Takdirnya telah dicuri. Chen Kai, dulu jenius nomor satu di klannya, kini hidup sebagai "sampah" yang terlupakan setelah Akar Spiritualnya lumpuh secara misterius. Tiga tahun penuh penghinaan telah dijalaninya, didorong hanya oleh keinginan menyelamatkan adiknya yang sakit parah. Dalam keputusasaan, dia mempertaruhkan nyawanya, namun berakhir dilempar ke jurang oleh sepupunya sendiri.
Di ambang kematian, takdir mempermainkannya. Chen Kai menemukan sebuah mutiara hitam misterius yang menyatu dengannya, membangkitkan jiwa kuno Kaisar Yao, seorang ahli alkimia legendaris. Dari Kaisar Yao, Chen Kai mengetahui kebenaran yang kejam: bakatnya tidak lumpuh, melainkan dicuri oleh seorang tetua kuat yang berkonspirasi.
Dengan bimbingan sang Kaisar, Chen Kai memulai jalan kultivasi yang menantang surga. Tujuannya: mengambil kembali apa yang menjadi miliknya, melindungi satu-satunya keluarga yang tersisa, dan membuat mereka yang telah mengkhianatinya merasakan keputusasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teknik Penahan Nafas
Kegelapan di bawah sarang pohon yang tumbang itu total. Satu-satunya suara adalah detak jantung Chen Kai yang lambat dan ritmis serta napasnya yang nyaris tak terdengar.
Dia telah mempelajari manual 'Teknik Penahan Nafas Kura-kura' selama berjam-jam, menghafal setiap jalur meridian yang rumit. Itu adalah teknik yang aneh, sangat berlawanan dengan apa pun yang pernah dia pelajari.
'Sutra Hati Kaisar Naga Abadi' adalah tentang dominasi, ekspansi, dan penyerapan energi secara agresif. 'Teknik Pedang Gunung Runtuh' adalah tentang meledakkan kekuatan secara brutal.
Teknik ini... adalah tentang ketiadaan. Tentang menjadi tidak ada.
Itu tidak memintanya untuk mengedarkan Qi dengan cepat, tetapi untuk memperlambatnya hingga nyaris berhenti. Itu memintanya untuk meniru kura-kura kuno yang tertidur di dasar lautan selama seribu tahun, begitu diam sehingga dunia melupakannya.
"Ini lebih sulit dari yang kukira," gumamnya setelah percobaan pertamanya gagal.
Dia mencoba mengalirkan Qi-nya melalui 36 titik akupunktur kecil yang belum pernah dia gunakan sebelumnya. Alirannya terasa canggung dan tersendat. Hasilnya? Auranya di Puncak Tingkat Lima hanya sedikit meredup, mungkin tampak seperti Awal Tingkat Lima.
Itu tidak cukup baik. Jika dia bertemu ahli Tingkat Enam lainnya, mereka akan tetap melihatnya sebagai ancaman atau mangsa yang berair.
Dia harus lebih baik.
"Kuncinya bukan menekan... tapi menyegel," dia merenung, menafsirkan ulang manual itu.
Dia tidak bisa hanya menahan auranya di dalam dantiannya. Dia harus mengalirkannya ke seluruh tubuhnya, ke setiap pori, setiap sel, dan kemudian menguncinya di tempat, menyembunyikannya di dalam daging dan darahnya alih-alih membiarkannya bocor ke luar.
Dia mencoba lagi.
Dia memperlambat detak jantungnya. Satu detak... jeda lima detik... satu detak lagi. Napasnya menjadi sangat dangkal. Dia memasuki kondisi meditasi yang dalam.
Dia mengedarkan seutas Qi tipis di sepanjang jalur Kura-kura. Perlahan... sangat perlahan...
Wusss...
Auranya yang kuat di Puncak Tingkat Lima tiba-tiba berfluktuasi... lalu anjlok.
Dia membuka matanya dan menggunakan indra spiritualnya untuk merasakan dirinya sendiri.
"Awal Tingkat Empat," dia menilai. "Masih terlalu kuat."
