Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*20
'Berbahagia lah dulu kalian. Tapi, bersiap-siaplah untuk menderita selanjutnya.' Melia berkata dalam hati.
Dia tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran Citra. Karena anak itu masih tetap sama. Sikap dan tingkah lakunya masih tidak berubah sedikitpun. Masih tetap ingin menjadi yang lebih baik dari Melia.
'Perlahan, kalian akan merasakan apa itu yang dinamakan rasa sakit,' kata Melia lagi.
'Aku akan buat kalian menderita secara perlahan. Nikmatilah.'
"Pelayan!"
"Ya, nyonya."
"Antar Melia ke kamar tamu," ucap mama tiri memberi perintah dengan sinis.
"Kamar tamu?"
"Kamar ku yang dulu kenapa, tante?"
"Sudah jadi kamar pakaian Citra. Terlalu lama untuk memindahkan pakaian Citra dari kamar itu. Jadi, kamu harus tinggal di kamar tamu untuk sementara. Sama aja, bukan? Yang penting kamu tidurnya di kamar, Melia."
"Iya. Baiklah."
'Baiklah. Aku akan mengalah. Kamarku dijadikan kamar pakaian anakmu. Berapa banyak pakaian anakmu sebenarnya? Sampai harus punya satu kamar hanya untuk menyimpan pakaian. Sungguh luar biasa,' ucap Melia dalam hati.
Melia menarik koper mengikuti si pelayan. Tapi, si pelayan langsung menghentikan langkah kaki ketika Melia berjalan pelan di belakangnya.
"Nona. Biar saya yang bawa kan koper anda."
"Tidak perlu. Saya bisa bawa sendiri."
"Mm, kamu pelayan baru ya? Berapa lama sudah kamu bekerja di sini?"
"Baru dua tahun, nona. Saya menggantikan kakak saya yang sakit. Jadinya, saya lah yang bekerja sedangkan kakak saya berhenti."
"Kakak? Berapa lama kakak kamu bekerja di sini?"
"Baru satu tahun. Tapi, sudah sakit-sakitan. Jadinya, saya dan kakak saya mungkin baru mau tiga tahunan bekerja di sini."
"Oh."
Melia bertanya bukan tanpa maksud. Karena dia juga ingin memberikan pelajaran pada para pelayan yang dulunya merendahkan dia. Jadi, dia harus tahu asal usul si pelayan yang saat ini sedang berbicara dengannya.
"Ini kamarnya, Nona."
"Silahkan."
"Terima kasih."
"Sama-sama, nona."
"Oh iya. Apa nona butuh bantuan saya untuk merapikan barang bawaan?"
Belum sempat Melia menjawab, suara Citra yang datang dari belakang mengalihkan perhatian mereka berdua.
"Kurang kerjaan banget kamu ya? Sampai mau bantuin Melia buat beresin barang bawaannya segala. Gak tahu apa kamu kalo Melia itu datang dari keluarga miskin. Dia itu tidak terbiasa dilayani. Jadi, jangan layani dia."
"Pergi sekarang! Tugasmu hanya mengantarkan Melia sampai ke kamar tamu. Bukan bantuin nge beresin barang bawaannya. Jangan buat dia manja," ucap Citra lagi.
Si pelayan terlihat agak serba salah. Namun, karena perintah Citra barusan, tentu saja dia harus mengikutinya dengan cepat tanpa protes. Maklum, selama ini, yang berkuasa di rumah inikan wanita itu. Wanita yang selalu angkuh. Semua permintaannya harus di turuti.
"Maaf, nona. Saya permisi dulu."
"Ya. Pergi sana. Ingat, jangan pedulikan Melia. Meski dia adalah nona muda pertama dari keluarga ini. Tapi, kedudukannya tidak lebih rendah dari kamu yang bekerja sebagai pelayan."
Melia masih bungkam. Hanya mata menatap datar pada adik tidak sah yang masih saja sama seperti beberapa tahun yang lalu. Selalu mencari gara-gara dengannya.
Tadi aja ketakutan. Sekarang, sudah mulai memperlihatkan tanduknya lagi. Ish, dia tidak tahu kalau Melia yang sekarang bukan Melia yang dulu lagi. Melia yang sekarang bukanlah tandingannya. Bahkan, bukan tandingan papa mereka yang selalu berpihak pada adik tidak sah nya ini.
