"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Sebelas
Alisha sedang diinterogasi kakaknya, Fabian.
“Jadi maksudmu, anak itu memanggilmu, ‘Mama’?”
Alisha mengangguk mengiyakan pertanyaan kakaknya.
“Apa kau yakin dia bukan anak kandungmu?” tanya Fabian lagi dengan wajah dan nada serius ingin tahu.
“Maunya sih begitu, tapi dia bukan anak kandungku kok.”
“Tapi kenapa aku tidak percaya?”
“Kak, kenapa gak percaya? Kakak kan tahu, sejak… sejak kejadian itu aku… selalu ada bersamamu, Kak. Kalau… kalau memang anakku masih hidup, kenapa aku harus merahasiakannya dari kalian?”
Astrid, memberi kode pada suaminya agar bersikap tenang, jangan sampai membuat Alisha sedih dan mengingat traumanya lagi.
“Alisha, maafkan aku. Aku pikir kamu takut.” Berkat Astrid, Fabian menurunkan volume suaranya menjadi sedikit lebih rendah.
“Ada anak kecil, yang tiba-tiba memanggilmu ‘Mama’. Dan, ayah anak itu juga, malah ikutan menyuruhmu berpura sebagai ibu dari anak itu. Aku, juga khawatir kau dijebak mereka.”
“Kak, orang itu… baik, walau kadang menyebalkan. Tapi, ini hanya untuk pekerjaan saja. Dia membayarku 20 juta setiap bulan jika bisa berperan sebagai ibu dari anak itu, bukan sebagai pegasuhnya.”
“Ehem, tapi… Alish, orang itu tidak menyuruhmu melakukan kewajiban sebagai… isteri?” tanya Astrid ragu-ragu.
“Enggak kok Kak. Justru, dari yang aku lihat, dia seperti benci padaku. Dekat saja, dia ngamuk mulu.”
“Baguslah kalau begitu. Fabian, sekarang kau jangan khawatir lagi. Alisha juga wanita dewasa yang pintar. Percaya saja padanya.”
“Gimana mau percaya, dari awal saja dia sudah membohongi kita. Katanya bekerja diluar kota, nyatanya?” Fabian melirik sinis Alisha yang tertunduk malu.
“Itu karena dia takut kita gak percaya padanya. Dan, dia punya alasan melakukannya kan? Semua sudah jelas, Alisha juga tidak menyembunyikan apapun lagi. Harusnya, kita sudah bisa tenang. Apalagi, bukankah bagus, ternyata tempat kerja Alisha bukan diluar kota?”
“Alisha, berikan aku nomor telepon orang itu.”
“Untuk apa Kak?”
“Untuk apa? Untuk berjaga-jagalah! Kalau aku tidak bisa menghubungimu, aku bisa menghubunginya.”
“Jangan Kak. Aduh… kok jadi begini sih. Tahu gini, aku gak akan kasih tahu yang sebenarnya.”
“Alisha! Itulah mengapa kau bisa tiba-tiba hamil saat itu-
Plak!
Fabian tersadar berkat pukulan dari isterinya yang keras. Kalau tidak, mulut suami Astrid itu akan terus mengoceh menyakiti perasaan adik kandungnya.
“Ehem, Alisha, kakak-mu minta nomornya, bukan untuk dihubungi sekarang. Aku pikir juga, itu lebih baik kami tahu nomornya kan? Kami tidak akan sembarang menghubunginya kok.” Bujuk Astrid. Tapi, Alisha masih teringat dan sakit hati dengan ucapan kakaknya tadi.
“Alisha?” Astrid memanggilnya lagi, tapi Alisha masih diam dengan tatapan kosong. Astrid dan Fabian jadi khawatir dan memanggil Alisha lagi.
“Alisha?!” Fabian menggoyangkan bahu adiknya untuk menyadarkannya.
“Ya?” dan akhirnya Alisha menunjukan tatapan mata yang hidup.
Drtdd… drtdd… drtdd…
“Ponselmu berdering.” Kata Fabian.
Sempat Fabian melihat, ‘Sadewa’ memanggil. ‘Sadewa? Apa itu nama pria yang memiliki anak?’
“Oh, iya. Se-sebentar, aku angkat teleponnya dulu.” Alisha berdiri dan mengambil jarak sedikit untuk berbicara dengan Sadewa.
“Kenapa kau berbicara seperti tadi?” tanya Astrid membelalakan matanya pada suaminya.
“Aku keceplosan, Sayang.”
“Makanya aku selalu khawatir kalau kau ingin berbicara dengan Alisha. Aku takut mulutmu akan nyerocos terus tanpa kau sadari.”
“Iya, iya, maafkan aku, Isteriku.”
