Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wedding Day
---- Saras Pov ----
Hari ini akhirnya tiba. Sesuai perintah ayah, aku mengenakan gaun pernikahan berlengan panjang yang sempurna menutupi seluruh bagian tubuhku, termasuk luka-luka yang kudapatkan kemarin malam. Ia mengatakan agar aku tidak membiarkan siapapun melihatnya. Aku menurutinya dan mengurusi sendiri semua keperluanku, termasuk make up. Meski ada banyak pelayan yang diperintahkan untuk mendadaniku, aku memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Cr : pinterest
Setelah semuanya siap, ayah menggandengku berjalan ke arah Sanu yang sudah berdiri di hadapan pastor. Mereka berdiri di altar pernikahan yang didekorasi dengan sangat indah. Kami menikah di sebuah gereja kecil yang terletak di dekat lahan perkebunan milik keluarga Sanu. Ini dilakukan atas permintaan Sandika mengingat tempat itu adalah lokasi pernikahannya dengan istrinya. Ia mengatakan bahwa istrinya berpesan untuk menikahkan anak-anak mereka di tempat bersejarah itu.
Sejujurnya aku tidak peduli dimanapun itu. Itu bukan urusanku. Tak peduli jika tempat ini adalah tempat bersejarah bagi keluarga mereka. Yang pasti aku hanya ingin segera menyelesaikan semua ini dan keluar dari rumahku.
Aku mengernyit saat ayah mencengkeram lenganku dengan kuat. Betapa brengseknya dia mengetahui bahwa terdapat luka menganga di bagian yang dengan kuat dicengkeramnya itu.
"Ingatlah, ini hanya sementara." bisiknya pelan sembari terus merekahkan senyum palsu dan mengerikannya itu.
Aku membuang muka seraya terus berjalan menuju altar. Semua mata sekarang tertuju padaku dan ayah. Begitu banyak orang yang menghadiri pernikahan kami, dan tidak satupun dari mereka yang aku kenal. Mungkin mereka semua adalah rekan-rekan bisnis ayah dan Sandika? Entahlah aku tidak tahu dan tidak tertarik untuk tahu.
Bahkan sadar atau tidak, orang-orang jahat itu sekarang sedang menyaksikan dua orang manusia sedang dijual oleh orang tuanya masing-masing. Jika bukan karena terpaksa, aku tidak akan mau melangsungkan pernikahan ini. Tetapi, mengingat bagaimana perlakuan ayah padaku, aku tidak punya pilihan. Betapa menyedihkannya hidup ini. Dijadikan sapi perah untuk memenuhi hasrat ayah kandungmu sendiri dan sekarang dijual untuk membantu bisnisnya. Aku benar-benar tidak lebih berharga dari seekor binatang bagi ayahku sendiri.
Setibanya aku di depan altar, ayah melepaskan cengkeramannya.
Aku memandang mata hazel itu sekali lagi. Kini aku baru bisa benar-benar menyadari kehadirannya karena sejak tadi aku terlalu sibuk mengkhawatirkan ayahku yang brengsek itu.
Ia mengenakan tuxedo berwarna putih, warnanya senada dengan dress yang kukenakan saat ini. Rambutnya ditata ke atas, sangat rapih dan tampan. Harus kuakui bahwa dia memang benar orang paling tampan yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Ketampanannya bukan tipe tampan yang membosankan, melainkan tipe yang semakin lama kamu melihatnya, maka akan semakin tampan dan attractive dia di matamu.
Tidak heran semua gadis di kampus selalu membicarakannya bahkan sejak hari pertama kuliah. Berita tentang ketampanan anak seorang Sandika Adyatama dengan cepat tersebar di kalangan anak-anak sosialita itu dan membuat mereka mulai sering membicarakannya. Biasanya, laki-laki anak pejabat akan memanfaatkan hal itu untuk menggoda gadis-gadis lain. Tetapi sejauh ini aku belum pernah melihat Sanu bersama seorang gadis sekalipun. Entahlah, mungkin dia hanya sedang menjaga image nya. Tipe orang munafik yang menyembunyikan kejelekannya.
Saat aku tersadar dari pemikiranku sendiri, mata itu kini menatapku dengan intens, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang lembut. Ini adalah kedua kalinya kami bertatapan sedekat ini setelah pertemuan kami di pesta. Entah mengapa, ia terlihat bahagia. Sesekali ia menoleh ke belakang, menyunggingkan senyum seolah-olah dirinya adalah anak SD berumur sepuluh tahun.
