Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
"Ah, begitu saja kamu marah. Hahaha!"
"Ucapanmu itu tidak masuk akal! masa iya siluman sekeren aku kau suruh nyangkul atau nimba air. Memang dasar pendekar gendeng!"
"Memangnya kamu punya akal?" goda Ranu.
"Jangan salah! Meski aku tak berotak, tapi aku masih punya akal. Dari pada kaummu, semuanya punya otak dan akal, tapi kadang kelakuannya seperti tak punya otak dan tak punya akal," jawab Geni ketus.
"Asem, kamu nyindir aku?"
"Kata siapa? Tapi kalau kamu merasa ya syukurlah, hahaha!"
Ranu mengerucutkan bibirnya. Secara tidak langsung dia membenarkan ucapan Geni mengenai kaumnya.
Setelah melewati dusun kedua seperti yang orang di kedai makan bilang, Ranu mendapati sebuah perempatan jalan. Dia pun kemudian mengambil jalur belok kiri untuk menuju hutan larangan.
Dia berjalan terus mengikuti jalanan kecil berbatu tersebut hingga sampai di sebuah hutan yang luas dan lebat.
"Geni, kira-kira di mana markas para perampok itu?"
"Mana kutahu? Memang aku bapaknya mereka?"
Ranu tersenyum kecut mendengar jawaban teman seperjalanannya itu.
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku berjalan terus dari pada mendengar ocehanmu!"
"Bodoh amat. Aku mau tidur lagi. Jangan menganggu!"
"Dasar kebo, tidur aja pekerjaanmu!"
"Apa kau bilang?" tanya Geni dengan nada sedikit keras.
"Aku bilang selamat bobok, Geni!" jawab Ranu sambil menahan tawanya.
Sesampainya di sebuah pohon besar, Ranu meloncat ke dahan yang cukup besar dan kuat untuk menahan beban tubuhnya. Matanya memandang dengan tajam ke setiap bagian hutan Larangan yang terjangkau olehnya.
Cukup lama dia menunggu hingga rasa bosan pun menyerangnya. Ranu kemudian bersandar di batang pohon dan kemudian dia pun tertidur sambil duduk hingga malam tiba.
Sayup-sayup terdengar pembicaraan tidak jauh dari pohon tempat Ranu tidur. Pemuda 18 tahun itupun terbangun dari tidurnya. Dia tergagap karena hari sudah gelap dan tidak ada penerangan sama sekali. Samar-samar dilihatnya dua orang laki-laki berjalan dari dalam hutan menuju ke jalan utama. Satunya bertubuh tinggi dan satunya agak pendek.
"Kabarnya ketua merencanakan untuk merampok di dusun Pangkatrejo besok. Apa benar berita itu?" tanya lelaki yang bertubuh jangkung "Sepertinya benar. Teman-teman yang lain juga bilang begitu."
"Dusun Pangkatrejo bukannya dusun kecil, kenapa ketua malah memberi perintah merampok dusun tersebut?"
"Entahlah, kita sebagai anggota hanya bisa mengikuti perintah. Kamu tahu sendiri kalau ketua sangat kejam bila ada anggotanya ada yang berani membangkang," jawab lelaki yang bertubuh pendek.
Ranu mendengarkan pembicaraan dua orang tersebut dengan seksama, "Ternyata mereka anggota perampok tersebut. Mereka berjalan dari sana, berarti markas mereka berada di dalam hutan," batinnya.
Dua orang lelaki anggota perampok tersebut berjalan hingga berada di bawah pohon yang diduduki Ranu. Mereka berdua lalu berbelok ke arah kanan dan berjalan terus hingga tidak terlihat lagi.
Karena masih buta dengan lokasi di dalam hutan tersebut, Ranu berinisiatif menunggu dua orang lelaki itut. Dia berencana untuk mengikuti keduanya dari jauh bila mereka kembali.
Hingga menjelang tengah malam, kedua orang tersebut telah kembali dan berjalan masuk ke dalam hutan.
Dengan ringan, Ranu mengendap-endap mengikuti langkah mereka berdua dari jauh. Sesekali dia bersembunyi di balik pohon ketika dua orang itu merasa diikuti.
