Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Desakan Sang Ratu
Pagi itu, Pangeran Ji-Woon dipanggil oleh Ratu ke paviliunnya. Aura kebesaran paviliun itu seakan memperjelas betapa seriusnya pertemuan mereka. Di hadapan sang Ratu, Pangeran menundukkan kepala, menunggu maksud panggilan ibunya. Ratu duduk di kursi megahnya dengan tatapan tegas, lalu mengambil napas dalam sebelum akhirnya berbicara.
"Ji-Woon, sudah saatnya kau mendengar nasihatku sebagai ibumu, dan sebagai Ratu yang menginginkan keturunan penerus dari darah kerajaan." Ratu menatap lurus ke arah Pangeran, tak menyisakan ruang bagi penolakan.
Pangeran Ji-Woon menatap ibunya, alisnya sedikit terangkat, namun tetap diam. Ia tahu Ratu tidak akan memanggilnya tanpa alasan penting.
"Para menteri telah mendesak agar kau mulai memikirkan keturunan," lanjut Ratu dengan nada penuh wibawa. "Sekarang, keadaan di istana cukup stabil. Kau sudah memiliki istri sah di sisimu. Sudah menjadi tugasmu untuk memberikan penerus bagi kerajaan ini."
Pangeran Ji-Woon mengalihkan pandangannya sejenak, tak bisa menyembunyikan ketidaksenangan yang mulai mengusik hatinya. Ratu, menyadari keengganan putranya, menambahkan dengan suara lebih tegas, "Ji-Woon, aku telah mengikuti keinginanmu dan mengizinkan Seo-Rin masuk dalam kehidupanmu. Sekarang, ini adalah saatnya bagimu untuk memenuhi kewajiban sebagai pewaris kerajaan."
Ratu tahu bahwa putranya tidak mudah menerima perintah semacam ini. Maka, ia mencoba membuatnya mengerti, "Masa depan kerajaan ada di pundakmu, Ji-Woon. Jika kau terus menunda, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul di antara para menteri. Ini bukan hanya keinginan pribadiku, tetapi juga demi kestabilan kerajaan kita."
Pangeran Ji-Woon menelan ludah, perasaannya terasa campur aduk. Rasa tanggung jawab yang ditanamkan sejak kecil mulai muncul, namun bayangan Seo-Rin juga terus memenuhi pikirannya. Kang-Ji memang adalah istri resminya, tetapi ia tahu betul hatinya tidak sepenuhnya terikat padanya. Perasaan dan pikirannya bercabang antara tanggung jawab dan keinginan pribadi yang lebih dalam.
Namun, tekanan yang diberikan Ratu tidak memberi ruang bagi penolakan lebih jauh. Ji-Woon mengangguk pelan, tanda bahwa ia akan mencoba mempertimbangkan keinginan ibunya. Ratu tersenyum tipis, puas melihat putranya mulai menerima kenyataan.
"Bagus," kata Ratu. "Sekarang, habiskan waktu yang lebih tenang bersama putri mahkota. Buatlah suasana harmonis yang menguntungkan bagi kerajaan ini. Ini adalah tugasmu, Ji-Woon."
Pangeran Ji-Woon keluar dari paviliun ibunya dengan perasaan yang lebih berat. Setiap langkahnya terasa membawa beban tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan. Kini, ia harus menjalani masa di mana tuntutan kerajaan dan hati nuraninya mulai bertolak belakang, dan ia tahu bahwa keputusan ini akan menguji kesetiaannya—baik kepada ibunya, kepada kerajaan, maupun pada perasaan sejatinya terhadap Seo-Rin.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, seberapa jauh ia sanggup menjaga keseimbangan antara tuntutan tanggung jawab dan keinginan hatinya yang sesungguhnya.
