Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Sahabat
Bayu berdiri di sana.
Di lorong rumah sakit yang dingin, ia melihat tubuhnya sendiri terbaring di ranjang ICU, dikelilingi mesin-mesin medis yang berbunyi pelan. Tapi ia tak merasakan apapun. Tidak ada sakit, tidak ada nyeri. Hanya kehampaan.
Di sisi lain....
Lorong rumah sakit itu terasa panjang dan dingin. Langkah Boni terdengar tergesa, seolah waktu mendesaknya untuk segera sampai. Napasnya tersengal, bukan hanya karena ia berlari, tapi juga karena dadanya terasa sesak. Begitu banyak pikiran berkecamuk di benaknya sejak menerima kabar bahwa Bayu—sahabatnya, saudaranya—mengalami kecelakaan.
Matanya langsung menangkap sosok Laras di ujung lorong, berdiri lemah di depan pintu ruang dokter. Wajah gadis itu pucat, matanya sembab, seperti baru saja menangis.
"Laras!" Suara Boni serak, penuh kepanikan, membuat Laras tersentak.
Bayu berdiri tak jauh dari mereka, menatap sahabatnya dengan perasaan campur aduk. "Boni... gue di sini."
Namun, Boni tak bereaksi. Tak menoleh. Bahkan tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bisa melihat atau mendengar Bayu.
Bayu mengepalkan tangan, tapi tak merasakan apa pun.
Ia ingin menyentuh bahu Boni, ingin menenangkan Laras, ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja—tapi tubuhnya tak lagi nyata.
Hanya bayangannya yang berdiri di sana, terjebak di antara dunia yang tak bisa ia sentuh dan kenyataan yang menyakitkan.
Laras menoleh, dan begitu melihat Boni, bibirnya bergetar. Ia mencoba tersenyum, tapi yang muncul justru raut kesedihan yang lebih dalam. Boni semakin gelisah.
"Gimana Bayu?" tanyanya cepat, nyaris putus napas.
Laras menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. "Dia… koma, Bon. Dokter bilang kondisinya kritis…," suaranya gemetar, seakan setiap kata yang ia ucapkan menghantam jiwanya sendiri.
Boni merasakan dunia di sekelilingnya mendadak berputar. Ia menggeleng pelan, menolak percaya. "Koma?" ulangnya dengan suara lirih. Dadanya seperti dihantam palu godam.
Tangan Boni mengepal, rahangnya mengeras. Ia mengalihkan tatapannya ke pintu ruang ICU yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, Bayu—orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga—terbaring tak sadarkan diri, berjuang antara hidup dan mati.
Seharusnya Bayu tidak seperti ini. Seharusnya mereka berdua masih bisa bercanda, tertawa, dan mengeluh tentang hidup sambil berbagi sebungkus nasi bungkus di kontrakan kecil mereka.
Bayu ingin menggerakkan tangannya, tapi sia-sia. Ingin memanggil Laras dan Boni, tapi suara yang keluar hanya sunyi. Ia seperti terjebak di antara dunia yang nyata dan yang tak kasat mata.
Boni menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya yang meluap. "Gue harus lihat dia," katanya tegas, melangkah menuju ruang ICU.
Namun sebelum ia sempat membuka pintu, Laras meraih pergelangan tangannya, menghentikannya. "Bon… kita nggak bisa masuk sekarang. Dokter bilang… hanya keluarga yang diperbolehkan."
Boni terdiam. Kedua tangannya terkepal semakin erat, kukunya hampir menembus telapak tangannya sendiri. Mata hitamnya yang biasanya penuh semangat kini meredup, dipenuhi amarah dan kesedihan yang bercampur jadi satu.
"Sialan…" gumamnya pelan, nyaris berbisik. "Kenapa bisa begini, Ras? Kenapa Bayu?"
Laras tak bisa menjawab.
Bayu menatap mereka dengan getir.
"Gue juga pengen tahu, Bon…" gumamnya, meski sia-sia.
Matanya beralih ke Laras, yang kini menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Hatinya mencelos.
Ia ingin menghapus air mata itu, ingin mengatakan bahwa ia masih di sini. Tapi saat ia mengulurkan tangan…
Udara. Hanya udara yang ia sentuh.
Kenyataan itu menghantamnya lebih keras daripada kecelakaan yang baru saja ia alami. Ia ada, tapi tak benar-benar ada.
Boni menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa sesaknya. Ia menoleh ke Laras, lalu berkata dengan suara parau, "Gue nggak peduli. Keluarga atau bukan, Bayu itu saudara gue. Gue bakal jagain dia, apapun yang terjadi."
Dan di sanalah mereka berdiri—dua orang yang sama-sama mencintai Bayu dengan cara berbeda, sama-sama merasa kehilangan, dan sama-sama berharap orang yang mereka sayangi akan segera membuka matanya.
