Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 BERUSAHA MENIKMATI
Bau harum menyeruak di indera penciuman. Bunga-bunga bertaburan di atas ranjang membentuk hati. Suasana tenang nan sejuk mereka rasakan. Gorden tipis berwarna putih memperlihatkan pemandangan di luar kamar. Kebun bnunga yang mengelilingi penginapan tersebut.
Tangannya yang kekar mengusap kasar kelopak mawar hingga jatuh berceceran di lantai. Ia tak peduli, dan merasa muak dengan itu semua.
Kepalanya menoleh pada Vania, yang kala itu sedang menyibukkan diri dengan kopernya. Wanita itu tahu apa yang dilakukan David, tapi ia pura-pura tak lihat dan memilih menata baju di lemari.
"Kamu tidur lah di sini. Dan aku akan pesan kamar lagi," ucap David dan langsung keluar dari kamar.
Vania terduduk lemas, ia menatap kosong dinding-dinding di dalam kamar. Ia mengedarkan pandangannya, dan tiba-tiba tangisnya pecah. Vania berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi ia terlanjur sakit hati.
"Vania, bertahanlah. Setidaknya demi adikmu."
Vania berusaha menguatkan diri. Bukan karna harta, setidaknya pernikahan yang ia jalani hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Walaupun David mungkin belum tertarik dengannya, tapi ia bersyukur karna orang tua David sangat memperlakukannya dengan baik.
Bahkan Larissa baru saja mengirimi pesan untuknya dengan mengatakan agar bersenang-senang pada bulan madunya.
"Mama Rissa sangat baik. Sikap mertua yang sangat diidam-idamkan banyak menantu." Tatapan tulus dari seorang ibu pada anaknya, ia bisa rasakan.
Vania bertelanjang kaki dan menyibak gorden pelan. Matanya disuguhi pemandangan yang indah. Ia ingin jalan-jalan keluar tapi bingung karna tak ada yang menemani.
"Nyonya, ini makan siang untuk Anda." Seorang karyawan wanita masuk dan memberikan beberapa hidangan lezat untuk disantap.
"Tunggu." Vania mendekat. "Bisakah kamu menemani aku untuk berjalan-jalan keluar. Pemandangannya bagus, aku ingin ke sana," ucap Vania.
"Oh, Nyonya ingin ke sana. Nanti saya panggilkan karyawan yang biasa menemani tamu untuk jalan-jalan. Tunggu sebentar ya, Nyonya. Silahkan makan siang terlebih dahulu."
.
.
.
Langit sangat cerah bersama matahari yang menghangatkan tubuh. Cuacanya tidak terlalu panas karena di sini dekat dengan pegunungan. Jadi, dominan rasa sejuk yang terasa.
Saat Vania sedang jalan berdua dengan karyawan penginapan, ia melihat David sedang ada di sebuah cafe. Ia duduk sembari menikmati kopi yang dipesan. Pandangan mereka bertemu, tapi Vania langsung berbalik arah dan berjalan kembali ke penginapan. Tak ingin melewati cafe itu.
Entah kenapa hatinya sakit, ia merasa tak dianggap. Sudah jauh-jauh ke sini, David malah mengabaikannya.
"Menyebalkan!" gerutunya.
"Aku ingin beristirahat," kata Vania dan karyawan tersebut pamit pergi. Ia berjalan menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya.
Disaat sedang berbaring, ia menemukan satu kelopak mawar yang tertinggal di ranjang. Ia memandangi kelopak tersebut dan tersenyum sinis.
"Hanya bunga mawar! Bukan kuman! Kenapa harus dibuang?" Ia masih kesal dengan sikap David tadi yang menghapus seluruh tatanan kelopak mawar yang sudah disusun rapi membentuk hati.
"Kalau aku tau mau dihancurkan, tadi aku minta foto dulu sebentar!" Vania terkekeh, karna menurutnya sayang sekali jika harus diberantakin.
***
"Temmy, kamu sudah tahu kan bahwa putrimu sekarang sedang bulan madu dengan putraku?" Sedari tadi senyum Larissa tak pudar. Di meja makan, ia menyantap hidangan sembari tersenyum.
"Iya, Nyonya. Saya sudah tahu," jawab Temmy yang pagi ini sudah ada di rumah Marshel. Karna mereka akan ke kantor sangat pagi sekali. Jadi, ia di ajak sarapan di sini.