Setelah pertemuannya dengan Ratu, Pangeran Ji-Woon melangkah perlahan kembali ke kamarnya, di mana pikirannya terjebak dalam konflik antara tugas dan perasaan. Ia tahu, sebagai pangeran, perintah Ratu dan kebutuhan kerajaan adalah hal yang tak bisa ia abaikan. Namun, kehadiran Seo-Rin terus menyusup ke dalam pikirannya, menghadirkan rasa yang lebih kuat dari sekadar kewajiban.
Saat memasuki kamar, Ji-Woon disambut oleh suasana hening dan gelap. Sebuah lentera di sudut ruangan memberikan cahaya lembut yang menerangi beberapa bagian kamar, cukup untuk membuat Ji-Woon merenung dalam diam. Pandangannya terpaku pada jendela, seolah-olah ia mencari jawaban pada malam yang tenang di luar sana.
Tak lama kemudian, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk, membungkuk dengan hormat, lalu mengabarkan bahwa Putri Kang-Ji sedang menunggunya di paviliunnya, berharap agar Pangeran Ji-Woon berkenan menemui dan menghabiskan waktu dengannya sesuai permintaan Ratu.
Dengan perasaan berat, Ji-Woon mengangguk dan memberi isyarat pada pelayan untuk kembali. Ia tahu perintah ini adalah bagian dari upaya Ratu untuk memastikan keharmonisan istana dan mengabulkan permintaan para menteri. Namun, setiap langkah menuju paviliun Kang-Ji terasa seperti beban yang semakin memberatkan hatinya.
Di paviliun, Kang-Ji telah menanti dengan senyum lembut, mengenakan gaun indah berwarna biru lembut yang menjuntai anggun. Tatapannya penuh harap dan sedikit gugup; momen ini adalah kesempatan baginya untuk mendekatkan diri pada Ji-Woon, yang selama ini terasa begitu jauh. Ia sadar, sebagai putri mahkota, ia perlu memenangkan hati sang pangeran, meski itu adalah tugas yang terasa sulit.
"Selamat malam, Yang Mulia," sapa Kang-Ji, suaranya halus namun berusaha menyembunyikan rasa tegang. "Terima kasih telah berkenan datang."
Ji-Woon tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya. “Selamat malam, Kang-Ji. Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan suara yang tenang namun sedikit berjarak.
Kang-Ji terdiam sejenak, lalu perlahan berkata, “Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Saya ... hanya berharap kita bisa lebih sering bersama, seperti apa yang diinginkan oleh Ratu dan para menteri.”
Ji-Woon mengangguk tanpa berkata-kata, merasakan perihnya konflik di dalam dirinya. Ia tahu bahwa kehadirannya di sini adalah demi kewajiban, namun hatinya tak bisa dipaksakan untuk sepenuhnya hadir. Ia menatap Kang-Ji dengan tatapan penuh kebingungan, merasakan betapa rumitnya menjalani peran sebagai pangeran.
Dalam keheningan yang menyelimuti, Kang-Ji mencoba mendekat dan berbicara lebih dalam. "Yang Mulia," ucapnya dengan suara yang hampir berbisik, "jika ada yang menghalangi kita, tolong katakan padaku. Aku ingin menjadi istri yang mendukungmu sepenuhnya, menjadi pendamping yang kau butuhkan."
Pangeran Ji-Woon menarik napas panjang. Ia tahu bahwa Kang-Ji tulus dalam perkataannya, namun ada dinding tak kasatmata yang membatasi kedekatan mereka. "Kang-Ji, bukan karena kau kurang dalam hal apapun. Semua ini hanya … masalah yang tak bisa dijelaskan dengan mudah." Ia terdiam, mencoba merangkai kata-kata yang tak menyakitkan.
Kang-Ji menunduk, memendam rasa sakitnya. “Aku mengerti, Yang Mulia. Meski sulit, aku hanya berharap suatu saat kau dapat menerimaku sepenuhnya.”