Bayu menatap sahabatnya dengan mata yang bergetar. Boni…
Dadanya terasa sesak, meski ia tahu bahwa itu hanya ilusi. Tidak ada udara yang bisa ia hirup, tidak ada jantung yang berdetak di dalam tubuhnya. Tapi saat mendengar kata-kata Boni, rasa hangat yang telah lama ia kenal kembali menyelimuti jiwanya.
Ia melangkah mendekat, menatap wajah sahabatnya yang penuh amarah, kesedihan, dan tekad yang membara. Boni tidak menangis, tapi Bayu tahu, luka di dadanya lebih dalam dari yang terlihat.
"Bodoh," gumam Bayu, suaranya sarat dengan keharuan. "Gue yang seharusnya jagain lo, bukan sebaliknya…"
Namun, tak ada yang mendengar. Tak ada yang bisa merespons.
Bayu mengulurkan tangannya, ingin menyentuh bahu Boni seperti dulu saat ia mencoba menenangkan sahabatnya. Namun yang terjadi hanya kehampaan—tangannya menembus tubuh Boni begitu saja.
Ia menggigit bibirnya, frustrasi. Tapi kemudian, ia tersenyum samar. "Terima kasih, Bon. Lo tetap sama seperti dulu. Lo selalu ada buat gue."
Meski tak bisa menjawabnya, meski dunia mereka kini terpisah, Bayu tetap merasa tenang. Ia tahu, selama masih ada Boni, ia tidak akan benar-benar sendirian.
Tiba-tiba Boni teringat sesuatu. "Bagaimana kronologi kejadian kecelakaan ini?"
Laras menunduk, suaranya masih terdengar gemetar saat menjawab pertanyaan Boni.
“Bayu… dia berdiri di trotoar, Bon. Dia mau nyebrang, tapi jalanan masih ramai. Terus tiba-tiba… ada mobil yang melaju kencang, nggak terkendali. Langsung menabrak dia…”
Boni memejamkan mata, rahangnya mengeras. Tangan yang sudah mengepal kini bergetar hebat, menahan gejolak amarah yang siap meledak.
“Mobil siapa?” tanyanya tajam.
Laras menggeleng pelan. “Aku… nggak tahu. Aku juga syok, semuanya terjadi begitu cepat. Polisi bilang mereka masih menyelidiki…”
Boni tak bisa menerima jawaban itu. Dadanya panas, amarahnya membuncah. “Sial! Gue nggak bisa diem aja! Gue harus tahu siapa yang udah bikin Bayu kayak gini!”
Tanpa menunggu jawaban Laras, Boni berbalik dan melangkah cepat, hampir berlari meninggalkan rumah sakit.
“Bon! Mau ke mana?!” Laras memanggil, tapi Boni tak menoleh.
“Kantor polisi! Gue bakal cari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini!” serunya sebelum akhirnya menghilang di pintu keluar.
Bayu merasakan dadanya semakin sesak—jika saja ia masih memiliki tubuh.
"Boni, jangan…!" serunya, berusaha mengejar sahabatnya. Tapi langkahnya hanya menembus udara, sama sekali tak mampu menghentikan Boni yang melangkah penuh amarah.
Ia ingin meraih bahu pria itu, ingin menahannya agar tidak bertindak gegabah. Tapi tangannya hanya melewati sosok Boni seperti kabut tipis. Rasanya membuatnya ingin berteriak.
Bayu menoleh ke Laras, yang masih berdiri terpaku dengan wajah cemas. Gadis itu menggigit bibirnya, seakan ragu untuk mengejar atau tetap di sini.
"Laras… tolong hentikan dia… Jangan biarkan dia melakukan sesuatu yang akan dia sesali!"
Tapi lagi-lagi, suaranya hanya bergema di kehampaan.
Dan Bayu hanya bisa menyaksikan, dengan rasa frustrasi yang menyesakkan, saat sahabatnya menghilang di balik pintu rumah sakit—membawa dendam dan amarah yang belum tentu bisa ia kendalikan.
Laras menggigit bibirnya, jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Boni… jangan gegabah…," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara dentingan samar alat medis di lorong rumah sakit.
Matanya terus menatap ke arah pintu tempat Boni baru saja menghilang. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kekhawatiran pada Bayu, tetapi juga pada Boni yang pergi dengan amarah yang menyala-nyala.
Ia tahu Boni. Jika sudah marah seperti ini, dia tak akan berpikir panjang. Dia bisa melakukan hal yang nekat—dan itu menakutkan.
Laras melangkah maju, ragu-ragu. Haruskah ia mengejarnya? Ataukah ia harus tetap di sini, di sisi Bayu?
......................
...🔸"Saat berada di titik terendah, kita akan tahu siapa yang peduli dan siapa yang pura-pura peduli. ...
...Sapa yang tertawa dan siapa yang terluka. ...
...Siapa yang tinggal dan menemani serta siapa yang memilih pergi."🔸 ...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued