Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 6
Leta menutup mulutnya dengan kaget.
Mikaila dan Reno menatap ibu mereka dengan ekspresi tidak percaya.
Sofia, yang sedang mengaduk kopinya, akhirnya menoleh dan tersenyum tipis. "Oh, jadi kau sudah memberitahu mereka?"
Robin langsung menyadari kesalahannya. Dia tidak bermaksud membocorkan hal itu di depan semua orang, tetapi kata-kata itu terlanjur keluar.
Saskia menatap Sofia dengan ekspresi penuh amarah. "Sofia! Jangan bilang kau benar-benar meminta cerai dari putraku!"
Leta menatap putrinya dengan khawatir. "Sofia, apa yang sebenarnya terjadi?"
Mikaila menatap Robin dengan bingung. "Papa, ini hanya bercanda, kan? Mama tidak mungkin ingin bercerai, kan?"
Reno yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar ragu. "Mama ... kenapa?"
Sofia meletakkan cangkir kopinya dengan tenang, lalu menatap mereka satu per satu. "Aku lelah," katanya dengan suara datar. "Aku sudah cukup mengorbankan diriku selama 22 tahun. Aku sudah cukup bersabar. Sekarang, aku ingin hidup untuk diriku sendiri."
Robin terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Mikaila dan Reno langsung bereaksi setelah mendengar kata "lelah" keluar dari mulut sang ibu.
"Mama pasti cuma ngambek soal Tante Vanessa, kan?" Mikaila berkata dengan nada tidak percaya.
"Iya, Mama pasti bercanda!" Reno menimpali. "Tante Vanessa itu cuma sahabat Papa. Kami pergi merayakan ulang tahunnya, terus kenapa? Kenapa Mama harus sekekanakan ini?"
Sofia menatap mereka dengan tenang, tidak sedikit pun terguncang oleh ucapan kedua anaknya.
Leta, ibu Sofia, menghela napas dan mencoba menasihati putrinya. "Sofia, cerai itu bukan keputusan yang bisa diambil dengan emosi sesaat. Kau sudah hidup bersama Robin selama 22 tahun. Mungkin kau hanya butuh waktu untuk merenung ...."
Saskia, yang sejak tadi menahan marah, akhirnya menyambung, "Benar! Jangan bertindak bodoh, Sofia! Kau sudah menjadi istri putraku selama lebih dari dua dekade! Apa kau ingin mencoreng nama keluarga Rahardian dengan perceraian?!"
Mikaila menatap Sofia dengan mata malas. "Mama, jangan seperti ini. Apa Mama tidak ingat umur? Seharusnya Mama cukup melaksanakan tugas Mama. Mama sudah terlalu tua untuk cemburu dengan hal yang tidak pasti ..."
Reno menambahkan, "Mama harusnya lebih dewasa! Jangan bertindak kekanak-kanakan hanya karena satu masalah kecil!"
Sofia mengamati wajah anak-anaknya. Anak-anak yang dia besarkan dengan cinta dan pengorbanan, tetapi sekarang berdiri di hadapannya, membela selingkuhan ayah mereka tanpa menyadari kenyataan yang sebenarnya.
Dia tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya.
"Satu masalah kecil?" Sofia mengulang kata-kata Reno dengan nada datar.
Reno mengangguk cepat. "Iya! Mama terlalu berlebihan!"
Sofia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara, suaranya tenang tapi tegas.
"Kalau begitu, tunggu saja," katanya. "Kalian akan segera tahu seberapa kecil masalah ini sebenarnya."
Setelah mengucapkan itu, Sofia berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan mereka semua dalam kebingungan dan ketidakpercayaan.
****
Sofia menggenggam kemudi erat, pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang ke masa lalu.
Dia tahu hubungan dengan anak-anaknya mulai merenggang sejak mereka remaja. Bukan karena dia tidak mencintai mereka—justru sebaliknya. Dia ingin yang terbaik untuk mereka, ingin melindungi mereka dari pilihan yang salah.
Mikaila pernah jatuh cinta pada seorang pemuda di sekolahnya, seorang anak laki-laki yang dari awal sudah memberi Sofia firasat buruk. Dia melihat bagaimana pemuda itu memandang Mikaila, bagaimana kata-katanya manis tapi kosong. Sebagai seorang ibu, Sofia hanya ingin menjaga putrinya dari kemungkinan terluka.