Malam itu berlalu dengan penuh kecanggungan. Ji-Woon tetap bertahan di paviliun Kang-Ji, namun hatinya terus berkelana pada bayang-bayang Seo-Rin. Di tengah percakapan mereka, ia mulai mempertanyakan batasan antara tugas, cinta, dan harga diri. Bagi Ji-Woon, perasaannya yang sesungguhnya adalah sebuah rahasia yang terpendam di kedalaman hatinya—rahasia yang sulit ia ungkapkan pada Kang-Ji, bahkan pada dirinya sendiri.
Malam itu, di paviliun megah yang diterangi cahaya lentera lembut, Pangeran Ji-Woon duduk bersama Putri Kang-Ji. Namun, segala kemewahan dan kemegahan ruangan seakan tak mampu mengusir kehampaan yang terasa di antara mereka. Mereka berbicara, bertukar senyum singkat dan basa-basi, namun tak satu pun dari mereka yang benar-benar terhubung.
Kang-Ji, mengenakan gaun elegan berwarna biru, mencoba menunjukkan keramahan dan ketulusan, berharap bisa membuka hati sang pangeran. Namun, di balik senyumannya, ada rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, dirinya tak benar-benar hadir dalam pikiran Ji-Woon. Setiap percakapan mereka seolah berjalan hambar, hanya sekadar kewajiban yang dijalani tanpa ketulusan yang nyata.
Ji-Woon, di sisi lain, merasakan keengganan yang tak bisa ia kendalikan. Meskipun secara resmi ia telah memilih Kang-Ji sebagai putri mahkotanya, hati dan pikirannya tetap tertambat pada bayang-bayang Seo-Rin. Bahkan, dalam setiap detik kebersamaannya dengan Kang-Ji, ia merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani—sebuah dinding tak terlihat yang membatasi mereka dari kedekatan yang sesungguhnya.
Ketika percakapan mulai mereda dan keheningan mulai menyelimuti mereka, Kang-Ji menatap Ji-Woon, berharap sang pangeran akan memulai pembicaraan lebih dalam atau menunjukkan isyarat yang lebih hangat. Namun, harapannya hanya berakhir pada keheningan yang tak berujung. Ji-Woon tampak berpaling, menatap ke luar jendela, seolah pikirannya melayang jauh ke tempat lain.
“Aku akan segera kembali ke paviliun,” ucap Ji-Woon akhirnya dengan nada halus namun terdengar begitu jauh. “Maafkan aku, Kang-Ji. Malam ini terasa ... berat bagiku.”
Kang-Ji menunduk, menahan perasaan kecewa yang semakin membuncah di hatinya. Ia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaannya. “Tak apa, Yang Mulia. Istirahatlah dengan tenang. Aku hanya berharap, suatu saat kau akan menemukan kedamaian di sini,” jawabnya dengan suara lembut, meski ada nada getir yang terselip di dalamnya.
Tanpa kata-kata tambahan, Ji-Woon beranjak pergi meninggalkan paviliun Kang-Ji. Malam itu berlalu tanpa ada hal istimewa, hanya percakapan singkat yang tak menyentuh hati, seakan Ji-Woon belum siap menyentuh tubuh Kang-Ji sejengkal pun. Kang-Ji menyaksikan sosok sang pangeran menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan dirinya dalam kesepian dan kebingungan.
Saat itu, Kang-Ji sadar bahwa perjuangannya belum berakhir. Di balik senyumnya yang ramah, ada tekad untuk menemukan cara agar Ji-Woon benar-benar menganggapnya sebagai pendamping sejati. Namun, Kang-Ji juga tahu, perasaan kosong dan hambar ini adalah tantangan besar yang harus ia hadapi dengan segala cara.
Di luar paviliun, malam terus bergulir, membawa ketidakpastian yang semakin dalam di hati Kang-Ji dan Ji-Woon. Mereka terikat dalam sebuah hubungan yang sah secara hukum, namun terpisah oleh dinding perasaan yang sulit untuk dihancurkan.
Bersambung >>>