"Saya sudah tidak sabar," kata Larissa membuat mata Marshel langsung meliriknya.
"Ma, jangan banyak bicara. Kita sedang makan," ujar Marshel sembari menatap istrinya.
Larissa memutar bola matanya jengah. Merasa tak terima dengan perkataan suaminya, ia menggerutu di dalam hati.
"Maaf, Tuan. Apa nyonya Karina sudah berangkat ke luar negeri?" tanya Temmy karna merasa khawatir.
"Sudah kamu tidak usah memperdulikan—"
"Diam, Ma!" potong Temmy cepat. Ia kini menatap tajam istrinya. "Sudah. Karina sudah kembali ke sana. Kamu tak perlu khawatir. David bisa menghandlenya."
Temmy bernapas lega. Walaupun hatinya sedikit sakit karna putrinya harus menerima kebohongan dari orang-orang sekitarnya terutama suaminya sendiri.
Suasana di meja makan sudah tidak nyaman. Larissa memilih pergi meninggalkan hidangannya yang belum habis. Dia merasa kesal dan memilih masuk ke dalam kamar.
Marshel hanya bisa menghela nafas. Sudah tiga puluh tahun lebih usia pernikahan mereka, tapi dari dulu mereka sering berselisih soal pendapat. Tak pernah mereka satu pikiran.
***
Pagi ini, Vania bertekad memulai harinya dengan semangat. Walaupun ia merasa sendirian di sini, tapi tak apa. Ia menikmati sebagai liburan saja.
Saat bangun ia sudah disuguhi makanan lezat dan segelas susu hangat. Bahkan air mandinya sudah disiapkan dengan air hangat yang beraroma wangi. Sejenak merilekskan pikirannya.
"Cepat sarapan dan aku tunggu di depan." David tiba-tiba masuk dan mengatakan itu. Pria itu datang memakai kaos oblong warna putih dengan celana pendek. Bahkan rambutnya yang biasa disisir rapi, kali ini terlihat sedikit tak beraturan. Tapi masih tetap tampan.
Vania menelan daging ayam dengan susah, sesaat melihat David datang. Dia hampir tersedak karna terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Sebelum keluar, ia bercermin di depan cermin besar. Hari ini ia memakai switer putih dan celana kulot berbahan scuba warna baby pink. Karna di sini hawanya sejuk, makanya ia memakai yang panjang-panjang.
Dia keluar dengan ekspresi wajah yang dibuat sedatar mungkin. Saat berada di hadapannya, Vania membeku. David memandanginya dari atas sampai bawah.
"Kenapa?" tanya Vania merasa diperhatikan sedari tadi tanpa henti.
"Kamu gak pingin pakai sandal?" tanya David seraya menunjuk kakinya yang telanjang.
Vania seketika memandang kakinya dan baru sadar bahwa ia belum memakai sandal. Ia buru-buru masuk ke dalam kamar dan mencari sandalnya. Rasa malunya tak bisa ditutupi. Karna ingin buru-buru menemui David, ia sampai lupa dengan sandalnya.
"Bodoh dasar!" Ia memukul kepalanya sendiri.
Setelah memakai sandal ia kembali ke tempat tadi. Tapi ternyata David sudah tidak ada.
"Nyonya, tuan David sudah menunggu di sana." Seorang karyawan datang dan memberitahunya.
Terlihat David sudah berada di atas mobil listrik. Ia duduk dibelakang dengan sopir berada di depan.
"Lama sekali!" gerutunya saat Vania baru saja naik dan duduk di sebelahnya.
"Hm, maaf. Kita mau kemana?"
"Pulang!" ketus David.
Vania meliriknya dengan kesal dan memilih diam saja. Sepanjang jalan, Vania menikmati udara yang segar dan pemandangan yang indah. Ia mengabadikan dengan kamera ponselnya. Rasanya ia ingin berselfi, tapi ia malu dengan suaminya.
Tiba-tiba mobil listrik yang mereka tumpangi berhenti, David langsung turun dan mengedarkan pandangannya sebentar.
Vania hanya mengikuti langkah David kemana, ia hanya seperti seekor itik yang mengikuti ibunya pergi.
"Aduhhh.. Aww ...." Vania meringis kesakitan, David menoleh ke belakang dan melihat kaki istrinya berdarah.