Semakin jauh mereka berjalan, semakin lebat dan gelap situasi di dalam hutan. Ranu bahkan sampai menggunakan tenaga dalam yang dialirkan ke matanya agar bisa melihat lebih jelas.
"Kenapa mereka berdua bisa melihat dengan jelas di situasi segelap ini?" tanyanya dalam hati.
"Mereka sudah terbiasa lewat sini, bodoh!"
Geni tiba-tiba menyahuti pertanyaan Ranu.
"Kamu ini bikin kaget saja!" balas Ranu kesal.Setelah berjalan cukup lama, kedua anggota perampok itu sampai di sebuah bangunan atau lebih tepatnya perkampungan, karena saking banyaknya rumah di tempat itu.
Kedua orang laki-laki itu pun masuk ke dalam perkampungan tersebut. Ranu sengaja tidak mengikuti sampai masuk ke dalam karena ingin melihat situasi terlebih dahulu.
Ranu kemudian melompat ke sebuah pohon yang tinggi yang terletak tidak jauh dari perkampungan perampok tersebut. Dia memilih pohon yang paling lebat dan mempunyai dahan yang kuat agar bisa bertahan sampai pagi.
"Bagaimana menurutmu, Geni. Apakah Kakek Suro pernah mengalami situasi seperti ini?"
"Jangankan yang cuma begini, bahkan yang jauh lebih berat juga sering."
"Lalu apa yang dilakukan Kakek Suro waktu itu?"
"Dasar manusia tak punya akal, bertanya saja bisanya," gerutu Geni."Katanya kalau malu bertanya sesat di jalan. Dari pada aku mati tragis ya mending bertanya padamu, hehehe." Ranu menutup mulutnya agar tidak sampai terdengar anggota perampok.
"Kamu ini paling pintar membalikkan ucapan orang lain!"
"Huahahahaha, sejak kapan kamu jadi orang?" Andai tidak berada di dekat perkampungan perampok, tentu Ranu sudah tertawa lantang.
"Sudah ... sudah! Lebih baik fokus ke tujuanmu. Saat ini kamu belum punya pengalaman bertarung, kalau kamu memaksakan menyerang mereka, bisa-bisa kamu yang mati sendiri," ucap Geni menerangkan.
"Maka dari itu aku bertanya padamu, Tuanku Geni margeni! Lalu aku harus bagaimana?"
"Sebentar, biarkan authornya berpikir dulu. Nampaknya dia kebingungan, kikikik!"
Ranu terus mengamati perkampungan tersebut sambil berbicara dengan Geni di dalam pikirannya. Sesekali dia melihat beberapa orang melintas dari satu rumah ke rumah lain.
"Ranu, apakah kamu berani menyelinap ke sana? Maksudku biar lebih aman, kamu lewat atap saja!"
"Lewat atap?" Ranu mengernyitkan dahinya.
"Iya, gunakan ilmu meringankan tubuhmu," jawab Geni.
"Baiklah, aku akan mencobanya."
Ranu kemudian mempersiapkan dirinya untuk melompat ke atap sesuai saran Geni. Tapi kegamangan masih saja dirasakannya.
"Tapi kalau aku jatuh, bagaimana?"
"Kalau jatuh ya ke bawah. Masa jatuh ke atas!" jawab Geni asal-asalan.
"Benar juga katamu, dasar siluman gendeng."
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Ranu melompat ke bawah dan langsung berlari dengan ajian Saipi angin. Dia kemudian dengan bertumpu pada gapura untuk meloncat tinggi ke atap salah satu rumah.
Hampir saja Ranu erpeleset ketika mendarat di atas atap. Untungnya dia bisa menyeimbangkan dirinya, sehingga bisa duduk berlutut dengan sempurna.
"Carilah rumah yang paling besar. Biasanya pemimpin itu tempatnya paling besar dan mewah," kata Geni.
Ranu melihat atap yang paling tinggi dan menonjol. Dia menduga kalau atap itu adalah atap rumah pemimpin perampok sesuai ucapan Geni.