"Mikaila, dengarkan Mama," katanya kala itu. "Dia bukan orang yang baik untukmu. Mama hanya ingin kau fokus pada sekolah dulu."
Tapi Mikaila membalas dengan mata penuh amarah. "Mama selalu mengatur hidupku! Aku bukan anak kecil lagi!"
Reno pun tak jauh berbeda. Dia mulai bergaul dengan teman-teman yang menurut Sofia kurang baik. Pulang larut malam, mengabaikan tanggung jawab, bahkan sesekali Sofia mencium bau alkohol dari bajunya.
"Reno, ini bukan pergaulan yang baik," Sofia menegurnya suatu malam. "Kamu masih muda, jangan merusak masa depanmu sendiri."
Alih-alih mendengarkan, Reno justru mendengus kesal. "Mama terlalu kolot! Ini hidupku, bukan hidup Mama!"
Sofia menghela napas panjang saat kenangan itu kembali menyerangnya.
Saat itu, dia berpikir mereka hanya sedang memberontak seperti remaja pada umumnya. Bahwa pada akhirnya, mereka akan mengerti kalau semua itu dilakukan karena cinta seorang ibu.
Tapi siapa sangka, justru Vanessa yang menjadi tempat mereka mencari perlindungan.
Vanessa yang selalu membela Mikaila dan berkata, "Pacaran itu wajar, Sofia. Kau terlalu berlebihan."
Vanessa yang mendukung Reno dan berkata, "Biarkan dia bersenang-senang. Anak muda butuh kebebasan."
Perlahan, Mikaila dan Reno mulai berpihak pada Vanessa. Mereka lebih banyak bercerita padanya, lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, bahkan mulai membanding-bandingkan Sofia dengan wanita itu.
Sofia tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan.
Jadi, sejak dulu dia sudah tersingkir dari hati anak-anaknya. Dia hanya tak menyadarinya lebih awal.
Sofia kembali fokus mengemudi mobilnya. Namun, tiba-tiba tangan Sofia yang menggenggam kemudi mulai bergetar. Bayangan mimpinya semalam kembali muncul di benaknya, begitu nyata hingga ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimutinya.
Dalam mimpi itu, tubuhnya terbaring di meja operasi, lampu bedah menyilaukan di atas kepalanya. Dia tidak bisa bergerak, hanya bisa merasakan sesuatu di perutnya—sesuatu yang diambil darinya.
Dua bayi.
Sofia melihat samar-samar seorang dokter mengangkat mereka, tapi wajahnya tertutup masker. Suara lain terdengar, suara yang familiar tapi samar.
"Aku yakin Sofia tidak akan pernah tahu hal ini."
Siapa yang berbicara? Mengapa dia ada di sana?
Sofia ingin berteriak, ingin bertanya apa yang terjadi, tapi tubuhnya begitu lemah. Selang oksigen menempel di hidungnya, alat bantu medis terpasang di sekelilingnya, seolah-olah dia baru saja melalui operasi besar.
Tapi … kapan?
Sofia menggigit bibirnya, mencoba mengingat kembali.
Seingatnya, dia hanya memiliki dua anak—Mikaila dan Reno. Dia tidak pernah melahirkan anak kembar. Tapi mengapa mimpi itu terasa begitu nyata?
Seketika perasaannya tidak enak.
Apakah itu hanya mimpi … atau kenangan yang terkubur dalam?
Sofia menepikan mobilnya di pinggir jalan, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat. Napasnya memburu, dada terasa sesak. Mimpi itu terasa terlalu nyata, seakan bukan sekadar bunga tidur, melainkan potongan kenangan yang tersembunyi di sudut pikirannya.
Dia menutup matanya, mencoba mengatur napas. "Tenang, Sofia ... itu hanya mimpi," gumamnya, meski di dalam hatinya dia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.
Setelah beberapa menit, dia akhirnya merasa lebih stabil. Ini bukan waktu untuk larut dalam pikiran yang belum tentu benar. Ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan hari ini.
Sofia menyalakan kembali mesin mobilnya dan menekan pedal gas. Dengan tekad bulat, dia melanjutkan perjalanannya ke pengadilan agama.
Hari ini, dia akan mengajukan gugatan cerai.