Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 11
Larut malam, suara musik bergemuruh dari dalam club, menghanyutkan setiap penonton ke dalam ritme hidup. Arman memandang Lia yang berdiri di sampingnya, menari dengan gerakan yang menggoda. Kerumunan di sekeliling mereka berdesak-desakan, tetapi Lia seolah menciptakan zona tersendiri. Wajahnya cerah, senyumnya menawan.
"Enak sekali musiknya, bukan?" Lia berteriak di atas suara lagu yang menggelegar.
"Begitu," Arman menjawab, suara menggoda di balik tawanya. Ia memperhatikan gerakan Lia sambil menyesap minuman yang berkilau dalam gelasnya.
“Kenapa kamu tidak menari?” Lia merangkul lehernya, matanya berbinar-binar menantang.
“Di sini, aku lebih suka mengamati,” Arman balas menantang, tetapi ada ketertarikan yang tak bisa ia sembunyikan.
Lia mengerutkan dahi seolah mempertimbangkan sesuatu. “Boring. Coba saja, kamu mungkin suka.”
“Contohnya?” Arman meraih tangannya seolah ia akan membawanya ke lantai dansa, tetapi hanya menggenggamnya.
“Jadilah liar, Arman! Tarik aku ke dalam, rasa takut itu buang saja,” Lia menggoda, menariknya lebih dekat.
Kehangatan tubuh Lia mengalir ke Arman, dan ia merasa denyut jantungnya sedikit bergetar.
“Aku belum pernah melakukannya,” ucapnya dengan nada ringan, tetapi ada kebenaran di balik kata-katanya.
“Berani mencoba?” Lia mengangkat alis dan menantinya Bergerak sedikit lebih dekat, ingin memberikan dorongan.
Ia mengangguk, lalu menggenggam erat tangan Lia dan menariknya menuju lantai dansa. Musik bergemuruh, mengizinkan mereka bergerak mengikuti ritme kehidupan yang penuh energi.
Gerakan Lia begitu bebas, sementara Arman berusaha untuk menyerap setiap detik. Keterikatan mereka semakin dalam, dan dalam sekejap, lingkungan seakan menghilang.
“Kau tahu, aku sangat menyukai malam ini,” Lia berbisik, senyumnya lebar.
“Benar? Aku juga,” Arman terlibat dalam suasana, kehilangan semua kepenatan.
Setelah beberapa waktu, mereka mundur ke sudut club, bernafas. Dinding-kayu khas room privat menyelimuti mereka.
“Lia,” ucap Arman pelan, matanya menyelidiki wajahnya.
Dia mengangkat kepalanya, menatapnya. “Ya?”
“Kalau kamu tahu, kita baru pertama kali bertemu. Tapi rasanya aneh…”
“An odd connection?” Lia tersenyum penuh arti, mendekat lagi, mengurangi jarak di antara mereka.
“Ya. Seolah sudah saling mengenal lama,” Arman terus menatapnya, merasakan sisi lain di dalam hatinya.
Lia menggelengkan kepala, mendekatkan wajahnya. “Kadang, momen seperti ini lebih berharga daripada kenal lama.”
Tanpa perlu peringatan, bibir mereka bertemu. Ciuman yang lembut di awal, namun segera menjadi penuh gairah saat Arman menarik Lia lebih dekat.
Kedua tangan Lia merangkul lehernya, menanggalkan semua keraguannya. Tak ada yang lebih penting saat itu. Kata-kata hilang, dan hanya keinginan yang berbicara.
Setelah beberapa saat, Arman terputus dari kebisingan dunia luar.
“Ke sini, mari kita pergi,” Lia berkata tanpa ragu, menahan pergelangan tangannya.
Dengan semangat baru, mereka menembus kerumunan, menuju arah belakang club.
“Punya rencana?” Arman bertanya, menghidu aroma keinginan di sekeliling.
Lia hanya tersenyum, seolah sudah merencanakan semuanya. Keduanya melangkah ke arah pintu belakang, menuju tempat yang lebih sepi.
Dalam sekilas, Lia mengeluarkan kunci dari tasnya, menguncinya ke dalam sebuah kendaraan. “Naiklah.”
Arman merasa terlarut, tak peduli kemana arah mereka. Melesat melewati jalanan gelap, tidak berpikir tentang segala sesuatu yang tertinggal.
Di dalam mobil, suasana hangat menyelimuti. Lia memutar otot halus, membelai rambutnya. “Aku suka berpetualang. Dan kamu…?”
Arman mengisahkan hidupnya yang terluka, tentang pernikahan yang hampa. “Akhir-akhir ini, semua terasa monoton.”
“Ini kesempatan untuk mengubahnya,” Lia menjawab, tatapannya langsung dan percaya.
Mobil berhenti di sebuah penginapan kecil. Pintu dibuka, dan Lia mengeluarkan Arman dengan semangat.
“Masuk!” serunya, gerakannya penuh antusiasme.
Mereka bergegas masuk ke dalam. Lampu temaram menyinari ruangan.
“Bagaimana jika kita…?” Arman menggoda, matanya tidak lepas dari Lia.
“Lupakan semua dan nikmati malam ini,” jawab Lia, semangatnya mendukung keinginan mereka yang sama.