"Apa kamu lihat-lihat, Melia. Baru sadar kamu kalau di rumah ini tetap sama seperti dulu? Meski kamu kembali, nona muda tetaplah aku. Bukan kamu," ucap Citra dengan nada bangga.
"Hm. Benarkah begitu?"
"Ah, tapi aku tidak perduli sih apa yang terjadi di rumah ini. Mau kamu nona muda atau aku, yang penting, aku bisa kembali dan tetap tinggal di keluarga Racham."
"Oh iya, lupa. Bagaimana kabar hubungan kamu dan tuan muda Amerta? Apakah baik-baik saja, Cit?"
Wajah bahagia Citra luntur seketika. Tapi, hanya sesaat. Karena detik berikutnya, wajah bahagia kembali Citra perlihatkan. Karena pertanyaan Melia, Citra berpikir kakau dia akan memamerkan bahwa dia sangat bahagia bisa dijadikan tunangan oleh Ricky. Karena dulu, dia tidak sempat melakukan hal tersebut. Sebab, Melia mendadak menghilang. Padahal, dia masih sangat ingin menunjukkan apa yang dia miliki.
"Hah."
"Tentu saja hubungan kami sangat harmonis. Kak Iky sangat menyayangi aku. Hubungan kami begitu romantis, Melia."
"Ah, benarkah? Kalo gitu, kapan dong pernikahan kalian akan di gelar? Sudah delapan tahun lho, Cit. Masa gak nikah-nikah sih?"
Deg. Wajah bahagia itu sirna seketika. Hancur sudah rasa bangga yang sebelumnya Citra miliki. Benar-benar hancur karena perkataan Melia barusan. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat tidak Citra sukai. Sebab, memang benar kalau dia seharusnya sudah menikah dengan Ricky. Delapan tahun itu terlalu lama untuk menggenggam status pertunangan, bukan?
Melihat wajah Citra yang tidak baik-baik saja, Melia semakin ingin tertawa. Hatinya berkata. 'Tadi aja bangga bukan kepalang. Sekarang, mati kutu. Kasihan sekali kamu, Citra.'
"Ups, kamu kenapa, Citra? Apa ada yang salah dari pertanyaanku barusan?"
"Maafkan aku. Aku hanya merasa penasaran dengan hubungan kalian. Habisnya, sudah delapan tahun, aku pikir, kamu sudah jadi istrinya tuan muda Amerta. Taunya masih berstatus tunangan," ucap Melia dengan nada mengejek.
Hati Citra semakin terluka. Tangan yang dia genggam sebelumnya, kini semakin terbentuk dengan erat.
"Melia! Kurang ajar kamu! Bisa-bisanya kamu mengejek aku saat baru pertama kembali ke rumah."
"Ada apa ini?"
Si mama tiri langsung datang ketika mendengar suara lantang anaknya. Suara Citra barusan memang sangat keras sampai mengundang kuping yang mendengar untuk melihat.
"Mama."
"Citra. Ada apa?"
"Melia. Apa yang kamu lakukan pada Citra, ha?"
"Gak ada apa-apa, tante. Aku hanya bertanya, bagaimana hubungan Citra dengan tuan muda Amerta. Itu saja," ucap Melia dengan wajah yang dia buat pura-pura ketakutan.
Citra yang ada di dalam pelukan si mama tiri langsung mengangkat wajah.
"Dia mengejek aku, Ma. Karena aku yang masih belum menikah dengan ka Iky setelah delapan tahun bertunangan. Melia menertawakan diriku yang tetap menjadi tunangan hingga detik ini."
"Melia." Mama tiri kini menatap tajam ke arah Melia.
Eh, ini Melia bukan gadis lima belas tahun dulu. Ini sudah delapan tahun berlalu, dan dia tidak akan merasakan rasa takut seperti dirinya yang berusia lima belas tahun yang lalu. Jika dulu, satu tatapan tajam yang si mama tiri berikan langsung membuat Melia bungkam sambil menundukkan wajah. Tapi sekarang, tatapan itu tidak ada apa-apanya buat Melia. Malahan, tatapan itu dia tanggapi dengan senyum manis seolah tidak ada sedikitpun gangguan dengan tatapan tajam yang saat ini mama tirinya perlihatkan.
"Ya Tuhan. Salahnya di mana, coba? Aku bicara kenyataan 'kan? Delapan tahun, Citra dan tuan muda Amerta masih belum menikah? Omongan itukan nggak salah."
🌹 dulu... nanti lanjut lagi