(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 16
Erland tersenyum, ingin sekali ia menuangkan kopi panas itu ke kepalanya agar kepalanya itu setidaknya bisa berpikir. "Menemui mantan istri mu? Kennet sebenarnya kau tidak bisa melupakannya kan?" tanya Erland.
Kennet terkekeh kecil, mana mungkin ia tidak bisa melupakan Livia sedangkan ia sudah menikah dengan Kalisa. "Kalau aku tidak bisa melupakannya tidak mungkin aku menikah dengan Kalisa. Kau tentu tau kan? Bahwa aku tidak bisa melupakannya? Ide dari mana kau mendapatkannya."
Anita merasa kasihan, sebenarnya Kennet masih mengharapkan Livia tapi pria itu menolaknya. "Hati mu akan tenang kalau kau tidak memiliki dendam. Kau akan tenang Kennet, cobalah untuk memulai kehidupan baru. Livia sudah bahagia, kau juga harus bahagia." Ia masih memiliki hati nurani untuk menasehati otak beku Kennet.
"Bahagia? Aku sudah bahagia dengan Kalisa." Semua orang berpikir kalau ia tidak bahagia, tapi ia bahagia dan sekalipun ia bahagia, ia hanya ingin mengusik kehidupan mantan istrinya.
Sebagai seorang sahabat, sebagai seorang teman. Ia ingin membuat pria itu tau jalannya. "Kennet apa kau yakin kau tidak bisa memiliki anak?"
Kennet terdiam, kenapa semua orang menanyakan tentangnya. Semua orang tau kalau ia tidak bisa memiliki anak. "Jangan menyinggung anak, aku memang tidak bisa memilikinya. Kau sudah tau bagaimana aku berjuang pengobatan selama ini."
"Bisa saja, anak yang di kandung Livia adalah anak mu. Kenapa kau tidak mencoba untuk test DNA." Seru Anita. Dia dan suaminya sudah berusaha membuka suatu jalan bagi Kennet untul mengetahui kebenarannya. "Jangan terlalu membenci anak Livia, aku takut kau akan menyesalinya. Sedalam apa pun luka mu, jangan menyakitinya Kennet."
Kennet berdiri, ia tidak ingin basa-basi. Ia merasa curiga bahwa mereka tau siapa Livia. "Apa kalian mengetahui mantan istri ku?"
"Tidak, kau hanya mengatakan nama Livia dan Livia memiliki anak," jawab Erland.
Tanpa meminuk kopinya dan mengucapkan kepergiannya. Dia pergi begitu saja seakan sepasang insan itu di anggap patung.
"Pria arogan itu, aku ingin sekali membedah kepalanya," ujar Anita.
"Aku juga tidak paham, bagaimana bisa dia tidak melihat wajah Caesar. Padahal mereka sudah bertemu."
"Dia telah di butakan oleh rasa benci. Jadi dia selalu mengatakan bahwa Livia mengkhianatinya. Orang jika sudah benci, sekalipun kebenaran ada di depan matanya pasti akan menganggap kesalahan." Anita merasa kasihan pada Livia. "Aku akan menghubungi Livia, aku harus menyuruhnya untuk berhati-hati."
"Iya kau hubungi Livia. Kennet pasti akan mengintai mereka."
....
Livia memejamkan kedua matanya. Dia berusaha membuat hatinya tenang dan tidak gelisah. Baru saja ia mendapatkan kabar bahwa Kennet kembali ke Jakarta untuk memberikan pelajaran padanya. Baru saja ia merasakan lega namun ia saat ini sudah merasa tak tenang lagi.
"Aku akan berhati-hati, terima kasih Anita." Ia menutup ponselnya dan melirik Alan yang sedang menonton telivisi. "Alan sebaiknya kau tinggal di sini saja untuk sementara waktu." Ia takut Kennet akan berulah.
Alan merasa tak enak hati, apa lagi hubungan mereka bukan status suami dan istri. Tidak enak jika di lihat oleh tetangga. "Tidak bisa, aku harus pulang. Tidak enak jika di lihat tetangga. Hari ini aku akan pulang. Anak-anak juga sudah tau." Melihat Livia yang terihat ragu sepertinya wanita itu mengkhawatirkannya. "Tidak perlu khawatir Livia, aku baik-baik saja."