Tanpa banyak bicara, mereka mendekat, kembali ke dalam pelukan satu sama lain.
Arman merasakan semangat liar dalam diri mereka. Mereka tak lagi membatasi diri.
Lia menggenggam kedua tangannya, menghadapkan wajahnya. “Mari kita buat momen ini berarti,” bisiknya, membuat jantung Arman berdegup kencang.
Dengan dorongan yang kuat, Arman menariknya lebih dekat, menikmati setiap getaran yang terbang dari tubuh Lia.
“Ya, mari kita buat kenangan ini selamanya,” Arman mengizinkan semua keraguannya pudar.
Keduanya tenggelam dalam lautan kerinduan yang baru mereka temukan. Malam yang penuh gairah ini, menjadikan semuanya terasa lebih nyata daripada sebelumnya.
Hingga tiba saatnya, saat semuanya hanya terisi oleh desir rasa, canda tawa, dan keinginan yang tak terelakkan.
Kegelapan ruangan menyelimuti mereka. Arman memandang Lia, wajahnya lembut dan penuh kerinduan. Sekali lagi, mereka saling berciuman, semakin dalam, nafsu membara di antara mereka.
“Bisa lebih nyaman di sini,” Lia menggoda sambil menarik tangan Arman menuju ranjang kecil.
Arman tak bertanya lebih jauh. Ia mengikuti, merasakan ketegangan di udara. Lia duduk di tepi ranjang, mengalihkan perhatian sejenak ke arah langit-langit. “Pernahkah kamu merasa seolah dunia hanya berputar di sekelilingmu?”
“Setiap hari,” Arman menjawab, masih terpesona oleh pesonanya.
“Jadi, kenapa tidak kita berikan dunia ini alasan untuk berputar lebih cepat?” Lia mengangkat alis dan tersenyum nakal.
Detak jantung Arman meningkat, tetapi bibirnya tak bisa menolak, lalu lagi-lagi mereka bersatu. Dengan satu gerakan cepat, Lia berbaring, menarik Arman ke dalam pelukannya.
“Aku merasa bebas di sini,” Lia berbisik, matanya berkilau.
“Begitu juga aku,” Arman merespons dengan nada hangat, sekali lagi terjebak dalam hikmat kehadiran Lia di sisinya.
Seiring kehangatan tubuh mereka berpadu, arus energi mendorong keduanya lebih jauh. Arman merasakan hawa panas menjalari punggungnya saat dia menyentuh kulit Lia, mengikuti setiap lekuk tubuh yang membangkitkan gairah.
“Biarkan semuanya menghilang di luar,” Lia berkata, menatap dalam ke matanya. “Hanya kita berdua.”
“Semua keraguan pergi. Saat bersamamu, ini semua terasa nyata,” ungkap Arman, sambil mengusap wajahnya perlahan.
Lia tersenyum, mengalungkan tangannya di leher Arman. “Ayo, kita buat malam ini tak terlupakan.”
Tangan Arman menggenggam erat pinggang Lia, menariknya lebih dekat hingga jarak antara mereka lenyap. Terjebak dalam momentum yang memikat, tanpa perlu berpikir dua kali, mereka melupakan segalanya.
“Ini bukan sekadar pelarian, kan?” Arman bertanya, seolah ingin meyakinkan diri.
Lia menggelengkan kepala, diam sejenak. “Kalau begini, apa ada yang akan kamu sesali?”
“Tidak. Ini adalah keinginan dalam diriku,” Arman memastikan.
Malam semakin berlanjut. Gema di luar tak lagi mereka dengarkan, hanya ada percikan sinar dalam setiap jengkal tubuh yang bersentuhan.
Seiring mereka tenggelam lebih dalam dalam suasana intim, Arman merasa setiap detak jantungnya beradu dengan denyut nafsu Lia. Tubuh mereka saling mengisi, menyatu dalam gelora yang tak terelakkan.
"Arman," Lia berbisik, suaranya lembut. Matanya menatap langsung ke dalam matanya, laksana seruan sebuah janji.
"Apa?" jawab Arman, berusaha menyerap setiap kata, setiap detak yang ada.
"Jangan berhenti." Tangannya menggerakkan Arman lebih dekat, menguatkan cengkeramannya. Dengan setiap sentuhan, setiap bisikan, mereka semakin mendekat ke puncak rasa yang menggairahkan.
Arman merasakan tubuh Lia bergetar di bawahnya, menciptakan gelombang getaran yang semakin mengintensif. Setiap kali sentuhannya tepat seolah menyalakan percikan api.
“Lia…” Arman menggenggam erat tangannya, berusaha menahan diri dalam gelora rasa.
“Tutup matamu,” Lia menyuruh lembut, lalu membimbing tangan Arman ke pinggangnya.
Mendengarkan kata-katanya, Arman menutup matanya. Musim malam serta aroma lembut di sekelilingnya seakan membasuh semua beban. Ketika Lia bergerak, ia merasakan setiap gerakannya, setiap detak jantungnya.
“Biarkan semua ini terjadi,” Lia berbisik lagi, mendekatkan wajahnya hingga hanya beberapa inci.
Bibir mereka bertemu kembali, dan Arman terhanyut dalam keinginannya yang berkobar.
...----------------...