Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Tiga Bulan Kemudian
Tiga bulan telah berlalu sejak malam kelulusan yang seharusnya menjadi kenangan terindah dalam hidup Kinara Zhao Ying.
Rumah sakit tempatnya bekerja kini menjadi satu-satunya pelarian. Dia bekerja lebih keras dari siapa pun, menutup luka dengan profesionalisme. Tapi pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Pusing yang sudah beberapa hari ia abaikan kembali menyerang. Tangannya refleks menekan perut yang terasa aneh sejak seminggu terakhir.
“Dokter Kinara, Anda pucat sekali. Perlu saya panggilkan perawat?” suara salah satu rekannya membuatnya tersadar.
Kinara tersenyum paksa. “Tidak, saya baik-baik saja ... mungkin kurang tidur.”
Namun di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah. Dan sore itu, saat semua orang sudah pulang, ia memutuskan untuk melakukan pemeriksaan sendiri di ruang laboratorium. Jarum suntik menusuk kulitnya, tabung uji terisi, dan jarum jam berdetak seperti menunggu vonis. Ketika hasilnya keluar, dunia Kinara runtuh seketika.
"Po ... positif hamil?" bibir Kinara bergetar menatap hasil itu. Kertas hasil tes itu jatuh dari tangannya. Tubuhnya lemas bersandar di dinding ruang laboratorium yang dingin. Air matanya menetes satu per satu tanpa suara. Semua kenangan malam itu datang silih berganti, rasa pusing, cahaya kabur, sosok pria asing, kalung perak, lalu pagi dengan bercak merah di seprai.
“Tidak … ini tidak mungkin…” bisiknya lirih, menutup mulut dengan telapak tangan. Dia menatap perutnya sendiri dengan gemetar.
Keesokan harinya, rumah sakit dipenuhi suasana hangat. Pihak direksi tengah mempersiapkan pemilihan Direktur Muda Baru, posisi bergengsi yang menjadi impian banyak dokter muda, termasuk Kinara. Meski usianya baru 25 tahun, prestasinya sudah mencatatkan namanya dalam daftar kandidat terkuat. Namun di balik semua itu, ancaman datang dalam wujud yang familiar.
Savira kembali memasuki kehidupannya dengan langkah anggun dan senyum licik. Kini ia bekerja di bagian administrasi rumah sakit yang sama, sesuatu yang Kinara sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi.
Siang itu, saat Kinara tengah menulis laporan pasien di ruang kerja, suara ketukan pelan terdengar di pintu.
“Boleh masuk?” suara yang terlalu dikenalnya membuat darahnya membeku. Kinara menatap pintu, dan ketika Savira muncul dengan setelan rapi dan map di tangan, napasnya tercekat.
“Ada apa kamu datang ke sini?” tanyanya waspada. Savira berjalan mendekat dengan langkah ringan.
“Tenang, aku hanya ingin mengucapkan selamat. Ku dengar kamu masuk nominasi Direktur Muda Rumah Sakit.”
Dia berhenti di depan meja, bibirnya menekuk dalam senyum sinis.
“Hebat sekali, Kinar. Bahkan setelah ‘malam itu’, kamu masih sempat mengejar karier.”
Kinara mematung, tatapannya tajam menatap Savira.
“Malam itu?” suaranya bergetar. “Savira, jangan bawa-bawa hal itu lagi. Harusnya kamu bersyukur aku tak melaporkan kejahatan kamu itu,"
“Oh, jadi kau masih mengingatnya?” Savira mencondongkan tubuh, menatapnya dalam. “Atau kau pura-pura lupa karena takut kenyataan menghantammu? Aku tahu semuanya, Kinar. Aku tahu apa yang terjadi di hotel itu. Dan aku tahu, sekarang … kau sedang menyembunyikan sesuatu.”
Kinara terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir. Savira menatap perutnya sekilas, lalu tersenyum.