“Jangan minta maaf padaku! Tapi minta maaflah nanti pada Alisha. Kau kan tahu, butuh waktu lama dia untuk melupakan kejadian itu, dan kau malah mengingatkannya lagi??” matanya semakin melotot melihat suaminya, walau suaranya pelan tapi ada penekanan dalam nadanya.
“Mama! Mama! Mama ada di mana? Hiks… hiks… hikss…”
Astrid dan Fabian mendengar ada suara tangisan dari ponsel Alisha. Mereka yang tadinya bertengkar, maksudnya, Astrid yang sedang memarahi suaminya, jadi ikut dengar pembicaraan yang dilakukan Alisha.
“Iya Sayang, Mama ada di sini. Kamu kenapa?”
“Mama… aku… aku mau Mama pulang… hiks… hiks…”
“I-iya, Mama pulang sebentar lagi.”
“Tante? Itu siapa? Kenapa ada anak yang menangis?” tanya Mira yang ikut khawatir.
“Mira? Tante lagi bicara di telepon ya.”
“Mama! Mama sama siapa? Mama di mana?” tanya Anisha masih menangis juga.
“Anisha, sabar ya, sebentar lagi Mama pulang.”
“Gak mau! Mama hayus pulang sekayang.”
“Iya, iya. Mama akan-
“Anisha?!”
‘Aduh? Kenapa bapaknya juga ikutan teriak? Anisha? Kenapa?’
“Hallo? Anisha?” Alisha mendengar dari seberang telepon, banyak suara panik memanggil nama Anisa.
“Anisha, bangu Nak. Anish!”
“Ha-hallo?”
Bukan hanya dari pihak Anisha saja yang panik, dari Alisha juga. Fabian dan Astrid sampai menghampirinya untuk menanyakan apa yang terjadi.
“Alisha!!”
“I-iya?” Alisha terkejut karena mendengar suara Sadewa yang tiba-tiba berteriak.
“Cepat kembali kesini sekarang!!”
“I-iya, ta-tapi aku harus-
“Aku tidak mau tahu! Pokoknya sekarang kau pulang karena anakku pingsan!”
“Oke, oke. Aku akan pulang-
“Aku akan bawa Anisha ke rumah sakit. Saat aku kembali, kau harus sudah ada di rumah, mengerti???”
“Iya, iya. Aku sedang bersiap untuk pulang.” Alisha sampai harus menutup telinga dan menjauhkan jarak ponselnya karena suara teriakan dari Sadewa.
Klik!
Sadewa menutup teleponnya.
“Alish, ada apa? Siapa yang berteriak itu?” tanya Fabian.
“Kak, aku harus pulang sekarang.” Alisha sudah menggandeng tas-nya.
“Alish, ada apa? Apa kau tidak bisa menjelaskannya padaku?”
“Kak, Anisha, anak yang sedang aku asuh, dia menangis mencariku sampai sekarang dia pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Aku harus pulang untuk menenangkannya.”
“Tante, padahal Mira mau main sama Tante.”
“Iya sayang, lain kali saja ya. Nanti Tante datang lagi kok. Sampai jumpa ya.” Alisha mencium pipi keponakannya dan memeluk kakak ipar sebelum dia pergi.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa pria itu malah berteriak memarahi Alisha?” Fabian bicara sendiri disamping isterinya. Mereka bertiga, termasuk Mira, masih melihat kearah pintu, dimana Alisha baru keluar dari sana.
“Mungkin karena hubungan mereka yang sudah dekat. Maksudku, Alisha dan anak itu. Kita kan dengar tadi, kalau anak itu sampai pingsan karena berjauhan dari Alisha.”
“Bu, siapa Anisha itu? Kenapa Tante begitu perduli padanya?” tanya Mira.
“Nanti tante sendiri yang jawab ya. Sekarang kamu masuk kamar gih, kerjain PR-nya.” Kata Astrid.
“Tapi tetap saja, dia tidak seharusnya berteriak pada adikku. Dan, bukankah tadi kata Alisha, kalau bos-nya itu sudah memberinya ijin untuk menginap di sini? Belum setengah hari, baru saja sampai, sudah berteriak menyuruhnya pulang. Aku kesal sampai setengah mati rasanya.”
Astrid mengusap punggung suaminya, “Sabar, sabar. Kita juga tidak bisa terlalu mengekang Anisha. Kita hanya bisa mendukung dan membantunya jika dibutuhkan.”
Sementara itu, Sadewa membawa Anisha ke rumah sakit dengan panik.
“Papa… aku… aku mau… mama… hiks… hiks…” walau napasnya tidak stabil dan menangis, Anisha terus saja meminta Alisha untuk datang.
“Iya Anish, mama-mu akan segera datang. Tenang ya, jangan menangis lagi.”