Aku mengikuti arah pandangnya. Ternyata ia tengah melirik ayahnya yang bahkan tidak memandangnya sama sekali. Seperti pertama kali aku melihatnya, Sandika menunjukkan aura dingin dan kaku itu lagi. Ia benar-benar tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya memandang lurus ke depan tanpa melirik ke arah kami sedikitpun.
Aku melirik lelaki di sampingku itu sekali lagi. Senyumnya sedikit memudar tetapi ia tetap tampak bahagia sembari terus melirik ayahnya sesekali. Duh, kenapa sikapnya seperti anak baru masuk sekolah begitu?
Pada akhirnya, pastor memulai upacara pernikahan kami. Sanu mulai mengucapkan janji pernikahan kami dengan suara yang mantap dan lantang. Oh sial! Ia berkata seolah tidak ada keraguan sedikitpun dalam setiap kata yang diucapkannya. Dia terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam mengucapkan setiap kalimatnya.
Aku mengerjap beberapa kali saat merasakan gelenyar aneh di hatiku. Bisakah kau berhenti Bulan? Bisakah kau berhenti merasasakan perasaan bodoh yang tidak perlu ini? Aku menampar pipiku sendiri perlahan. Ingatlah bahwa dirimu menikah hanya agar kau bisa keluar dari rumah! Jangan terbawa suasana girl!
"Apakah engkau, saudari Rembulan Saraswati Sanasesa bersedia menerima saudara Embun Sanubari Adyatama sebagai suami dan teman hidup?"
Sanu menoleh ke arahku setelah ia selesai mengucapkan sumpah pernikahannya di depan pastor. Jadi sekarang giliranku? Astaga, aku tercekat saat akan membuka mulut!
"Apakah engkau, saudari Rembulan Saraswati Sanasesa bersedia menerima saudara Embun Sanubari Adyatama sebagai suami dan teman hidup?" ulang pastor Thomas seraya menatap tepat ke arahku.
"Y-ya. Saya bersedia." pada akhirnya aku menjawabnya. Tak mungkin aku membiarkannya bertanya untuk ketiga kalinya bukan? Dan tentu saja aku bersedia karena tidak ada pilihan lain, huh!
"Baik, silahkan membaca ikrar berikut ini," pastor menyodorkan selembar kertas kepadaku untuk membacakan janji pernikahan di hadapannya, di hadapan calon suamiku, serta di hadapan seluruh orang yang hadir hari ini.
Aku meraihnya dengan tangan gemetar, kemudian berkata, "Saya, Rembulan Saraswati Sanasesa mengambil engkau Embun Sanubari Adyatama sebagai suami saya," yah sudahlah ya, memang tidak ada pilihan lain.
"Untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya." yah, setidaknya dia bisa menjagaku dari ayahku. Hidup dengannya selamanya? Ya itu jauh lebih baik daripada hidup dengan ayahku yang bajingan itu kan?
"Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan ataupun kekurangan, pada waktu sehat ataupun sakit." dia punya banyak harta untuk mencukupi hidup kami dan bahkan hidup seluruh orang di kota ini beserta domba-domba dan anak cucu mereka. Tidak mungkin dia akan kekurangan kan? Lagipula kalau dia sakit kita bisa berobat ke penjuru dunia manapun dengan uang miliknya. Hahaha sialan sekali kau Bulan!
"Untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita." ya tidak buruk juga si. Walaupun suatu hari kita akan bercerai, tapi aku bersedia membalas budinya dengan menghargainya sampai kita berdua benar-benar pergi dari dunia ini.
"Sesuai dengan hukum Allah yang Kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." kita sudah sampai sejauh ini. Tidak mungkin aku kembali masuk ke dalam sana bukan? Baiklah mari kita lakukan saja pernikahan ini Embun Sanubari!
"Dengan ini, sebagai perantara Kristus serta perantara gereja, saya mengesahkan mereka sebagai sepasang suami istri. Apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak dapat diceraikan manusia." Pastor Thomas memandangku dan Sanu bergantian dengan seulas senyum tulus.
"Saudara Embun Sanubari Adyatama, anda bisa mencium mempelai wanita anda sekarang." ujar pastor seraya menatap Sanu dengan lekat.
