NovelToon NovelToon
Cinta 1 Atap Bareng Senior

Cinta 1 Atap Bareng Senior

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.

Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.

Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 3 Tumbuhnya Rasa, Diam-diam

Galuh tahu betul apa yang sedang ia rasakan. Setiap malam menjelang, bayangan Saras kian nyata menari di pikirannya. Tatapan dingin Saras yang dulu membuatnya tak nyaman, kini malah jadi hal yang ia cari-cari. Senyum tipis yang jarang muncul, kini seperti hadiah langka yang selalu dinanti.

"Ini bukan cuma kagum," bisiknya suatu malam, sambil menatap langit-langit kamar yang bergambar stiker glow in the dark sisa penghuni sebelumnya. "Ini… lebih dari itu."

Namun ia juga sadar, rasa itu tidak boleh tumbuh terlalu liar. Bukan hanya karena Saras adalah senior yang lebih dewasa dan jauh lebih berpengalaman, tapi karena mereka hidup di bawah atap yang sama.

Apa jadinya kalau perasaannya membuat suasana jadi canggung? Bagaimana jika Saras tahu dan malah menjauh? Galuh menelan ludah setiap kali pikiran itu muncul.

---

Hari itu, kampus cukup ramai. Ada kegiatan bazar organisasi di lapangan tengah, dan Galuh sedang mencoba berbaur dengan teman-teman barunya. Ia bergabung ke dalam komunitas film kampus karena tertarik dengan editing video, sesuatu yang dulu ia pelajari otodidak.

“Galuh, kamu ikut tim dokumentasi aja, ya,” ujar Dimas, salah satu ketua divisi. “Kita butuh orang yang bisa handle kamera dan narasi juga.”

Galuh mengangguk, senang akhirnya bisa aktif dan punya kegiatan. Tapi pikirannya masih terus melayang ke kos. Lebih tepatnya… ke Saras.

Ia jadi sering membandingkan semua perempuan yang ia temui dengan Saras. Dan anehnya, tidak ada yang sebanding. Saras terlalu berbeda. Terlalu… istimewa.

---

Sore itu, saat Galuh pulang ke kos dengan langkah lunglai karena tugas kampus, ia mendapati pintu depan sedikit terbuka. Begitu masuk, ia mendengar suara dari arah dapur.

“Galuh, kamu bawa laptop ke bawah, deh. Aku butuh bantuan,” suara Saras terdengar jelas.

Galuh mengernyit bingung tapi mengikuti permintaan itu. Ia turun membawa laptop dan menemukan Saras duduk di meja makan, dikelilingi tumpukan kertas dan buku catatan.

“Ini tugas kelompok. Tapi kelompokku pada kabur semua. Bisa bantu cari referensi jurnal nggak?” tanya Saras tanpa basa-basi.

Galuh mengangguk cepat. “Bisa, Kak. Topiknya apa?”

“Ketahanan mental mahasiswa di tengah tekanan akademik,” jawab Saras sambil menyodorkan catatan.

Galuh duduk di seberangnya, membuka laptop, dan mulai mencari referensi. Ia tersenyum kecil bukan karena tugasnya menyenangkan, tapi karena akhirnya punya alasan untuk duduk lebih lama dengan Saras.

Saras sesekali memperhatikan Galuh bekerja. Entah kenapa, ia merasa nyaman berada di dekat pemuda itu. Tak terlalu banyak bicara, tapi juga tidak membuatnya merasa canggung.

Dan mungkin, dalam diam yang hening itu, keduanya mulai merasakan hal yang sama: kenyamanan yang tumbuh perlahan, tanpa mereka sadari.

---

Dua minggu berlalu, dan hubungan mereka mulai sedikit berubah. Saras sudah tak segan menyapa lebih dulu. Ia mulai membuka sedikit cerita tentang masa kecilnya, tentang kampus, bahkan tentang ayahnya yang dulu seorang teknisi listrik di kota kecil.