"Baiklah, aku akan mengantar mu. Jika ada sesuatu katakan sesuatu pada ku."
Livia mengangguk, ia akan menyiapkan makan siang untuk Alan. "Aku akan pulang setelah memasak makan malam untuk mu."
...
Livia membuka pintu gerbangnya, dia melihat sebuah mobil putih. Dia teringat dengan ucapan Anita. "Apa itu Kennet?" Dia menatap tajam pada mobil putih.
Kennet menatap lurus ke depan, padahal dia berada di dalam mobil dengan kaca jendela yang tertutup rapat. Seakan di lihat oleh Livia.
"Tuan, nyonya Livia tidak akan tau kalau Tuan berada di mobil ini." Bernad menghela nafas panjang.
"Kau tau apa? Kau tidak lihat tatapannya bagaikan hantu." Kennet melihat mobil itu mulai berjalan. "Cepat ikuti mereka."
Bernad mengikuti mobil Livia dari jarak jauh. Livia menyadari jika ia sedang di ikuti. Ia bersikap biasa saja. Lagi pula ia mau ke rumah Alan. Biarkan saja Kennet tau bahwa ia juga bisa hidup tanpa Kennet.
"Livia biar aku saja yang membuka gerbangnya," ucap Alan. Hanya butuh waktu 20 menit mereka telah sampai.
Livia memasukkan mobilnya ke dalam pekarangan rumah Alan. Mobil yang di tumpangi Kennet pun berhenti di seberang jalan.
Livia menyilangkan kedua lengannya sambil menatap mobil putih itu.
"Bernad apa dia menyadari kalau ada aku? Wah berarti dia masih mencintai ku." Dengan santainya Kennet merasa bahwa Livia bisa menyadari keberadaannya.
Livia berbalik, dia mengekori Alan sampai masuk ke dalam rumah.
Kennet mengetuk ponselnya dengan jarinya. Ia merasa lama menunggu Livia keluar dari rumah itu. "Apa yang mereka lakukan?" Dia merasa gelisah membayangkan bagaimana pria itu akan bersikap mesra.
"Bernad sebaiknya aku mengeceknya."
"Jangan Tuan, apa Tuan mau Tuan di sangka maling di siang begini?"
Kennet gelisah, ia tidak bisa tinggal diam saja. Bisa saja mereka berdua sedang bermesraan. "Tapi kenapa mereka lama?"
"Namanya juga sepasang kekasih Tuan."
Buk
Bernad merasakan kepalanya berdenyut. Ia yakin kepalanya sudah ada benjolan. Bagaimana bisa Kennet melemparkan kepalanya dengan ponselnya dan ponselnya jatuh ke belakang kepalanya itu.
"Sekali lagi kau berbicara yang aneh-aneh, aku akan merobek mulut mu," ucap Kennet dengan nada dingin. Dia bersabar menunggu di dalam mobil.
Livia melihat dari jendela di celah gorden putih. Ternyata Kennet masih menunggunya. "Padahal sudah waktunya anak-anak pulang. Aku tidak bisa diam saja. Sebaiknya aku pergi, biarkan saja mereka mengikuti ku."
"Kenapa Livia?" tanya Alan melihat Livia yang berdiri di jendela kaca rumahnya.
"Aku rasa sudah waktunya anak-anak pulang. Aku harus menjemput mereka. Jika ada sesuatu hubungi aku."
Alan mengusap pucuk kepala Livia. "Iya, kau berhati-hatilah di jalan."
"Iya, aku pergi dulu."
....
Kennet bernafas lega setelah melihat Livia pergi. Dia pun mengikuti Livia hingga berhenti di sebuah jalan, di sekolah.
"Livia berhenti, sepertinya dia sedang menjemput anak-anaknya."
Kennet menurunkan kaca mobilnya dan melihat dua orang anak kecil laki-laki yang menghampiri Livia. Kemudian di susul oleh anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Kennet teringat dengan ucapan Anita. Wanita itu mengatakan bahwa anak Livia bisa jadi anaknya.
Bernad menatap anak yang lebih tinggi itu. Dia melihat wajah Kennet yang sama persis. "Tuan, bukankah anak itu mirip dengan wajah Tuan."