Sanu mengangguk seraya memutar badan ke arahku. Dia mengulas sebuah senyum kikuk sembari mengendikkan dagu, seolah meminta persetujuan dariku untuk menciumku. Apa bedanya? Aku sudah belasan bahkan puluhan kali berciuman dengan Dany. Sebagai bentuk persetujuan atasnya, aku memejamkan mata.
Perlahan, kurasakan deru napasnya yang hangat di kulit wajahku. Ia mendekat dengan perlahan dan mendaratkan bibirnya dengan lembut. Aku bisa mencium aroma parfum citrusnya itu dengan jelas. Sangat maskulin dan menyegarkan. Bibirnya terasa halus dan basah, ciumannya pun sangat lembut. Ia memegang kedua pipiku dengan telapak tangannya yang mulus. Aku bisa merasakan telapak tangan itu bergetar di wajahku. Ciuman itu sungguh berbeda dari Dany ataupun ayahku yang brengsek. Baru kali ini aku mendapati sebuah ciuman terasa begitu lembut dan nyaman.
Ia melepaskan ciuman kami saat aku nyaris mulai terbawa suasana. Syukurlah kau melepasnya, Embun!
Ia menyunggingkan senyum cerah sembari kembali menoleh ke belakang, melihat ke arah ayahnya yang bahkan tetap menunjukkan ekspresi sama dinginnya dan seolah tidak peduli dengan pernikahan ini. Sanu tertunduk singkat sebelum kembali mengulas sebuah senyum dan menyalami Pastor.
Hari itu, dia benar-benar memperlakukanku seperti seorang ratu. Ia membantuku membetulkan jepit rambutku, membantu mengambil daun kering di rambutku, bahkan mengambilkanku minum saat aku tidak berhenti menelan ludah dan mengulas senyum ke arah orang-orang yang hadir. Ia juga nyaris berlari untuk menghampiri pelayan dan meminta kipas listrik kecil saat melihat peluh di dahiku. Ia benar-benar memperlakukanku dengan sangat baik.
Dan bahkan saat ini, sat aku sedang berjalan untuk menyalami tamu-tamu kami, ia membantu membawa ekor gaunku dari belakang. Sikapnya yang seperti itu membuatku terheran sekaligus takut. Apa yang dia inginkan sebagai imbalan atas sikap baiknya itu? Apakah dia akan langsung memintaku melayaninya setibanya kami di rumah nanti? Pikiran-pikiran itu terus terputar di kepalaku. Rasanya aku tidak bisa menerima kebaikannya secara cuma-cuma. Dan aku yakin ia pun tidak bersikap baik dengan tulus, ia pasti mengharapkan sesuatu dariku. Di dunia ini, tidak ada orang yang mau melakukan sesuatu tanpa bayaran.
Aku mengikutinya saat ia menggandengku untuk mendekat ke arah ayahnya.
"Ayah, aku sudah menikah hari ini." Sanu mengatakan hal tersebut dengan suara lembut dan penuh hormat.
Sandika bahkan tidak menoleh saat ia menjawab, "Ya, kau pikir aku tidak bisa melihatnya?" ujarnya dengan suara berat dan datar.
Ekspresinya benar-benar dingin. Entah apa yang terjadi di antara ayah dan anak ini, yang pasti aku menyumpulkan bahwa hubungan mereka benar-benar tidak baik. Aku melirik Sanu untuk melihat ekspresinya. Ia hanya tersenyum miris sembari kembali membantuku membawa ekor gaun.
Hari itu, kami menyalami semua orang yang hadir. Orang-orang yang bahkan tidak kami kenal dan belum tentu mengenal kami. Mereka adalah undangan orang tua kami dan itulah sebabnya aku merasa sangat asing di pernikahanku sendiri karena tidak ada satu orangpun yang kukenal di sini.
Kami menghabiskan seharian itu di desa kecil tersebut. Sejujurnya, pernikahan itu benar-benar pernikahan impianku. Sebuah pernikahan sederhana di gereja kecil dan sebuah kebun yang indah. Ada perasaan senang di hatiku saat menyadari bahwa pernikahan impianku benar-benar terwujud. Satu-satunya hal yang kusesali hanyalah fakta bahwa orang yang kunikahi bukanlah orang yang aku cintai.