Raika, telah lama hidup dalam kesendirian sejak kematian ayahnya. Dunia yang berada diambang kehancuran memaksanya untuk bertahan hidup hanya dengan satu-satunya warisan dari sang ayah; sebuah sniper, yang menjadi sahabat setianya dalam berburu.
Cerita ini mengisahkan: Perjalanan Raika bertahan hidup di kehancuran dunia dengan malam yang tak kunjung selesai. Setelah bertemu seseorang ia kembali memiliki ambisi untuk membunuh semua Wanters, yang telah ada selama ratusan tahun.
Menjanjikan: Sebuah novel penuhi aksi, perbedaan status, hukum rimba, ketidak adilan, dan pasca-apocalipse.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahril saepul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Turtles.
Seiji mendekati kami. "Dalam kondisi ini, sepertinya akan jauh lebih mudah jika kita bekerja sama. Bagaimana kalau kalian bergabung dengan kami?"
Aku dan yang lain mempertimbangkan ajakan Seiji.
"Tapi, apa kami bisa mempercayaimu?" Mio menatap tajam Seiji.
"Aku tidak menyuruh kalian harus percaya, tapi keputusan ada ditangan kalian sendiri."
"Aku rasa, dalam kondisi ini lebih baik jika bekerja sama. Bagaimana menurut kalian?" tanya Yuya.
"Baiklah, tapi kami tidak bisa percaya sepenuhnya. Apa kau mengerti?" kata Mio.
"Baik ..." jawab Seiji.
Meski agak ragu, kami mencoba untuk terbuka dengan yang lain. Jika dipikir kembali, mungkin kami berempat tidak akan bisa lolos dari lautan Wanters itu.
Aku berkumpul bersama yang lain di puncak piramida. Laki-laki yang melempar bom waktu itu menatap ke arahku seolah memikirkan sesuatu.
"Seiji, rencana apa yang akan kau lakukan kali ini?" tanya pria kekar, menyilangkan kedua tangannya.
Seiji menatap ke arah kami semua. "Yang kita hadapi sekarang adalah Turtles, Wanters yang dinyatakan hilang 13 tahun lalu ... mustahil bagi kita untuk melawan mereka; karena jumlah mereka yang begitu banyak, tetapi satu-satunya cara untuk lolos dari situasi ini adalah dengan bekerja sama ...."
"Tunggu! Apa kau berencana menjadikan kami kambing hitam?" tanya orang lain, menatapnya dengan sinis.
"Jika kalian tidak mempercayaiku," Seiji menunjuk ke arah Wanters yang seperti koloni semut, "pilihlah, aku tidak memaksa kalian untuk mengambil keputusan."
Tidak ada yang berbicara, karena kami tahu sangat kecil peluang untuk selamat dari Wanters sebanyak itu.
Kami memulai diskusi bersama selagi ada waktu sebelum Wanters berhasil mencapai puncak. Raungan makhluk itu mengganggu kami dalam mencari solusi. Dalam kondisi yang kurang tepat, kami dikejutkan oleh salah satu Wanters tingkat dua berbentuk serangga yang berhasil mencapai puncak.
Sigap, kami membunuh Wanters itu. Seorang wanita menunjuk ke bawah, memperlihatkan gerombolan Wanters yang telah sampai di lantai tiga.
"Sial! Mereka terlalu cepat," ucap salah satu rekan Seiji.
Dalam keadaan tertekan, kami semua sepakat untuk menggunakan rencana pertama, yaitu bersatu untuk melubangi celah dengan kemampuan seadanya. Karena para Wanters telah mengepung semua sudut, tidak ada cara lain selain itu.
Kami bersiap di ujung sisi, mengaktifkan fury mode untuk memulai operasi.
Seiji turun duluan, diikuti oleh yang lain. Wanters telah membuka taringnya, bergerak ke arah kami.
Beberapa bom dilontarkan untuk membuka jalan, memberi kami waktu sebelum tertutup kembali. Kami berusaha menghindar dengan berlari cepat di atas tubuhnya. Namun ...
Beberapa Wanters besar seperti manusia berkepala dua menghalangi jalan. Tangan-tangannya memanjang, bergerak lentur ke arah kami.
Aku hampir tidak bisa melihat jalan akibat telapak tangan raksasa itu sangat banyak.
BUM
BUM
BUM
Tangan itu menghantam kaca dengan kuat hingga retak, dua orang mati terkena hantamannya. Beruntung bagiku dan yang lain masih bisa menghindari itu. Namun, tangan kembali bergerak dari belakang, dan di hadapan kami terdapat Wanters yang menghalangi.
