Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Eyang
Senja mulai merambat di jendela ruang tengah rumah tua itu. Kinanti kini sudah duduk bersila di atas permadani usang, tepat di hadapan kursi goyang kesayangan Eyang Karso. Jurnal tua yang baru ia temukan terasa begitu berat di pangkuannya, seolah menyimpan beban sejarah yang tak terhitung.
Di hadapannya, secangkir teh jahe mengepul hangat, sementara sang kakek sedang memandang jauh ke arah pohon mangga tua di sudut halaman. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan eyangnya hari ini – seolah sedang menerawang jauh ke masa lalu.
"Eyang," Kinanti memecah keheningan, tangannya menggenggam erat foto usang yang ia temukan di loteng kemarin.
"Siapa sebenarnya Kartika ini?" Tanya Kinanti lembut, matanya menatap penuh harap pada sang kakek yang baru saja menyesap teh jahenya.
Eyang Karso terdiam sejenak. Tangannya yang keriput menggenggam erat pegangan kursi goyang. Matanya yang sudah berkabut oleh usia menerawang jauh, seakan menembus dinding waktu ke masa lalu yang telah lama terkubur.
"Kartika..." suaranya bergetar, "adalah nama yang sudah lama tidak Eyang dengar, Nduk."
Eyang Karso menghela napas panjang. Uap tipis kembali mengepul dari cangkir tehnya. Kerutan di wajahnya semakin dalam saat ia mulai berbicara, "Nduk, kamu yang baru tujuh belas tahun pasti sulit membayangkan bagaimana rasanya hidup di masa perang kemerdekaan."
Kinanti menegakkan duduknya, merasakan ada sesuatu yang penting akan diceritakan eyangnya.
"Kartika itu..." Eyang Karso terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca.
"Dia kakak kandung nenekmu, Nduk. Saudara tertua dari dua bersaudara." Eyang mengambil jeda, seolah mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang berserakan.
"Cantik, pintar, ceria dan yang terpenting – dia punya keberanian yang jarang dimiliki gadis-gadis pada zamannya."
"Kakak dari nenek?" Kinanti terperangah.
"Tapi kenapa selama ini tidak pernah ada yang cerita tentang dia?"
Eyang Karso mengambil foto dari tangan Kinanti. Jarinya yang keriput mengusap lembut wajah gadis dalam foto itu. "Nduk, kadang ada kenangan yang terlalu menyakitkan untuk diceritakan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu."
Kinanti mendekatkan diri ke kursi Eyang, jurnal di pangkuannya kini terasa semakin berat.
"Memang, apa yang terjadi padanya, Eyang?" Tanya Kinanti yang kembali menatap kakeknya dengan banyak pertanyaan.
Kursi goyang berderit pelan saat Eyang Karso mengatur posisi duduknya. Di luar, burung-burung mulai berkicau pulang ke sarang, menciptakan melodi senja yang menenangkan. Eyang Karso terdiam sejenak, kemudian kembali menghela napas panjang.
"Tahun 1945," Eyang melanjutkan, suaranya kini lebih mantap.
"Saat itu, Kartika baru berusia 19 tahun, tidak jauh beda dengan kamu sekarang. Dia mahasiswa kedokteran, satu-satunya perempuan di angkatannya.”
"Ketika semua orang sibuk bersorak merayakan kemerdekaan, Kartika tahu bahwa perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. Ternyata tebakannya benar, Jepang datang dan akhirnya semua perkuliahan harus berhenti." Jelas Eyang Karso sembari menyesap teh jahenya yang mulai mendingin.
“Dia bergabung dengan kelompok dokumentasi rahasia, mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti perjuangan bangsa kita."
Kinanti bisa melihat bayangan masa lalu terpantul di mata eyangnya yang berkaca-kaca.
"Kartika bukan hanya mencatat. Dia adalah mata dan telinga gerakan bawah tanah. Menyamar dan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, mengumpulkan informasi, menghubungkan para pejuang, dan yang terpenting – mendokumentasikan setiap momen penting dalam perjuangan kita."
Eyang Karso mengambil jurnal dari pangkuan Kinanti, membukanya dengan hati-hati.
"Tulisan tangannya selalu rapi, bahkan dalam situasi paling genting. Lihat ini," dia menunjuk salah satu halaman, "catatan ini dibuat di tengah gempuran musuh di Kota Tua."
Kinanti memperhatikan tulisan yang menguning dimakan usia. Tulisan tangan yang rapi dan mengalir, kontras dengan isi yang menggambarkan situasi mencekam.