“Tidak usah menyangkal. Aku bukan bodoh, Kinar. Kau mulai sering mual pagi, wajahmu pucat, dan aku lihat kau ke ruang laboratorium sendirian kemarin sore. Aku tahu hasilnya.”
Kinara mundur satu langkah, matanya membulat penuh teror.
“Kau … mengikutiku?”
Savira terkekeh. “Aku hanya butuh bukti kecil. Dan sekarang aku punya semuanya.”
Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, menunjukkan foto Kinara yang diambil diam-diam di laboratorium.
“Bayangkan kalau foto ini tersebar ke pihak rumah sakit. Lulusan terbaik yang hamil tanpa suami. Reputasimu, kariermu, semuanya selesai.”
Kinara meremas meja di belakangnya, suaranya nyaris pecah.
“Apa maumu, Savira?”
Savira menyilangkan tangan. “Mudah saja, mundur dari pencalonan Direktur Muda. Dan … tinggalkan rumah sakit ini, untuk selamanya.”
“Savira…” suara Kinara lirih, matanya berkaca-kaca. “Kau sudah menghancurkan satu malam dalam hidupku. Apa belum cukup?”
“Belum,” sahut Savira dingin. “Aku akan merasa cukup kalau kau hilang dari hadapanku.”
Jika gosip itu tersebar, bukan hanya kariernya yang hancur, tapi juga bayi dalam kandungannya.
“Aku … akan pergi,” ucapnya akhirnya.
“Kau menang, Savira.”
Savira tersenyum puas. “Bagus, aku suka wanita yang tahu kapan harus menyerah.”
Hongkong, dua bulan kemudian.
Rumah keluarga Zhao berdiri megah di kawasan elit Victoria Peak. Sebuah keluarga Taipan yang terkenal di Asia karena jaringan bisnisnya yang meluas ke perbankan dan properti.
Di halaman depan, seorang wanita paruh baya bersurai perak memandangi kedatangan mobil hitam yang membawa cucunya pulang.
“Kinara…” suara lembut itu bergetar. “Akhirnya kau kembali ke rumah.”
Kinara menunduk, menahan emosi. “Aku … minta maaf, Oma. Aku seharusnya pulang sejak dulu.”
Madame Zhao Mei Lin menggenggam tangan cucunya erat.
“Tidak apa, kau pulang dalam keadaan selamat, itu sudah cukup.”
Namun pandangan wanita tua itu sempat turun ke arah perut Kinara yang mulai membulat. Dia tak bertanya apa pun, tapi dalam matanya terpancar pengertian yang dalam.
Sementara itu, jauh di Jakarta, Arvino Prasetya berdiri di depan layar besar ruang kerjanya.
Zaki baru saja membawa hasil pencarian rekaman CCTV Hotel Imperial tiga bulan lalu. Dalam video itu, terlihat Savira Prameswari masuk ke kamar 103 pukul sebelas malam, namun bagian saat Arvino masuk ke kamar tersebut rusak.
“Ini satu-satunya rekaman yang bisa kami selamatkan, Pak,” ucap Zaki hati-hati.
Arvino menatap layar itu dalam diam. “Kamar 103 … wanita itu…”
“Savira Prameswari, asisten administrasi di rumah sakit,” jelas Zaki.
Arvino menyipitkan mata. "Temui wanita itu, aku meninggalkan sesuatu untuknya. Tetapi, dia tak menghubungiku,"
Zaki menatap bingung. “Anda yakin, Pak?”
Arvino mengangguk pelan. “Aku yakin. Aku perlu bertanggung jawab," katanya.
Namun Rhea yang diam-diam mendengar dari balik pintu mengepalkan tangan dengan geram. Jika Arvino terus mencari wanita itu semua rencananya akan hancur.
Sore itu.
Rumah Sakit Sentra Medika, tempat yang biasanya hanya riuh oleh langkah para perawat dan denting alat medis. Namun kali ini, suasananya berbeda. Suara ban mobil berderit pelan menghentikan semua aktivitas.
