Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
SELAMAT MEMBACA
"Syahhhhhh!" gema suara yang menandakan akan keresmian hubungan Wira dan Zevanya secara agama yang dihadiri oleh warga RT 10.
Ibu Tri Rismaharini tersenyum lebar tanpa dosa, terlihat bahagia sekali dengan Wira yang telah menikah.
Silih berganti warga RT 10 mengucapkan selamat dan ikut berbahagia atas peresmian hubungan mereka. Bahkan sempat-sempatnya mereka mengatakan bahwa Wira dan Zevanya kini bebas melakukan apa saja, untuk menggoda pengantin baru itu.
Zevanya sendiri masih syok dengan keadaan ini, semuanya seolah mimpi yang terjadi begitu saja.
Tiba-tiba dari arah pintu musholla, seorang gadis berteriak histeris memandang Wira dan Zevanya yang mengenakan tudung yang sama, tengah hikmat mengaminkan do'a.
"Tidakkk, Bangg Wiraaaa. Abang tega nikah bukan sama aku, kamu keterlaluan Bang," raung gadis itu dengan sangat terluka.
Ibu Tri segera berdiri, tubuh gempalnya sedikit menyulitkan dirinya untuk bangkit. Tetapi karena usaha kerasnya, akhirnya ia berhasil untuk bangkit dan berdiri. Lalu segera menghampiri gadis itu yang tak lain adalah anaknya sendiri.
"Dila, kenapa kamu ke sini? Ayo balik rumah cepat," ibu Tri menarik tangan anaknya yang ingin menghampiri Wira. Gadis ini memang tergila-gila dengan pria itu, dan ibu Tri tidak akan membiarkan anaknya bersama pria miskin yang tidak ada masa depannya. Hanya wajahnya saja yang tampan tapi aslinya kere.
"Ibuuu... Bang Wira nikah bukan sama aku, cepat batalkan pernikahan mereka, Bu." Raung Dila tidak terima, maskara yang ia kenakan jatuh mengikuti jalur air mata meninggalkan jejak hitam di sana.
Wira bergidik ngeri, diinginkan seperti itu oleh anak ibu Tri. Semenjak ia datang gadis itu memang seolah mencari perhatiannya, selalu mencari kesempatan untuk menyapa, tak jarang juga datang membawa makanan. Namun, bertepatan saat Wira tidak ada di rumah. Dan kadang kala ibunya menariknya pulang.
Zevanya melongo, memandang Wira dan Dila. "Aduhhh, maaf Wira. Saya tidak bermaksud menjadi perusak hubungan kalian," Zevanya memilin tangannya, merasa sangat bersalah karena telah menjadi perusak hubungan Wira dan kekasihnya.
"Hah! Bukan, dia bukan pacar saya," Wira menggeleng cepat, ucapannya pun begitu tegas menolak.
Gadis yang meraung-raung itu sakit hati mendengar ucapan Wira, ia dengan dramatis menanyakan kekurangannya. Hal itu sontak membuat ibu Tri semakin murka, ia menarik anaknya dengan kasar keluar dari pintu musholla. Sama sekali tidak mendengarkan raungan Dila yang masih ingin melihat Wira dan membatalkan pernikahan yang sudah sah.
Kepergian ibu Tri dan anaknya Dila sama sekali tidak ada yang mempedulikan, para warga kini kembali memberikan perhatian pada kedua pengantin baru.
"Sekarang Nak Wira sudah sah menjadi suaminya Nak Zevanya, selamat atas pernikahan kalian. Semoga samawa dan langgeng sampe tua ya..." do'a pak RT dengan tulus, Wira dan Zevanya mengangguk canggung.
Setelah acara akad selesai, para warga membubarkan diri yang kembali ke rumah mereka masing-masing. Sama halnya juga Wira dan Zevanya yang kembali ke rumah dengan berjalan kaki dalam kecanggungan yang semakin menjadi.
Keduanya sama-sama tidak saling berbicara, bahkan setibanya di rumah Wira langsung menuju dapur untuk meminum air.
Zevanya mengucapkan salam dengan pelan sebelum memasuki rumah, berjalan menuju sofa tua lalu duduk diam di sana. Beberapa kali menghela napas, terlihat sekali memiliki banyak beban pikiran.
Wira keluar dengan membawa segelas air putih yang ia sodorkan pada Zevanya yang telah resmi menjadi istrinya. Zevanya menerima dan langsung meminumnya.
"Terima kasih," ucapnya yang hanya mendapatkan anggukan dari Wira. Beberapa saat keduanya sama-sama terdiam.
"Maaf," ucap keduanya bersamaan dengan mata saling mengunci pandangan, lalu Zevanya lekas kembali menunduk.
"Hm, yaa... ini sudah terjadi, tidak ada yang patut di salahkan. Jadi, tidak perlu meminta maaf." Kata Wira memandang Zevanya lekat, gadis itu masih menunduk memilin tangannya.
"Kamu nggak perlu lagi cari tempat tinggal, bagaimana pun ini juga adalah rumahmu," lanjut Wira, membuat Zevanya berani mengangkat kepala. Gadis itu sejak tadi merasa sangat bersalah karena telah melibatkan Wira dalam masalahnya, andai saja ia tidak menginap, mungkin Wira tidak akan berada dalam masalah serta kecanggungan hubungan ini, yang entah serius atau tidak.
"Jangan terlalu banyak berpikir, pernikahan kita sah di mata agama. Dan kamu sekarang adalah tanggung jawabku." Suara Wira terdengar tegas, mata bulat Zevanya terbuka. Melongo tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Jadi kamu serius dengan pernikahan ini?" tanya Zevanya dengan suara pelan, masih segan. "Saya tidak apa-apa, jika kamu ingin langsung membatalkan pernikahan—"
"Pernikahan ini bukan main-main Zevanya Pandhita," gadis itu tertegun mendengar nama lengkapnya, nama yang sama yang juga pria itu ucapnya saat menunaikan janji suci pernikahan. "Saya sekarang adalah suami kamu, dan bagaimana ke depannya pernikahan ini, kita akan jalani bersama. Jangan pernah meminta cerai, karena saya hanya menikah satu kali seumur hidup." Kata itu menegaskan bahwa Zevanya tidak akan pernah lolos dari seorang Wira. Entahlah, tapi gadis itu merasa demikian. Membuatnya kembali merenung mengundang keheningan.
Tetapi Wira tidak membiarkan itu, ia mengajak gadis yang telah resmi menjadi istrinya untuk berbelanja kebutuhan dapur. Mereka tidak mungkin membeli makan di luar secara terus menerus, sungguh pemborosan bagi mereka yang hidup pas-pasan.
"Stok makanan kita habis, kamu mau ikut berbelanja?" tanya Wira.
Memang tidak ada apa-apa di mesin pendingin satu pintu yang Wira matikan mesinnya itu sejak kemarin, tentu tujuannya untuk menghemat listrik.
Zevanya berpikir sejenak, dan ia pun mengangguk ingin ikut.
Keduanya pun bersiap-siap untuk ke pasar, Wira berjalan ke samping mengambil motornya. Zevanya mengunci pintu, lalu naik ke boncengan. Pengantin baru itu melewati gang-gang sempit, setelah tiga menit kemudian mereka bergabung dengan kendaraan lain di jalanan yang padat.
Motor yang mesinnya masih kuat walaupun buntut kini memasuki kawasan pasar yang begitu ramai, Wira menurunkan laju motor dan mencari tempat parkiran.
"Beli apa saja yang ingin kamu beli," ujar Wira turun dari motornya. Pasar pagi ini begitu ramai, membuat keduanya harus berdesakan dengan yang lain.
Wira berjalan dengan lincah, menunjukkan pria itu sering mendatangi tempat ini. Sedangkan Zevanya, gadis itu kadang tertinggal dan segera menghampiri Wira.
Wira di buat gelagapan mencarinya, dan ketika keduanya bertemu, tanpa sepatah kata lelaki itu menggenggam tangan gadis yang telah resmi menjadi istrinya.
Zevanya melihat tangan mereka yang saling bertaut, berpindah pandang pada wajah Wira yang tengah tawar menawar daging ayam.
Sosok Wira meruntuhkan dugaan bahwa lelaki tidak bisa berbelanja, pria ini terlihat lihai memilih sayuran berkualitas, daging segar dan tawar menawar harga.
"Ada yang ingin kamu beli?" Wira menanyakan sekali lagi sebelum mereka pulang. Zevanya menggeleng, sebisa mungkin ia tidak ingin menjadi beban hidup pria ini.
Tanpa keduanya sadari, ada seseorang yang sejak tadi mengamati.