Serasa tidak ada pilihan lain untuk menggunakan kekuatan itu, aku hendak mengaktifkannya, tetapi mataku terbelalak saat melihat Seiji memukul tangan raksasa yang hendak menjepit kami dari samping—sekaligus ia melindungi kami semua.
BUGH
Langkah rekannya terhenti dan berbalik arah untuk membantunya. Yuya yang melihat itu ingin membantu Seiji, ia menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Mio dan Yuto, yang memahami hal yang sama. Kami berbalik arah. Dua orang lagi pergi meninggalkan kami dengan terburu-buru.
Yuya menebas beberapa Wanters, begitu juga dengan Mio hingga kami berhasil berkumpul di tempat Seiji. Kami membentuk formasi lingkaran untuk menjaga satu sama lain.
"Apa yang kalian lakukan! Aku sudah membuka jalan," teriak Seiji dengan wajah merah padam.
BUM!
"Hehe, bodoh! Kau pikir aku akan meninggalkan orang yang telah kupercayai," saut rekannya.
"Jangan selalu sok kuat, kita sudah melalui banyak hal. Apa kau lupa?" tambah rekan satunya.
Seiji terdiam sejenak menatap mereka berdua yang tengah bertarung, kemudian ia kembali bertarung, berkumpul bersama kami dan rekannya.
"Aku kira, kau adalah orang yang berdarah dingin. Ternyata tidak juga, ya," ujar Mio.
Seiji menatap heran ke arah kami. "Kenapa kalian malah ikutan juga, bodoh."
"Kami hanya mengikuti apa yang kami mau dan sepakat untuk membantumu," jawab Yuya sambil menyerang beberapa Wanters.
"Kalian memang para idiot," gurau Seiji.
Aku melihat suatu celah yang terbuka mengarah lurus ke tempat Turtles.
'Ini kesempatan yang bagus!'
"Semuanya! Apa kalian bisa mengikuti ku?" tegasku karena akan menggunakan saran yang ayah pernah katakan.
"Raika, apa kamu akan menggunakan rencana itu?" tanya Yuya.
Menganggukkan kepala. Seiji dan rekannya menghampiriku, mengisyaratkan bahwa mereka menyetujuinya. Tanpa pikir panjang, aku bergerak secepatnya di antara para Wanters, diikuti oleh mereka menuju Turtles. Kami bergerak semakin cepat hingga tubuh besar Wanters itu terlihat semakin besar.
"Raika, apa yang kau rencanakan?" ucap rekan Seiji yang merasa ragu.
"Ikuti saja, yakinlah!" tegasku.
Suara dengungan keras terdengar dari arah Turtles, tentakel raksasa muncul dari segala arah, bergerak cepat menuju kami.
"Semakin cepat!" teriakku.
Tentakel semakin mendekat dan mendekat, hembusan angin kencang muncul dari bawah tubuh Turtles. Kami menerjangnya dengan paksa hingga berhasil sampai di bawah tubuhnya, membuat tentakel-tentakel itu berhenti mengejar kami. Aku terus berlari sampai berhasil keluar dari belakang tubuhnya.
Aku tidak menyangka apa yang dikatakannya benar.
"Apa aku sedang bermimpi? Barusan kita habis berada di bawahnya, bukan?" ujar rekan Seiji.
"Masalah masih belum selesai. Lebih baik bersiaplah!" tegas Seiji.
Kami masih dihadapkan dengan beberapa Wanters yang tersisa ... mendadak kami dikejutkan oleh sebuah tangan raksasa yang tiba-tiba keluar dari tanah. Hal itu juga memecah belah aku dan Seiji.
Yuya berteriak memanggilnya. Namun, tidak ada jawaban. Kami terpaksa pergi dari sana sebelum kerumunan Wanters semakin besar.
°
°
°
Setelah cukup lama berlari, kami menemukan sebuah mobil tanpa atap yang masih bisa digunakan. Kami memanfaatkan itu untuk kabur, meski ada beberapa Wanters yang menghalangi, namun tidak sebanyak sebelumnya.
Aku melihat beberapa pesawat dari Eldritch bergerak ke arah Turtles itu.
***
Kami melaju cukup jauh hingga sampai di zona hijau.
Sesosok Wanters tingkat dua berdiri di samping jalanan. Sempat merasa ada yang janggal namun kami mengabaikannya. Semakin kami mendekati kota beberapa Wanters telah kami lewati, kecurigaan semakin mendalam saat cahaya merah menghiasi langit-langit dengan abu merah berterbangan.
Mobil berhenti seketika. Yuya menatap dalam diam. "Apa-apaan ini? ... Yuriko."
End Bab 11
gabung yu di Gc Bcm..
caranya Follow akun ak dl ya
untuk bisa aku undang
terima kasih.