senjata bagi Bu Ningsih untuk menyerangku.
"Bu," kataku dengan suara pelan, mencoba mengendalikan emosiku. "Masalah anak itu kan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan."
"Ah, kamu selalu ada alasan," balasnya cepat. "Lihat saja, semua orang yang menikah seumuran kamu sudah punya anak. Mungkin masalahnya bukan di Dion, tapi di kamu. Bisa jadi kamu yang mandul."
Aku merasa dadaku sesak. Kata-kata itu menghantamku seperti batu besar yang jatuh dari ketinggian. Mungkin di balik semua kata-kata kasarnya, ada ketakutan tersembunyi. Mungkin dia juga merasa Dion akan kesepian di masa depan tanpa keturunan. Tapi caranya mengatakannya selalu membuatku sakit hati.
"Saya dan Dion sudah mencoba, Bu," jawabku berusaha tetap tenang. "Tapi itu semua butuh waktu. Dan, kami belum mau memaksakan apa-apa."
Bu Ningsih mendengus. "Oh, tentu saja. Kamu memang nggak pernah punya prioritas yang benar. Daripada fokus untuk punya anak, kamu malah sibuk main HP, bikin video yang nggak ada gunanya. Seharusnya kamu tahu bahwa sebagai seorang istri, tugas utama kamu itu memberikan keturunan."
Kali ini aku tak bisa menahan amarah yang mulai menggelembung di dalam diriku. "Saya juga berusaha, Bu. Tapi tidak adil kalau semua kesalahan diarahkan kepada saya. Dion juga bagian dari ini semua. Dan saya yakin Tuhan punya rencana-Nya sendiri."
"Apa? Kamu berani menyalahkan anak saya?" suaranya meninggi, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Anak saya itu sempurna. Dia sudah melakukan semua hal untuk kamu, tapi kamu yang gagal menjadi istri yang benar. Kamu nggak cuma tidak becus jadi istri, tapi juga nggak bisa jadi ibu!"
Aku terdiam. Kata-katanya terasa seperti pisau yang mengiris perlahan, membuat luka dalam yang tak terlihat. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap kali isu anak dibicarakan, aku merasa lemah dan gagal. Tapi aku tahu, kali ini aku tidak boleh membiarkan diriku tenggelam dalam perasaan itu.
"Kita sudah berusaha, Bu," kataku lagi, meski kali ini suaraku sedikit bergetar. "Tapi saya mohon, jangan buat ini jadi masalah seolah-olah saya tidak mau berusaha."
"Saya nggak butuh alasan, Kirana. Saya butuh cucu!" Bu Ningsih melangkah mendekat, tatapannya penuh tuntutan. "Dan kalau kamu nggak bisa kasih cucu, mungkin Dion harus mencari wanita lain yang bisa memberinya keturunan!"
Pernyataan itu membuatku terhenyak. Aku merasakan tangan-tanganku gemetar, dan untuk beberapa detik aku kehilangan kata-kata. Dia benar-benar mengancamku dengan perceraian hanya karena soal anak?
"Dion tidak akan meninggalkan saya hanya karena masalah ini, Bu," jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lemah. "Ini bukan hanya soal anak, tapi soal cinta dan komitmen."
Bu Ningsih tersenyum sinis. "Cinta? Kamu pikir cinta saja cukup? Lihat saja nanti. Kalau kamu nggak bisa memberikan apa yang dia inginkan, kita lihat berapa lama dia akan bertahan."
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Setiap kali Bu Ningsih datang, rasanya seperti ada awan gelap yang menggantung di atas rumah ini. Dan semakin lama, semakin terasa bahwa aku semakin tidak diinginkan di sini.
Setelah Bu Ningsih pergi, aku terduduk lemas di sofa. Suasana sunyi dan dingin terasa menyelimuti seluruh ruangan. Pikiranku melayang pada Dion. Bagaimana jika apa yang dikatakan ibunya benar? Bagaimana jika Dion suatu hari benar-benar akan meninggalkanku hanya karena aku belum bisa memberinya anak?
---
Malam itu, ketika Dion pulang, aku mencoba bicara dengannya tentang apa yang terjadi.
"Dion," panggilku pelan saat dia sedang melepas sepatu di ruang tamu. "Bisa bicara sebentar?"
Dion menoleh, tampak lelah. "Ada apa lagi?"
Aku ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Tadi Ibu datang lagi. Dia mengatakan sesuatu yang cukup menyakitkan."
Dion menghela napas berat, seolah sudah tahu apa yang akan kubicarakan. "Ibu bilang apa kali ini?"
Aku mencoba menjaga suaraku tetap tenang. "Dia bilang... bahwa mungkin aku mandul. Bahwa kita belum punya anak karena aku gagal sebagai istri."
Dion terdiam, dan aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajahnya. "Kirana, kamu tahu Ibu memang suka bicara sembarangan. Jangan terlalu dipikirin."
"Tapi dia bilang kalau kamu mungkin akan menceraikan aku kalau aku nggak bisa kasih kamu anak."
Kali ini Dion terlihat sedikit terkejut. "Ibu bilang begitu?"
Aku mengangguk pelan. "Iya. Dan... aku hanya ingin tahu, apa itu benar? Apa kamu pernah berpikir seperti itu?"
Dion terdiam beberapa saat, matanya menatap lantai seolah sedang mencari jawaban. "Kirana, aku nggak pernah bilang aku mau ninggalin kamu. Tapi... Ibu memang benar soal satu hal. Kita sudah lama menikah, dan kita memang belum punya anak."
Aku menahan napas, merasakan ketegangan yang semakin nyata di antara kami. "Apa itu berarti kamu juga berpikir bahwa masalahnya ada di aku?"
Dion menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Aku nggak bilang begitu. Tapi kamu juga tahu, keluarga mengharapkan kita segera punya anak. Itu hal yang wajar."
"Dan kalau kita nggak bisa punya anak? Apa itu berarti kamu akan memilih meninggalkan aku?"
Dion tidak menjawab. Keheningan yang mengikuti pertanyaanku terasa begitu berat, seolah dunia berhenti bergerak selama beberapa detik. Aku menunggu jawabannya, tapi Dion hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca.
"Jangan terlalu dipikirin, Kirana," akhirnya dia berkata dengan suara pelan. "Aku nggak mau kita bertengkar soal ini."
Namun bagianku yang lain merasa bahwa ini lebih dari sekadar bertengkar. Aku bisa merasakan sesuatu yang jauh lebih dalam.
"Kita perlu bicara serius soal ini, Dion. Aku butuh tahu apa yang kamu rasakan sebenarnya," kataku dengan penuh ketegasan.
Dion mengusap wajahnya, tampak kelelahan. "Aku hanya ingin kita punya anak, Kirana. Itu saja."
"Dan kalau tidak bisa?" tanyaku lagi, kali ini suaraku bergetar.
Dion kembali terdiam, dan keheningan yang menyelimutiku semakin membuat hatiku terasa kosong.