Dia masih akan terlihat seperti mangsa yang layak bagi beberapa binatang buas atau target bagi tentara bayaran yang iri. Dia perlu tampak begitu lemah sehingga tidak ada yang mau repot-repot meliriknya dua kali.
Dia terus berlatih.
Hari demi hari berlalu dalam keheningan total di sarang pohon itu.
Dia menghabiskan Batu Roh hanya untuk mempertahankan fungsi tubuhnya saat dia memperlambat metabolismenya ke tingkat yang sangat rendah. Dia tidak makan, tidak minum, hanya berlatih teknik tunggal ini.
Pada hari ketiga, dia berhasil menekan auranya ke Tingkat Tiga. Pada hari kelima, dia berhasil mencapai Tingkat Dua.
Itu sudah cukup baik untuk kebanyakan situasi, tetapi Chen Kai menginginkan kesempurnaan. Dia menginginkan kendali penuh.
Pada hari ketujuh, dia mencoba pendekatan yang berbeda. Dia tidak hanya menyembunyikan auranya, tetapi juga mengubah karakteristiknya. Dia membuatnya tampak tidak stabil dan keruh, seperti seorang kultivator Tingkat Dua yang fondasinya rusak parah.
Dia berlatih sekali lagi. Dia mengedarkan Qi-nya, menguncinya, dan kemudian membiarkan sedikit aura 'kotor' bocor keluar dengan sengaja.
Dia membuka matanya.
Dia sekarang adalah seorang pemuda yang tampak sakit-sakitan dengan aura yang nyaris tidak ada di Tingkat Dua Alam Kondensasi Qi. Dia tampak seperti seseorang yang akan mati jika angin kencang bertiup.
"Sempurna."
Senyum puas yang dingin muncul di wajahnya yang berubah. Dia telah menguasai dasar-dasarnya.
Dia berdiri, meregangkan tubuhnya yang kaku. Tujuh hari meditasi tanpa henti. Saat dia berdiri, aura Puncak Tingkat Limanya yang sebenarnya tetap tersegel rapat di dalam tubuhnya, tidak terdeteksi. Hanya aura Tingkat Dua yang lemah yang terpancar.
Dia memeriksa persediaannya. Cincin Paman Liu penuh dengan material binatang roh. Kantong Batu Rohnya berisi lebih dari seribu dua ratus keping (seribu dari Paman Liu, seratus lima puluh tiga dari pemimpin tentara bayaran, dan sisanya dari rampasan lain).
Dia mengeluarkan peta kulit yang dia temukan.
"Goa Ular Api."
Waktunya telah tiba.
Dia dengan hati-hati memindahkan tanaman merambat yang menutupi pintu masuk sarangnya. Dia mengintip keluar. Hutan itu sama seperti biasanya—lembab, hijau, dan penuh dengan suara kehidupan yang jauh.
Dia mengaktifkan 'Teknik Penahan Nafas Kura-kura' sepenuhnya.
Kemudian, dia melangkah keluar.
Perbedaannya langsung terasa.
Saat dia bergerak menembus semak belukar, dia merasakan sepasang mata mengawasinya. Seekor Macan Tutul Bayangan Tingkat Empat, tersembunyi di dahan pohon di atas.
Sebelumnya, binatang ini akan melihatnya sebagai ancaman Puncak Tingkat Lima dan akan bersembunyi atau melarikan diri.
Sekarang, macan tutul itu melihatnya sebagai... makanan.
Chen Kai melihat macan tutul itu menjilat bibirnya, mengukurnya.
Chen Kai hanya melirik ke atas, matanya (yang dia buat tampak kusam dan sedikit takut) bertemu dengan mata predator itu.
Macan tutul itu ragu-ragu. Aura Chen Kai terlalu lemah. Itu hampir tidak sepadan dengan usahanya. Dengan mendengus jijik, macan tutul itu memalingkan muka, menganggapnya bukan ancaman dan bukan pula makanan yang layak.
Chen Kai terus berjalan, tanpa mempercepat langkahnya.