Dari gerbang utama, konvoi mobil hitam mewah berderet rapi memasuki area parkir. Logo perak berukir huruf P terpampang jelas di pelat mobil utama, membuat siapa pun yang melihat langsung tahu, itu milik keluarga Prasetya, keluarga konglomerat yang namanya identik dengan kekuasaan dan bisnis raksasa. Beberapa staf rumah sakit berhenti bekerja, saling berbisik penasaran.
“Ya ampun, itu … bukankah, itu mobil keluarga Prasetya?”
“CEO muda mereka yang datang sendiri?”
“Katanya jarang sekali muncul di depan publik…”
Pintu mobil utama terbuka, dan Zaki, asisten pribadi keluarga Prasetya, keluar terlebih dahulu. Dia segera berjalan cepat ke sisi lain dan membukakan pintu belakang. Dari dalam mobil, keluar sosok pria tinggi dengan wajah tenang dan berwibawa, Arvino Prasetya.
Garis rahangnya tegas, tatapan matanya tajam tapi penuh ketenangan yang berbahaya. Setelan hitam yang melekat sempurna di tubuhnya membuatnya tampak seperti lukisan hidup dari kemewahan dan kuasa.
“Dia nyata…” bisik salah satu perawat muda.
“Dia lebih tampan dari di majalah bisnis!” timpal yang lain.
Namun pria itu tidak memperhatikan siapa pun. Tatapannya fokus, dingin, dan jelas memiliki tujuan. Seorang pria paruh baya berseragam dokter mendekat, membungkuk sopan.
“Selamat sore, Tuan Prasetya. Suatu kehormatan besar Anda berkunjung ke rumah sakit kami. Ada yang bisa kami bantu?”
Arvino menoleh singkat. “Saya ingin bertemu seseorang.”
“Oh, tentu, Tuan. Dengan siapa?”
“Savira Prameswari,” jawabnya datar.
Beberapa staf yang mendengar spontan saling pandang. Nama itu bukan nama asing di rumah sakit, Savira dikenal sebagai staf administrasi yang ambisius dan baru beberapa bulan bekerja di sana. Dokter paruh baya itu tampak ragu sejenak sebelum tersenyum sopan.
“Tentu, kami akan segera memanggilnya.”
Namun sebelum berbalik, Zaki menambahkan dengan suara lantang, cukup untuk didengar semua orang.
“Perkenalkan, Nona Savira adalah calon istri dari Tuan Arvino Prasetya.”
“Calon istri?”
“Savira?”
“Yang benar saja … dia mau menikah dengan CEO keluarga Prasetya?”
Para perawat menutup mulut mereka, beberapa bahkan tampak terpaku antara terkejut dan iri. Atasan rumah sakit segera memanggil staf lain.
“Cepat panggil Nona Savira. Katakan ada tamu penting yang ingin bertemu.”
Di ruang administrasi, Savira yang tengah mengecek berkas hampir menjatuhkan pena ketika seorang staf berlari menghampiri.
“Nona Savira! Kau dipanggil ke lobi utama! Ada … Tuan Arvino Prasetya mencarimu!”
“Siapa?” suaranya serak, tak percaya.
“Tuan Arvino sendiri! Katanya kau calon istrinya!”
Jantung Savira berdetak begitu cepat hingga dia hampir kehilangan keseimbangan. Savira menatap dirinya di cermin kecil di meja. Dia menepuk pipinya pelan, menegakkan bahu, dan tersenyum puas.
Semua mata tertuju pada Savira yang datang dengan pakaian rapi, wajahnya dirias sederhana tapi menawan. Ketika ia berjalan mendekati Arvino, waktu seolah melambat. Arvino menatapnya lama, tatapannya tajam, mencoba mengenali.
“Jadi, kau … Savira Prameswari?”
Savira tersenyum lembut, menunduk sopan. “Benar, Tuan.”
