Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: "Jejak Masa Lalu"
Suasana desa terasa tenang saat Raehan pulang ke rumah. Hari itu cerah, angin sejuk bertiup lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Raehan, yang sudah lama tidak kembali ke rumah, merasa sedikit rindu dengan suasana kampung yang damai ini, jauh dari hiruk-pikuk kota tempat ia kuliah. Namun, saat tiba di halaman rumah, ada perasaan aneh yang menggelayut di hatinya. Rumah itu, meski tampak sama seperti yang ia tinggalkan dulu, terasa sedikit berbeda.
Raehan mengetuk pintu kayu dengan lembut, berharap mendengar suara ibunya, Mila, yang biasanya ramah menyambut setiap kali ia pulang. Namun, kali ini yang membuka pintu bukan ibunya, melainkan seorang anak laki-laki. Anak itu menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil, lalu membuka pintu lebih lebar.
"Raehan, kan?" tanya Leonel dengan nada yakin.
Raehan terdiam, mengamati bocah di depannya. Anak ini terlihat lebih muda dari yang diingatnya, mungkin sekitar sepuluh tahun lebih muda darinya. "Ya, aku Raehan," jawabnya sambil masuk. "Kamu pasti Leonel?"
Leonel mengangguk dan mempersilakan Raehan duduk di ruang tamu. "Ibu dan Ayah sedang pergi mencari kayu bakar. Mereka mungkin akan pulang sebentar lagi."
Raehan tersenyum tipis. "Terima kasih, Leonel. Aku nggak nyangka kamu udah besar sekarang."
Keduanya duduk di ruang keluarga yang hangat, meski tak ada percakapan lebih lanjut untuk beberapa saat. Leonel, yang biasanya pendiam, merasa gugup di hadapan Raehan. Dia tahu Raehan adalah anak kandung Mila dan Arga, yang jarang pulang karena kuliah di kota. Sementara itu, Raehan merasa sedikit canggung bertemu Leonel, anak yang selama ini hanya ia dengar namanya. Dulu, saat Leonel masih bayi, Raehan sering memandangnya dari kejauhan, tetapi sekarang anak itu sudah hampir remaja.
Setelah beberapa saat hening, Raehan akhirnya membuka obrolan. "Jadi, bagaimana kabarmu selama di sini, Leonel? Ibu dan Ayahku baik-baik saja, kan?"
Leonel tersenyum tipis, sedikit lega karena suasana menjadi lebih santai. "Aku baik-baik saja. Ibumu sangat baik padaku. Ayahmu… yah, dia sedikit tegas, tapi aku paham kenapa."
Raehan tertawa kecil mendengar jawaban itu. "Iya, Ayah memang kadang sulit dipahami. Tapi dia selalu bermaksud baik."
Mereka terus berbincang tentang kehidupan di desa, tentang bagaimana Leonel tinggal di rumah itu, dan tentang keseharian Raehan di kota. Raehan, yang biasanya tak terlalu banyak bicara, merasa nyaman berbagi cerita dengan Leonel, mungkin karena ia bisa melihat ketulusan di mata bocah itu.
Namun, di balik obrolan ringan itu, Raehan menyadari satu hal—Leonel bukan sekadar anak biasa yang tinggal bersama orang tuanya. Ada sesuatu dalam cara Leonel berbicara, sebuah kesedihan yang tersembunyi di balik senyumnya, seolah ada beban besar yang ia pikul di usia yang masih sangat muda.
Setelah beberapa lama, Raehan bertanya dengan lebih serius, "Leonel, kamu senang tinggal di sini?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi Leonel butuh beberapa detik untuk menjawab. Dia menunduk sejenak, lalu mendongak lagi dengan senyum yang sedikit terpaksa. "Iya, aku senang. Semua orang di desa baik padaku. Ibumu juga selalu memperlakukanku dengan baik, dan Ayah... dia hanya ingin yang terbaik."
Raehan mengamati raut wajah Leonel dengan saksama. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang seolah ingin keluar dari mulut bocah itu tapi tertahan oleh rasa takut atau keraguan.
"Apa kamu pernah dengar dari ibu," lanjut Raehan pelan, "bahwa ini bukan kali pertama kamu tinggal di sini. Dulu waktu kamu bayi, mereka juga merawatmu."
Leonel menatap Raehan dengan mata yang sedikit melebar. Dia tak menyangka Raehan akan membahas hal itu. "Iya, kah?" jawab Leonel singkat. "Apa aku dulu tinggal di sini sebentar?. Tapi apakah setelah itu, aku dibawa kembali ke rumah asalku?."
Raehan mengangguk pelan, berpikir. "Dan sekarang kamu kembali ke sini lagi. Ada alasan khusus?"
Leonel terdiam, memikirkan jawaban yang tepat. Ia tidak ingin membebani Raehan dengan kisah masa lalunya, namun ada sesuatu dalam cara Raehan bertanya yang membuat Leonel merasa aman untuk berbicara.
"Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa aku kembali," jawab Leonel jujur. "Papahku yang memintaku untuk tinggal di sini lagi. Katanya, ini akan baik untukku. Tapi aku merasa... aku merasa seperti sedang diasingkan."
Kata-kata itu terasa begitu berat untuk bocah seusia Leonel, dan Raehan bisa merasakannya. Ia menatap Leonel, mencoba memahami apa yang mungkin dirasakan oleh anak itu. Sebagai anak yang juga sering merasa terasing dari keluarga karena kesibukannya di kota, Raehan bisa sedikit merasakan apa yang dirasakan Leonel.
"Saat aku masih kecil," kata Raehan tiba-tiba, "aku sering merasa kesepian di sini. Ayah selalu sibuk, Ibu kadang juga nggak ada di rumah. Jadi, aku sering sendirian di kamar atau bermain di luar dengan anak-anak desa. Tapi kamu tahu apa yang membuatku bertahan?"
Leonel menatap Raehan dengan penuh perhatian.
"Aku tahu bahwa, meskipun aku merasa sendiri, ada orang-orang di sekitar yang peduli padaku. Mungkin Ayah dan Ibu nggak selalu bisa menunjukkan itu dengan cara yang aku harapkan, tapi mereka selalu berusaha. Dan aku yakin mereka juga peduli padamu, Leonel."
Leonel terdiam mendengar kata-kata Raehan. Meskipun ia tak pernah benar-benar merasa seperti bagian dari keluarga ini, ada kehangatan dalam cara Raehan berbicara yang membuatnya merasa sedikit lebih nyaman.
"Terima kasih, Raehan," kata Leonel akhirnya, tersenyum kecil. "Aku rasa, aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri."
Raehan tersenyum kembali, merasa lega melihat Leonel mulai terbuka. Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan lebih santai, berbicara tentang hal-hal ringan seperti kehidupan di desa, anak-anak yang sering bermain di halaman rumah, hingga petualangan kecil yang Raehan alami selama di kota.
Saat hari mulai sore, Mila dan Arga kembali dengan kayu bakar di tangan. Mereka terkejut melihat kedua anak mereka berbincang dengan akrab di ruang tamu. Meskipun hubungan Leonel dan Arga belum sepenuhnya pulih, sore itu terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih baik bagi mereka semua.
Di luar, matahari mulai terbenam, dan di dalam rumah kecil itu, kehangatan keluarga mulai tumbuh kembali—perlahan, tapi pasti.