"Kartika tidak pernah bisa diam melihat ketidakadilan. Selain menjadi kelompok dokumentasi rahasia, ia juga bergabung dengan gerakan bawah tanah. Menjadi kurir, membawa pesan-pesan rahasia. Kadang menyamar jadi perawat untuk mengobati pejuang yang terluka. Dia sangat pandai menyamar – bisa jadi siapa saja."
Angin sore bertiup lembut, menggoyang daun-daun mangga. Eyang Karso terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya.
"Tapi kemudian," suara Eyang Karso memelan, "di suatu malam di penghujung tahun 1946, Kartika mendapat tugas penting. Ada dokumen rahasia yang harus diselamatkan – dokumen yang bisa membahayakan banyak pejuang kalua sampai jatuh ke tangan musuh. Dia berangkat malam itu juga, sendirian."
Kinanti bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu apa yang terjadi, Eyang?"
"Dia tidak pernah kembali," suara Eyang Karso tercekat.
“Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Ada yang bilang dia tertangkap musuh, ada yang mengatakan dia melarikan diri ke luar negeri dengan dokumen-dokumen penting, bahkan ada yang percaya dia masih hidup dan bersembunyi sampai sekarang."
"Kami mencarinya selama berminggu-minggu. Tapi yang ditemukan hanya tasnya, tersangkut di pinggir sungai Ciliwung. Dan dokumen yang dibawanya... hilang."
Air mata mulai menggenang di sudut mata Eyang Karso. Kinanti belum pernah melihat eyangnya menangis sebelumnya.
"Nenekmu, adiknya Kartika, tidak pernah bisa menerima kepergiannya. Dia selalu percaya Kartika masih hidup di suatu tempat. Sampai akhir hayatnya, dia terus mencari. Dan sekarang..." Eyang menatap dalam-dalam wajah Kinanti, "kamu begitu mirip dengan Kartika. Bukan hanya wajahmu, tapi juga semangatmu, cara kamu memandang dunia."
“Saat Eyang pertama kali melihatmu membawa jurnal ini, rasanya seperti melihat Kartika muda kembali hadir di ruangan ini."
Kinanti meraih tangan eyangnya yang bergetar, menggenggamnya erat. Di kepalanya berkelebat berbagai pertanyaan. Kenapa cerita ini baru ia dengar sekarang? Apa yang sebenarnya ada dalam dokumen itu? Dan mengapa ia bisa begitu mirip dengan Kartika?
"Eyang," Kinanti berbisik pelan, "Tolong ceritakan lebih banyak tentang Kartika. Aku ingin tahu segalanya."
Eyang Karso tersenyum, senyum yang menyimpan ribuan cerita. "Kartika selalu percaya bahwa kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan. Ada banyak yang harus kamu ketahui, Nduk. Tapi tidak semua bisa diceritakan hari ini. Yang perlu kamu tahu sekarang adalah... Kartika meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Dan mungkin... mungkin sudah waktunya kamu yang akan membuka tabir rahasia ini."
Di luar, langit telah sepenuhnya gelap. Tapi di rumah tua itu, api semangat baru telah menyala – api yang sama yang pernah berkobar di mata seorang gadis bernama Kartika, hampir 80 tahun yang lalu.
"Besok," kata Eyang Karso, "Eyang akan ceritakan lebih banyak. Ada yang harus kau ketahui tentang peta-peta kuno dan kode-kode rahasia yang Kartika tinggalkan. Tapi malam ini, simpan dulu jurnal itu di tempat yang aman. Karena mulai sekarang, kau juga akan menjadi bagian dari sejarah ini."
Kinanti mengangguk, memeluk jurnal itu erat ke dadanya.
Saat matahari tenggelam di ufuk barat, Kinanti merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Cerita eyangnya bukan sekadar kisah masa lalu – ini adalah awal dari sebuah pencarian. Dan entah bagaimana, ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.
Di kejauhan, burung-burung pulang ke sarang, dan lampu-lampu mulai menyala satu per satu. Kinanti masih duduk di beranda, mencerna setiap kata eyangnya, sambil bertanya-tanya tentang misteri apa yang menunggunya di depan. Satu hal yang ia yakin, Kartika telah meninggalkan jejak– seorang pahlawan yang kisahnya terlupakan, menunggu untuk ditemukan kembali. Dan sekarang, entah bagaimana, takdir telah memilihnya untuk mengikuti jejak itu.