Dia telah berhasil. Dia adalah hantu.
Dia mengikuti peta itu, bergerak ke arah yang ditunjukkan—ke tepi area luar hutan. Perjalanan ini memakan waktu dua hari penuh.
Dia bergerak dengan hati-hati, bukan karena dia takut, tetapi karena dia sedang beradaptasi. Dia tidur di dahan pohon tinggi, memakan jatah kering.
Pada hari kedua, dia bertemu manusia.
Dia sedang berjalan melalui jalur sempit ketika dia mendengar suara-suara di depan. Sebuah tim yang terdiri dari lima tentara bayaran, semuanya di Tingkat Empat dan Lima, sedang berjalan ke arahnya.
Chen Kai tidak bersembunyi. Dia hanya menundukkan kepalanya, membuat dirinya terlihat gugup dan lemah, dan menyingkir ke tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat, persis seperti yang akan dilakukan oleh seorang kultivator Tingkat Dua yang ketakutan.
"Heh, lihat bocah malang ini," kata salah satu tentara bayaran sambil tertawa, menyenggol bahu Chen Kai dengan keras saat dia lewat.
Chen Kai tersandung dan hampir jatuh, memainkan perannya dengan sempurna.
"Tingkat Dua," kata pemimpin tim itu dengan nada menghina. "Mungkin dia tersesat. Biarkan saja. Dia akan menjadi makanan binatang buas malam ini. Jangan buang waktu kita."
Mereka melewatinya tanpa melirik kedua kali.
Chen Kai menunggu sampai mereka jauh sebelum dia mengangkat kepalanya. Matanya yang tadinya 'takut' kini kembali sedingin es.
Teknik itu bekerja lebih baik dari yang dia bayangkan.
Dia melanjutkan perjalanannya. Pada hari ketiga, lingkungan mulai berubah.
Udara menjadi lebih kering dan lebih panas. Pohon-pohon hijau yang rimbun menipis, digantikan oleh semak belukar yang hangus dan batu-batu hitam yang bergerigi. Bau belerang yang samar mulai tercium di udara.
Dia tahu dia sudah dekat.
Dia memeriksa peta itu sekali lagi. "Goa Ular Api. Di dalam ngarai vulkanik."
Dia menjadi lebih berhati-hati. Dia tidak lagi berjalan di tempat terbuka. Dia menggunakan 'Langkah Bayangan', tetapi dengan kecepatan rendah, meluncur dari bayangan satu batu ke batu lainnya, auranya masih ditekan ke Tingkat Dua.
Dia mendaki punggungan batu hitam yang tajam. Saat dia mencapai puncak, pemandangan di bawahnya membuatnya berhenti.
Itu adalah sebuah ngarai kecil, mungkin selebar satu mil, seperti bekas luka di hutan. Bagian bawahnya adalah dataran batu obsidian yang retak, dengan beberapa lubang uap mengepulkan asap belerang.
Dan di tengah ngarai, ada sebuah gua besar—pintu masuknya setinggi tiga puluh meter.
Di depan pintu masuk gua, melingkar di atas platform batu yang datar, adalah targetnya.
Itu adalah Ular Api.
Binatang itu sangat besar. Tubuhnya lebih tebal dari batang pohon tertua yang pernah dilihat Chen Kai. Sisik-sisiknya berwarna merah tua, masing-masing seukuran piring. Meskipun sedang tidur, panas yang memancar darinya terlihat jelas, membuat udara di sekitarnya bergetar.
Hanya dengan melihatnya, Chen Kai bisa merasakan aura yang menindas. Itu adalah kekuatan mentah, liar, dan berapi-api. Itu adalah aura binatang roh Tingkat Enam yang sesungguhnya. Jauh lebih kuat, lebih padat, dan lebih mematikan daripada pemimpin tentara bayaran yang telah dibunuhnya.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena antisipasi.
Dia buntu di Puncak Tingkat Lima.
Di bawah sana, di dalam ngarai itu, adalah kunci terobosannya.