Zaki berdiri di sisi Arvino, membisikkan pelan, “Tuan, ini wanita yang ada di rekaman CCTV malam itu. Dia masuk ke kamar 103 sebelum sistem rusak.”
Arvino menatap Savira lebih lama lagi. Dalam matanya, ada sisa kebingungan dan rasa bersalah yang ia bawa selama berbulan-bulan. Dia tidak mengingat wajah wanita di malam itu dengan jelas, hanya potongan memori samar dan perasaan bersalah yang menyesakkan.
“Kalau begitu…” ucapnya perlahan. “Kau wanita itu.”
Savira menunduk, pura-pura menahan haru. “Ya, Tuan … malam itu … segalanya terjadi begitu cepat. Saya tidak bermaksud … tapi saya tidak bisa lari dari kenyataan.”
Beberapa staf di sekitar menatap mereka dengan tatapan campur aduk, antara terkejut, kagum, dan iri.
Arvino mengembuskan napas panjang. “Baiklah, aku akan bertanggung jawab.”
Suara itu tenang, tapi tegas, tak bisa dibantah.
“Aku tidak ingin ada wanita yang terluka karena kelalaianku.”
Savira menatapnya, pura-pura meneteskan air mata. “Tuan Arvino … Anda sungguh lelaki terhormat.”
“Mulai hari ini,” lanjut Arvino, menatap matanya lurus, “kau adalah wanitaku.”
Bisikan kecil terdengar di sekitar mereka, sebagian menahan napas. Namun sebelum Savira bisa bicara, Arvino menambahkan, “Tapi aku tidak bisa menikah sekarang. Aku tidak akan menikah tanpa cinta.”
Savira mengangguk cepat, menyembunyikan kilatan licik di matanya. “Saya mengerti, Tuan.”
“Aku akan mengatur pertunangan resmi dalam waktu dekat,” kata Arvino lagi. “Semua kebutuhanmu akan kutanggung. Dan…” Ia menatap ke arah Zaki.
“Siapkan vila di kawasan Puncak untuknya. Pastikan semua fasilitas lengkap.”
Zaki mengangguk. “Baik, Tuan.”
Savira menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Tuan Arvino. Saya tidak akan mengecewakan Anda.”
Tapi di balik senyumnya, pikirannya berputar cepat. Kini ia tahu, pria di malam itu adalah Arvino Prasetya, pewaris keluarga raksasa. Dan Kinara gadis malang itu rupanya tidur dengan pria yang bahkan tak ia kenal.
‘Untung aku sudah menyingkirkannya lebih dulu,’ pikir Savira puas, menatap matahari sore yang mulai tenggelam di balik kaca gedung.
‘Sekarang, giliran aku yang menikmati semua yang seharusnya milikmu, Kinara. Semoga kau tidak pernah kembali untuk merusak kebahagiaan baruku.’
Sore itu, halaman rumah sakit dipenuhi sorak kecil dan tepuk tangan. Semua orang menyalami Savira, mengucapkan
Di Hongkong, malam hari.
Kinara duduk di balkon kamar, menatap kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, kalung perak dengan inisial A.S. masih ia genggam setiap malam sebelum tidur.
“Siapa kau sebenarnya…” gumamnya, mengelus perutnya perlahan.
Bayi dalam kandungannya bergerak kecil, membuatnya tersenyum tipis di tengah air mata.
“Mungkin … suatu hari nanti, aku akan mempertemukanmu dengan ayahmu. Tapi untuk sekarang, biarlah rahasia ini hanya milik kita berdua.”
tp lbih bgus skr lgsg d pecat
udah salah belaga playing victim lagi
Zaki.... segera urus semua berkas pernikahan Arvino dan Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan Arvino harus pantau terus Kinara dan Ethan di manapun mereka berada . karena Savira dan Andrian selalu mengikuti mereka dan mencari celah untuk menghasut Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
up LG Thor 😍