Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memendam.Luka
Jae Hyun menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke arah Hye Jin yang menunggunya dengan penuh harap. Ia tahu perempuan di hadapannya ini menginginkan kepastian. Namun, apakah ia bisa memberikannya?
"Aku..." Jae Hyun menggantungkan kata-katanya, merasa berat untuk menjawab. "Aku tidak tahu, Hye Jin."
Hye Jin menaikkan alisnya, menatapnya dengan penuh selidik. "Tidak tahu? Maksudmu apa, Oppa?"
Jae Hyun menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit dengan ekspresi bingung. "Aku pikir aku akan merasa lega setelah Nesya pergi. Aku pikir... aku bisa kembali seperti dulu, bersama denganmu tanpa beban. Tapi kenyataannya, aku justru merasa ada yang hilang."
Hye Jin tersenyum, senyum kemenangan. Baginya, keraguan Jae Hyun adalah bukti bahwa Nesya bukanlah seseorang yang begitu penting baginya. "Kalau begitu, itu artinya kau masih bersamaku, kan?"
Jae Hyun menoleh, menatap wajah Hye Jin yang begitu percaya diri. Ia tidak bisa membantahnya, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal.
"Ya," jawabnya akhirnya. "Aku masih di sini bersamamu."
Hye Jin tersenyum puas, mendekatkan dirinya dan menyandarkan kepalanya di bahu Jae Hyun. "Itu saja yang aku butuhkan, Oppa. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan sekarang. Yang penting, aku ada di sampingmu, bukan dia."
Jae Hyun tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya duduk diam, membiarkan Hye Jin menikmati momennya. Namun, di dalam hatinya, keraguan itu terus tumbuh—apakah benar Nesya tidak memiliki tempat di hatinya? Atau justru perasaan itu baru ia sadari ketika Nesya benar-benar pergi?
Jae Hyun merasa seperti pria paling bodoh di dunia saat ini. Terjebak di antara dua hati, namun tidak mampu mengakui perasaannya sendiri.
Di satu sisi, ada Hye Jin, wanita yang sudah lama berada di sisinya, yang selalu bisa membuatnya nyaman dan percaya diri. Wanita yang dicintainya dulu, dan mungkin masih mencintainya sekarang—atau itu hanya kebiasaan?
Di sisi lain, ada Nesya. Gadis yang awalnya hanya bagian dari kesepakatan. Pernikahan kontrak yang seharusnya tidak melibatkan perasaan. Tapi mengapa saat Nesya pergi, rasanya ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun, bahkan oleh Hye Jin?
Jae Hyun mendesah panjang, menatap kota Seoul dari balik jendela penthouse-nya. Lampu-lampu gedung berkelap-kelip, tapi pikirannya justru berkabut. Mengapa perasaannya semakin rumit sejak Nesya pergi?
Saat ia menutup matanya, bukan Hye Jin yang muncul dalam benaknya, melainkan sosok Nesya—dengan sorot matanya yang tenang, sikapnya yang acuh, dan cara dia menjaga jarak darinya. Dan yang lebih menyakitkan, Nesya pergi tanpa menoleh ke belakang.
Jae Hyun tidak suka kalah. Tapi kali ini, mungkin ia sudah kalah tanpa sadar. Kalah oleh perasaannya sendiri. Dan pertanyaannya sekarang—apakah ia sudah terlambat untuk menyadarinya?
Jae Hyun merasa seperti pria paling bodoh di dunia saat ini. Terjebak di antara dua hati, namun tidak mampu mengakui perasaannya sendiri.
Di satu sisi, ada Hye Jin, wanita yang sudah lama berada di sisinya, yang selalu bisa membuatnya nyaman dan percaya diri. Wanita yang dicintainya dulu, dan mungkin masih mencintainya sekarang—atau itu hanya kebiasaan?
Di sisi lain, ada Nesya. Gadis yang awalnya hanya bagian dari kesepakatan. Pernikahan kontrak yang seharusnya tidak melibatkan perasaan. Tapi mengapa saat Nesya pergi, rasanya ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun, bahkan oleh Hye Jin?
Jae Hyun mendesah panjang, menatap kota Seoul dari balik jendela penthouse-nya. Lampu-lampu gedung berkelap-kelip, tapi pikirannya justru berkabut. Mengapa perasaannya semakin rumit sejak Nesya pergi?
Saat ia menutup matanya, bukan Hye Jin yang muncul dalam benaknya, melainkan sosok Nesya—dengan sorot matanya yang tenang, sikapnya yang acuh, dan cara dia menjaga jarak darinya. Dan yang lebih menyakitkan, Nesya pergi tanpa menoleh ke belakang.
Jae Hyun tidak suka kalah. Tapi kali ini, mungkin ia sudah kalah tanpa sadar. Kalah oleh perasaannya sendiri. Dan pertanyaannya sekarang—apakah ia sudah terlambat untuk menyadarinya?
Nesya tersenyum bahagia sambil menyuapkan sesendok nasi hangat ke mulutnya. Rasa masakan ibunya tetap sama—lezat dan penuh kehangatan.
“Apa di Korea makanannya tidak seenak ini?” tanya ibunya sambil tertawa kecil, melihat putrinya yang makan dengan lahap.
Nesya menggeleng sambil tersenyum. "Bukan soal enak atau tidak, Bu. Tapi makanan Ibu selalu punya rasa yang beda... lebih dari sekadar lezat," jawabnya jujur.
Ayahnya menatapnya penuh perhatian. "Kamu kelihatan lebih kurus, Sayang. Apa di sana kamu tidak makan teratur?"
Nesya terdiam sejenak sebelum menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Yah. Mungkin karena sibuk kuliah dan kerja, jadi kadang lupa makan."
Ibunya menatap Nesya dengan tatapan penuh kasih. "Sekarang kamu sudah di rumah, nikmati waktumu di sini, jangan pikirkan hal-hal lain dulu," katanya sambil mengelus punggung tangan putrinya.
Nesya mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan, tidak ada perasaan canggung seperti di penthouse Jae Hyun, dan tidak ada luka yang harus ia sembunyikan. Hanya ada kehangatan keluarga.
Namun, di balik ketenangan itu, Nesya sadar… hatinya belum sepenuhnya pulih.
Malam itu, Nesya sudah bersiap tidur di kamar lamanya. Ia berbaring di kasur empuknya, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, berharap bisa segera terlelap setelah perjalanan panjang dan segala hal yang terjadi di Korea.
Namun, sebelum sempat benar-benar memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk pelan.
“Nesya? Ibu masuk, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, ibunya mendorong pintu dan melangkah masuk. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Nesya yang berusaha tersenyum meski matanya tampak lelah.
“Kamu kelihatan berbeda, Nak.”
Nesya mengerjapkan mata, pura-pura tidak mengerti. “Maksud Ibu?”
Sang ibu menghela napas pelan, tangannya terulur, mengusap lembut kepala Nesya. “Entah kenapa, tatapanmu tidak sama seperti dulu. Seperti ada sesuatu yang kamu simpan sendiri.”
Nesya menelan ludah. Apakah ibunya menyadari luka yang ia bawa pulang dari Korea?
“Apa yang terjadi di sana, Sayang?”
Nesya menatap langit-langit kamar. Ada begitu banyak hal yang ingin ia ceritakan, tapi bibirnya terasa berat untuk berbicara.
Haruskah ia menceritakan semuanya? Tentang pernikahan kontrak yang menyakitkan itu? Tentang bagaimana ia tidak pernah diakui sebagai istri? Tentang bagaimana akhirnya ia memilih pergi?
Atau... cukup menyimpannya sendiri? Bahwa Nesya pernah menikah kontrak? Nesya hanya bisa memendamnya sendiri. Karena orang tuanya pasti kecewa.
Jae Hyun duduk di tepi ranjang, memandangi kamar yang dulu ditempati Nesya. Rasanya masih sama—aroma samar parfumnya masih tertinggal di udara, dan bayangan perempuan itu masih memenuhi pikirannya.
Saat tangannya menyentuh meja di samping ranjang, matanya menangkap sesuatu—sebuah buku catatan berwarna cokelat dengan sudut yang sedikit terlipat.
Jae Hyun mengerutkan kening. Buku ini milik Nesya?
Tanpa sadar, tangannya terulur dan membuka halaman pertama. Tulisan tangan rapi memenuhi halaman itu, dengan coretan kecil di beberapa sudut.
"Hari ini aku merasa lelah, tapi aku harus kuat. Aku tahu ini hanya sementara, aku hanya harus bertahan sebentar lagi..."
Jae Hyun terdiam, matanya bergerak menelusuri setiap kata.
Di halaman berikutnya, ada coretan lain:
"Aku tahu pernikahan ini hanya pura-pura, tapi kenapa rasanya semakin sakit? Aku tidak boleh berharap apa-apa. Jae Hyun bukan milikku."
Jae Hyun menggenggam buku itu lebih erat. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya.
Halaman demi halaman ia baca, semakin lama semakin terasa berat.
"Aku rindu rumah. Aku rindu tempat di mana aku bisa merasa dihargai. Apakah aku benar-benar tidak berarti di sini?"
Jae Hyun menutup buku itu perlahan, menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia tidak pernah tahu Nesya merasa seperti ini.
Di kamar sebelah, Hye Jin tertidur nyenyak di ranjangnya.
Sementara Jae Hyun?
Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan sesuatu yang mungkin seharusnya ia jaga sejak awal.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak