Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Ketika Cinta Harus Menyembunyikan
“Liontin itu diisukan sebagai kunci,” jawab Eagle. “Karena ada peta tersembunyi di dalamnya. Peta menuju lokasi penyimpanan barang bukti milik Wardhana.”
Akay mengernyit. “Peta dalam liontin?”
“Ya,” jawab Eagle. “Tapi ada syaratnya. Peta itu hanya bisa muncul bila disentuh darah.”
“Darah siapa?” Akay bertanya, suaranya turun satu oktaf, hampir berbisik.
“Belum pasti,” kata Eagle pelan. “Tapi satu-satunya orang yang hampir membocorkan jawabannya... ditembak mati oleh sniper. Tepat sebelum dia sempat bicara lebih jauh. Itu terjadi dalam pertemuan rahasia, beberapa puluh tahun lalu.”
Akay menatap kosong ke arah kamar. Liontin itu masih tergeletak di dalam laci, sinar birunya menyala samar seperti mata kecil yang terus mengawasi. Diam, tapi mengancam.
“Sejak kejadian itu,” lanjut Eagle, “semua informasi tentang liontin itu dikaburkan. Tak ada arsip yang menyebutkan siapa pembuatnya. Bahkan bahan bola kaca di tengah liontin itu pun tak bisa diidentifikasi.”
Akay menggertakkan gigi. “Apa kau mendapat gambarnya? Bola kaca di tengah liontin itu?”
“Belum. Tapi dari sumber yang bisa dipercaya, liontin itu... adalah satu-satunya peta menuju lokasi penyimpanan bukti-bukti milik Wardhana.”
Akay diam. Nama itu saja sudah cukup membuat udara malam terasa lebih dingin.
“Dan kalau bukti-bukti itu sampai terbongkar ke publik,” Eagle menambahkan, nadanya lebih berat, “kau tahu siapa saja yang akan tumbang.”
Klik. Sambungan terputus.
Akay menurunkan ponsel dari telinga. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kaku.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang tapi tak berhasil menenangkan detak jantungnya.
Liontin itu bukan sekadar perhiasan.
Ia adalah kunci dari sebuah rahasia besar.
Sebuah bom waktu.
Dan jika bom itu meledak—bukan hanya orang-orang besar yang akan jatuh.
Mungkin juga...
***
Matahari pagi menyusup lembut lewat celah tirai, menyinari kamar dengan semburat hangat keemasan. Aroma kopi menguar samar dari dapur, tapi Akay belum beranjak. Ia duduk di sisi ranjang, menatap Aylin yang masih berselimut, memejamkan mata namun napasnya sudah tidak terlalu dalam—tanda ia mungkin mulai terbangun.
“Ay,” panggilnya pelan.
Wanita itu membuka mata perlahan, seolah baru tersadar dari tidur lelap. “Hm?” gumamnya serak, menggeliat sedikit.
“Liontin itu,” kata Akay, tanpa basa-basi. “Dari mana kamu mendapatkannya?”
Sekilas, ada bayangan tegang yang melintas di wajah Aylin. Tapi dengan cepat menghilang, diganti senyum tipis seperti biasa.
“Kenapa tiba-tiba penasaran?” tanyanya, mengangkat alis.
“Bentuknya misterius. Antik banget. Seperti benda yang enggak dijual bebas. Aku belum pernah lihat pola liontin seunik itu.”
Aylin menarik napas pelan, duduk dan menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Tatapannya mengarah ke jendela, seolah sedang mengingat-ingat.
“Aku beli dari seorang pria tua,” jawabnya akhirnya. “Waktu aku jalan ke arah stasiun lama. Dia kelihatan kelaparan, bajunya kumal. Awalnya aku cuma mau ngasih uang. Tapi dia maksa ngasih liontin itu sebagai gantinya. Katanya... itu satu-satunya yang dia punya.”
Akay menatap Aylin tanpa berkedip. “Kamu masih ingat wajahnya?”
Aylin menggeleng, pura-pura santai. “Enggak begitu. Aku juga enggak niat ngobrol lama. Wajahnya pucat, mungkin sakit. Tapi... kayaknya matanya... kosong.”
Ruangan terasa sedikit lebih dingin dari tadi.
Akay mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Kamu terlalu baik.”
Aylin tertawa kecil, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Akay. “Itu cuma liontin aneh, Kay. Kamu enggak harus terlalu serius mikirin itu.”
Akay mengangguk pelan. Tapi dari tatapan matanya yang terpaku pada liontin di laci, terlihat jelas: pikirannya tidak semudah itu berhenti.
Aylin menutup mata sebentar. Dalam keheningan itu, pikirannya bergemuruh.
"Kau salah, Kay... liontin itu bukan sekadar perhiasan. Dan kau... kau sudah terlalu dekat pada rahasia yang seharusnya tetap terkubur."
Ia membuka mata. Pandangannya beralih ke meja rias, ke arah laci tempat liontin itu disimpan.
“Kay,” panggilnya pelan.
“Hm?” Akay menoleh cepat, seperti baru terbangun dari pikirannya sendiri.
“Aku cuma kepikiran soal liontin itu.”
“Kenapa?” nada suaranya langsung berubah. Waspada.
“Ada yang aneh.” Gumaman Aylin nyaris seperti suara yang tertelan keheningan.
Akay menegakkan tubuhnya. “Aneh gimana?”
Aylin turun dari ranjang, berjalan perlahan ke meja rias. Tangannya membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak kecil serta liontin itu—masih bersinar redup dalam bayang kaca yang misterius.
“Aku enggak sengaja nyentuh liontin ini waktu jariku berdarah,” katanya lirih. “Dan...”
Akay menunggu, matanya tak berkedip.
Aylin mengambil jarum kecil dari kotak P3K, menusuk ujung jarinya hingga setitik darah muncul. Ia meneteskan darah itu ke pusat liontin.
Dan saat itulah—liontin menyala.
Cahayanya tidak menyilaukan. Tapi ada kehangatan, ada sesuatu yang terasa kuno dan hidup. Seolah liontin itu... bernafas.
Cahaya itu bertahan beberapa detik, lalu perlahan meredup. Hening. Tak ada peta. Tak ada simbol. Tapi atmosfer ruangan berubah. Lebih berat.
“Lihat?” Aylin menatap Akay, matanya tak sekadar bertanya—ia sedang menguji.
“Cuma bersinar?” tanya Akay, pelan.
Aylin mengangguk. “Cuma sinar. Tapi kamu enggak ngerasa... ini lebih dari sekadar reaksi biasa?”
Akay mengambil liontin itu, memutarnya perlahan di bawah cahaya lampu meja.
Ia diam, namun pikirannya riuh oleh tanda tanya yang berdatangan tanpa henti.
“Kalau benar liontin ini petunjuk menuju tempat penyimpanan barang bukti milik Wardhana… kenapa tak muncul peta? Atau jangan-jangan—hanya darah pemilik aslinya, atau keturunannya, yang bisa membukanya?”
Di hadapannya, Aylin perlahan membalut jarinya sendiri. Matanya tak lepas dari wajah Akay.
"Ayah angkatmu mafia. Ayah kandungmu... tangan kanan dari seseorang yang mencengkeram dunia dengan dua tangan: terang dan gelap. Kau mungkin tahu lebih banyak daripada yang kau tunjukkan, Kay. Dan jika kau mencobanya—"
“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” suara Akay pelan, membuyarkan pikirannya.
Aylin tersenyum samar. “Enggak. Cuma... takut kamu nekat.”
“Nekat?”
“Ngecek sendiri. Tetesin darah kamu ke liontin ini.”
Akay tertawa kecil. Tapi suaranya tidak benar-benar ringan. “Aylin, kamu mulai aneh.”
Aylin tidak membalas. Ia berdiri, lalu meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menutupnya pelan. “Mungkin. Tapi liontin ini... jangan kamu sentuh sembarangan. Kita enggak tahu konsekuensinya.”
Akay memperhatikan Aylin yang melangkah pelan menuju jendela. Ia membuka gorden, membiarkan sinar mentari pagi menyusup ke dalam ruangan. Udara hangat menyentuh kulitnya, tapi dingin di dadanya tak juga pergi. Di balik cahaya, wajahnya tetap diselimuti bayang-bayang rahasia.
Dan Akay, masih duduk di tepi ranjang, hanya menatapnya dalam diam. Tapi pikirannya tak pernah sesunyi wajahnya.
“Kau menyembunyikan sesuatu, Ay. Aku bisa merasakannya. Tapi aku juga bukan orang yang akan mundur hanya karena dibungkam oleh rahasia. Karena aku... adalah bagian dari dua dunia yang saling bertolak belakang. Dunia yang tak pernah bisa berdamai. Dan kini, aku berdiri di tengahnya.”
Sementara itu, Aylin memandangi langit. Tatapannya kosong, tapi pikirannya tak pernah seramai ini.
“Jangan terlalu dekat, Kay... Aku tak ingin kau terjebak di antara aku dan bahaya yang mengintai liontin ini. Jika kau ikut tenggelam, mungkin tak ada jalan kembali. Tapi bagaimana caranya menjauhkanmu... saat hatiku justru ingin kau tetap di sini?”
...🔸🔸🔸...
...Saat hati telah mencintai, luka pun enggan dibagi....
...Cukup senyum yang terpancar, karena bagi yang mencintai, senyuman itu adalah mentari--...
...cahaya yang menghangatkan hati, dalam gulita yang mungkin sulit dilewati....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