Setelah berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya di atas atap, Ranu berlari dengan begitu ringan. Dia melompat dari atap satu ke atap yang lain hingga sampai di atap rumah paling besar dan mewah.
"Hei, siapa itu di atas!?"Salah seorang perampok sekilas melihat gerakan Ranu yang berlompatan di atas atap.
"Waduh, mati aku! Geni, kita ketahuan."
"Kok kita? Kan cuma kamu yang kelihatan," sahut Geni.
"Oh, lya. Aku lupa kalau kamu siluman. Lalu kita harus bagaimana?"
"Berpikirlah, Ranu. Jangan selalu bertanya padaku! Ini baru masalah kecil yang kau hadapi. Nanti akan banyak masalah besar yang menghadang."
Ranu kemudian mulai menghitung kemungkinan berapa persen dia akan selamat jika bertarung secara terbuka. Tapi kalau melarikan diri, pasti mereka akan mengejarnya.
Meskipun memiliki ajian Saipi Angin, tapi di malam yang gelap seperti ini bisa-bisa dia menabrak pohon, pikirnya.
"Kita hadapi mereka, Geni. Aku tidak akan mundur sejengkalpun." Ranu membulatkan tekadnya. Bagaimanapun juga kematian kedua orang tuanya serta penduduk dusun Karangasri harus dibalaskan.
"Hei siapa di atas, cepat turun atau kami paksa turun dan kami bunuh!" Suara keras salah satu perampok tersebut akhirnya mengundang anggota perampok yang lain.
Selepas mengambil kesimpulan, Ranu kemudian bangkit berdiri. "Jangan bunuh, Paman. Aku hanya mencari layang-layangku. Sepertinya tadi jatuh di sini."
Ranu berpura-pura turun dengan pelan dan takut terjatuh, "Paman, bisa tolong ambilkan tangga?"
"Enak saja menyuruh orang! Bisa naik, harusnya bisa turun sendiri. Meloncatlah!
Senyum terkulum Ranu menandakan dia sudah punya rencana berikutnya. Dia pun akhirnya meloncat dan pura-pura terkilir.
"Aduh ... sakit! Kakiku terkilir, Paman. Di sini ada dukun pijat urat apa tidak?"
Pertanyaan konyol yang diajukan Ranu membuat hampir semua gerombolan perampok yang kini sudah mengerubunginya berang.
"Tidak ada dukun pijat di sini, yang ada hanyalah tukang jagal semua! Apa yang kau lakukan di atas?"
"Aku mencari layang-layangku, Paman. Sepertinya tadi jatuhnya di sini," balas Ranu beralasan.
"Bohong! Mana mungkin bermain layangan malam-malam. Kau pasti mau memata-matai kami!" bentak salah satu anggota perampok.
"Bersiaplah, Geni. Mereka tidak bisa diajak musyawarah," kata Ranu di dalam pikirannya.
"Kamu yang bodoh! Bikin alasan nyari layangan malam-malam, apa tidak bisa kamu bikin alasan lain yang lebih bagus?" sahut Geni kesal.
"Kenapa kamu diam? Kamu pasti mata-mata, Jawab?!"Semakin banyak anggota perampok yang datang mengerumuni Ranu. Sambil menenteng berbagai senjata, mereka memandang pemuda tersebut dengan tatapan membunuh.
Ranu kembali menghitung kemungkinan untuk lolos. Melawan ratusan orang bukan suatu hal yang gampang buatnya. Apalagi dia baru pertama kali mengalami kejadian seperti ini.
Karena Ranu tak kunjung menjawab, salah satu perampok memberi perintah untuk membunuhnya.
"Bunuh dia! jangan sampai lolos!"
Belasan orang langsung bergerak maju dan mengayunkan senjatanya ke tubuh Ranu. Karena tidak bisa lari ataupun berkelit dalam keadaan terkepung seperti itu, Ranu terpaksa mencabut Pedang Segoro Geni yang tergantung di punggungnya.
Dengan gerakan cepat dia berkelit dan memutar tubuhnya sambil menyabetkan pedangnya.