Galuh, yang biasanya cerewet di depan teman-teman kampus, justru jadi lebih pendiam saat berbicara dengan Saras. Bukan karena takut, tapi karena ingin memperhatikan setiap kata dan ekspresi perempuan itu.

Hingga suatu malam, sebuah insiden kecil mengubah segalanya.

Saat itu hujan turun deras. Petir menyambar beberapa kali. Galuh yang sedang rebahan di kamar mendengar suara benda jatuh dari dapur. Ia segera bangkit dan turun.

Di sana, Saras terduduk di lantai. Gelas pecah berserakan, dan ia memegangi tangannya yang berdarah.

“Kak Saras!” seru Galuh panik, langsung menghampiri.

Saras mencoba bangkit, tapi tubuhnya sedikit gemetar.

“Gelasnya licin… aku nggak sengaja,” ucapnya lirih.

Galuh segera mengambil tisu dan menekan luka di tangan Saras. “Tunggu, aku ambil kotak P3K dulu!”

Dengan cepat, ia berlari ke lemari kecil dekat tangga dan mengambil kotak putih itu. Ia kembali ke dapur, membersihkan luka Saras dengan hati-hati.

“Kamu harus hati-hati, Kak,” ucap Galuh pelan, menatap wajah Saras yang pucat.

Saras terdiam. Tatapan matanya kosong, seolah pikirannya sedang melayang jauh.

“Kamu kenapa?” tanya Galuh lagi, khawatir.

Saras menghela napas panjang. “Aku benci suara petir.”

Galuh mengernyit. “Takut?”

Saras menggeleng. “Bukan takut. Tapi… suara petir mengingatkanku pada malam terakhir sebelum ayah meninggal.”

Galuh terdiam.

Saras melanjutkan, “Waktu itu aku sedang bertengkar dengannya. Tentang kuliah, tentang pilihan hidupku. Aku bilang aku ingin kuliah di kota besar, dan dia marah karena menganggap aku lari dari tanggung jawab.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Saras.

“Keesokan harinya, dia kecelakaan. Dan malamnya… hujan deras. Petir menyambar pohon depan rumah kami.”

Galuh tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu satu hal: ia ingin Saras tahu bahwa ia tidak sendirian.

Perlahan, ia menggenggam tangan Saras yang bebas dari luka.

“Kamu udah cukup kuat, Kak. Dan aku di sini… kalau kamu butuh seseorang buat dengerin.”

Saras menatap Galuh. Untuk pertama kalinya, ia tak mencoba menyembunyikan lukanya. Tak mencoba menutupi kesedihan. Di balik dinding dingin yang selama ini ia bangun, ia mulai membiarkan Galuh masuk, sedikit demi sedikit.

---

Malam itu, mereka duduk di ruang tengah sambil meminum teh hangat. Hujan masih turun, tapi tak lagi terasa mengerikan.

Galuh menatap wajah Saras dalam-dalam. “Boleh aku jujur, Kak?”

Saras menoleh. “Apa?”

“Aku suka cara kamu tahan banting. Tapi aku juga suka saat kamu berani kelihatan rapuh.”

Saras tertawa pelan. “Itu kalimat gombal, ya?”

Galuh ikut tertawa. “Nggak. Itu jujur.”

Saras tak menjawab. Tapi malam itu, ia tidak lagi memakai earphone saat tidur. Ia hanya duduk di sofa sampai Galuh benar-benar masuk ke kamarnya.

Dan sebelum Galuh menutup pintu, ia mendengar Saras berkata,

“Terima kasih, Galuh.”

1
kalea rizuky
bagus lo ceritanya
Irhamul Fikri: Terima kasih kak
total 1 replies
kalea rizuky
Galuh witing tresno soko kulino yeee
ⁱˡˢ ᵈʸᵈᶻᵘ💻💐
ceritanya bagus👌🏻
Irhamul Fikri: terimakasih kak🙏
total 1 replies
lontongletoi
awal cerita yang bagus 💪💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!