Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tigabelas
"Permisi, Dimana ruangan Ahnaf dirawat? Untuk pasien operasi patah tulang" tanya mbak Fhitry kepada petugas ruang receptionis.
"Lurus saja, dan belok kiri, lalu belok kanan dan ada ruangan bangsal 120B, dan pasien berada disisi kanan paling sudut ruangan," jawab petugas tersebut.
"Oh, baiklah, terimakasih," ucap Mbak Fhitry yang bersama dengan Jaya suaminya.
Keduanya menuju arah yang ditunjuk oleh receptionist tersebut. Mereka membawa makanan dan juga minuman sebagai buah tangan.
Setibanya dilorong bangsal, terlihat Aluyah sedang bermain dengan boneka yang ia temukan saat memulung bersama ibunya, dan Naii mencucinya, hingga gadis kecil itu memiliki mainan baru.
"Aliyah," sapa mbak Fhitry saat melihat bocah tersebut. Ia menghampirinya, lalu mengekuarkan sebungkus es krim untuk sang bocah.
"Makasih, Te," ucapnya dengan sangat senang. Lalu tak sabar membuka plastik es cream coklat kesukaannya.
"Mbak Fhitry" sapa Naii dari arah belakang. Ia baru saja mengurus administrasi dan berkas-berkas untuk membawa Ahnaf pulang dan rawat jalan.
"Naii. Maaf ya, baru k
Jenguk. Mbak baru saja pulang dari luar kota mengurus masalah wisuda Emy yang digelar seminggu lagi,"
"Iya,Mbak, gak apa. Besok juga sudah pulang," ucap Naii dengan hati yang sedikit bahagia, sebab dijenguk oleh sahabat sekaligus malaikat penolong yang selalu mensupportnya.
"Mbak... Bisa minta tolong carikan rumah sewa? Besok pulang dari rumah sakit langsung ke rumah sewa, yang murah saja," pinta Naii.
Fhitry dan juga Jaya tampak bingung. "Kamu kenapa cari rumah sewa? Nanti bayar sewanya gimana? Biar di tempat mbak saja, sampai kamu benar-benar mapan," tukas mbak Fhitry. Ia merasa tidak tega melihat Naii harus berjuang sendiri, apalagi dengan kondisi Ahnaf yang seperti itu.
"Tidak apa-apa, mbak. Makasih banget atas kebaikan mbak selama ini, saya tidak ingin merepotkan Mbak terus. Ada seseorang yang mengurus jasaraharja untuk biaya perobatan Ahnaf, sisanya akan saya gunakan untuk berjualan kue dan juga mengontrak rumah. Saya yakin Allah akan memberi kemudahan untuk saya," ujar Naii yakin.
Fhitry tak dapat mencegah keinginan wanita tersebut, sebab setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri. "Baiklah, tetapi jika kamu ada perlu sesuatu, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan pada, Mbak," pesan Fhitry kepada Naii.
Wanita yang menjadi janda itu menganggukkan kepalanya. Ia meyakini jika ia mampu melewati semuanya. Toh, saat bersama Hardi ia juga yang bekerja.
*****
Naii mendorong kursi roda memasuki sebuah rumah kontrakan yang sangat kecil, dan tidak begitu jauh dari rumah mbak Fhitry, berjarak sekitar limah ratus meter saja.
Kini Naii memulai kehidupan barunya, ia harus dapat mandiri, tanpa lagi betgantung hidup dengan orang lain.
Wanita itu tak memiliki banyak barang dirumahnya, hanya beberapa barang keperluan rumah tangga yang terbilang penting saja.
"Kita pindah rumah, Bu?" tanya Ahnaf, sembari memperhatikan kondisi rumah.
"Ya, dan mulai saat ininkita tinggal disini," jawab Naii, sembari membantu Ahnaf untuk berbaring, "Kalau mau minum, panggil ibu, ya" pesan Naii kepada puteranya.
Bocah itu menganggukkan kepalanya, dan sebenarnya ia tak ingin terus berbaring ditempat tidur, ia merasa jika ini hanya akan menjadi beban ibunya bertambah saja.
Tetapi saat ini ia harus menjalani perawatan selama beberapa bulan lamanya untuk mengembalikan kondisinya yang tidak mungkin seratus persen normal kembali, tetapi setidaknya membuatnya berjalan.
Naii tampak sibuk dengan menata barang-barangnya, hingga saat terdengar suara seseorang berteriak diluar sana.
"Naii, Naii, sini kamu!" suara pria yang sangat ia kenal. Ia tak ingin keluar, sebab tidak memiliki urusan apapu lagi dengan pria tak berguna itu. Wanita itu juga tidak mengerti mengapa Hardi sampai tahu jika ia pindah ke rumah kontrakan yang baru.
"Naii, breeengsek, kamu! Buruan keluar!" makinya dengan penuh emosi.
Naii memutar bola mata malas. Ingin rasanya ia menendang pria tersebut, agar tak lagi menjadi benalu salam hidupnya.
Tak ingin membuat tetangga terganggu, akhirnya Naii keluar dari dalam rumah. Ia berdiri diambang pintu menatap tajam, dan yang lebih memuakkan ya, terlihat Hardi bersama Selly yang duduk diboncengan motor dengan pakaiannya yang kurang bahan.
"Ada apa teriak-teriak? Tidakkah kalian bisa sopan sedikit ketika bertamu dirumah orang lain?" ucap Naii penuh penekanan.
"Haaaalah, banyak banget omongmu, belagu!" ucapnya dengan nada kasar, "Mana uang jasaraharja perobatan Ahnaf. Aku minta uang itu, aku lagi tidak ada uang!" ucapnya dengan tanpa rasa malu.
Naii membolakan matanya. Bagaimana mungkin seirang ayah tega melakukan hal itu? Bukannya ia iba dan bertanggungjawab akan musibah yang menimpa puteranya, tetapi justru menganggap musibah itu sebagai berkah untuknya.
"Dasar tidak tahu malu! Pergi kamu dari sini, atau aku akan teriakin kamu!" ancam Naii dengan kesal.
"Naii, Aku butuh uang itu! Aku ini ayahnya, dan aku juga punya hak akan uang tersebut!" ucap Hardi tak mau kalah.
Naii merasakan penuh sesak didadanya. Bongkahan batu bagaikan menghimpit hatinya saat ini. Ingin rasanya ia mengambil setangkai bubga, lalu melemparkannya kepada Hardi lengkap bersama dengan potnya.
"Apa, hak?! Mengapa kamu cerita akan hak jika kewajibanmu saja tidak pernah kamu berikan? Dasar manusia tidak memiliki rasa malu!" ucap Naii dengan nada penuh penekanan.
Haedi semakin emosi. Ia tidak ingin lagi berlama-lama untuk berdebat. Ia menginginkan uang itu, agar Selly terus menservisnya.
Kondisi yang terbilang sepi karena para warga masih banyak yang sibuk bekerja, membuat Hardi menghampiri Naii. Ia tahu dimana wanita sering menyembunyikan uangnya.
Dengan gerakan cepat, ia mero-goh uang yang disimpan Naii dibalik dasternya. "Jangan, ini uang untuk perobatan Ahnaf!" cegah Naii agar pria ity tak mengambilnya.
"Ayah," ucap Aliyah dengan tatapan sayu. Dirinya yang masih kecil mencoba menyapa pria dihadapannya, berharap makhluk yang ia panggil ayah itu menggendongnya.
Tetapi justru ia melihat pria itu mengambil paksa dompet sang ibu dan mengabaikannya.
Buuuuugh...
Naai terjatuh dilantai, saat Hardi berusaha mendorongnya, dan ia mendapatkan dompetnya, lalu pergi meninggalkan rumah kontrakan dengan membawa uang yang diinginnkannya.
"Aaaaaaaaarrgh," Nai meringis kesakitan, sedangkan Ahnaf hanya dapat mendengar rintihan kesakitan sang ibu, dan ia tak mapu berbuat apapun, karena ia masih dalam kondisi pemulihan pasca operasi.
"Jangan ambil uang itu! Itu uang biaya perobatan Ahnaf," cegahnya.
Akan tetapi, Hardi tak mengindahkannya, ia terlalu berhasrat akan uang tersebut.
Aliyah menatap pria itu dengan pandangan sayu. Ia tidak mengerti mengapa pria itu tak menyapanya, bahkan memandanganya saja juga enggan.
Hardi pergi bersama dengan wanita lain dan seolah tidak memiliki hati nurani sedikitpun.
Aliyah menatap sang ayah yang berlalu pergi tanpa memperdulikan tatapannya. Bocah perempuan itu tersadar dari lamunannya setelah mendengar rintihan ibunya, ia menoleh ke arah belakang, lalu menghmpiri Naii dan mencoba membantu Naii untuk berdiri.