para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Jejak yang Hilang
Hutan Giripati kini benar-benar tertelan kegelapan. Sisa-sisa cahaya senja telah menghilang, digantikan oleh bayang-bayang pekat yang seperti hidup, bergerak perlahan di antara pepohonan. Udara dingin merayap, membawa aroma tanah basah yang menyengat. Suara langkah berat yang mereka dengar tadi seakan lenyap begitu saja, tapi ketegangan di udara masih menggantung seperti benang halus yang siap putus kapan saja.
“Raka, lo yakin kita masih di jalur yang bener?” suara Bima bergetar, berusaha keras untuk terdengar biasa.
Raka memeriksa peta di tangannya, tapi jalur yang seharusnya mereka lalui tidak lagi cocok dengan yang ada di depan mata. Hutan di sekitar mereka terlalu rapat, dan semak-semak tebal kini memenuhi jalan yang sebelumnya terlihat jelas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa paniknya.
“Menurut peta, kita harus terus lurus… Tapi—”
“Tapi apa?” potong Andre tajam. “Jangan bilang lo nyasar.”
“Gue nggak nyasar!” balas Raka cepat, meski nadanya terdengar ragu. “Ini cuma… aneh aja. Jalurnya kayak berubah.”
“Berubah?” Dinda menatap Raka dengan tatapan tajam. “Lo denger nggak apa yang lo bilang? Jalur nggak mungkin berubah. Itu bukan logis.”
“Aku setuju sama Dinda,” Citra bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi… mungkin ada hal di sini yang nggak logis.”
Andre mendengus, meski nada percaya dirinya mulai luntur. “Udahlah, jangan paranoid. Kita buka tenda aja di sini. Besok pagi kita bisa cari jalan keluar.”
“Buka tenda di sini?” Dinda melotot. “Lo gila, Ndre? Kita nggak tahu apa yang ada di sekitar sini!”
Sebelum perdebatan semakin panas, terdengar suara lain. Bukan suara langkah, melainkan gumaman pelan, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tak mereka mengerti. Suara itu terdengar jauh, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka meremang.
“Apa itu?” bisik Citra, wajahnya pucat pasi.
“Gue nggak tahu, tapi gue nggak mau tau juga,” sahut Bima cepat. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Namun, ketika mereka mencoba kembali ke arah semula, jalur yang mereka lalui tadi tidak lagi ada. Semuanya telah berubah menjadi dinding semak-semak yang rapat, mustahil untuk dilewati.
“Ini nggak masuk akal…” Raka bergumam, suaranya hampir hilang.
“Berarti kita terjebak.” Andre menatap Raka tajam. “Lo yang bawa kita ke sini. Lo harus tahu cara keluar!”
“Diam!” bentak Dinda. “Berantem nggak bakal bantu. Kita harus tetap tenang!”
Namun, ketenangan itu sulit dicapai. Suara gumaman tadi kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih jelas. Kata-katanya masih asing, tapi nadanya seperti… mengancam. Dan kemudian, suara itu berhenti. Hening.
“Kenapa… berhenti?” Citra menoleh ke kanan dan kiri dengan cemas.
Tiba-tiba, di balik semak-semak, terdengar bunyi gesekan pelan. Suara daun-daun yang terseret di tanah. Dan dari kegelapan, sesuatu muncul.
Tangan.
Tangan hitam legam yang panjang, kurus, dengan kuku-kuku tajam yang tampak seperti cakar, menjulur dari balik semak-semak. Perlahan, tangan itu mencengkeram batang pohon, seolah-olah pemiliknya sedang bersiap menarik tubuhnya keluar.
Andre mundur dengan wajah pucat. Kamera di tangannya bergetar, tapi ia masih merekam. “Apa itu…”
Sebelum ada yang sempat menjawab, tangan lain muncul di sisi lain semak-semak, mencengkeram batang pohon lain. Dan kemudian, mata itu muncul. Mata merah menyala yang tadi mereka lihat, kini menatap mereka dengan intensitas yang membakar.
“LARI!” teriak Raka, memecah ketegangan.
Tanpa pikir panjang, mereka semua berlari ke arah yang berlawanan. Tidak ada lagi jalur yang jelas—hanya insting yang membawa mereka menjauh dari sosok mengerikan itu. Nafas mereka memburu, jantung mereka berdetak kencang. Semak-semak berduri merobek kulit mereka, tapi mereka tidak peduli. Yang ada di pikiran mereka hanya satu: keluar dari sini.
Namun, suara langkah berat itu kembali terdengar. Kali ini lebih cepat, lebih keras, seolah mengejar mereka.
“Aku nggak mau mati di sini!” tangis Citra di sela-sela nafasnya.
“Terus lari!” balas Dinda, menarik tangan Citra agar tetap bersamanya.
Mereka berlari tanpa henti hingga tiba di sebuah area yang lebih terbuka. Di tengahnya, berdiri sebuah bangunan kecil yang tampak tua. Dindingnya dari kayu yang sudah lapuk, atapnya miring, hampir roboh.
“Apa itu?” tanya Bima, terengah-engah.
“Tempat berlindung,” kata Raka tanpa berpikir panjang. “Kita masuk ke sana!”
“Gila lo?” Dinda menatapnya tajam. “Kita nggak tahu apa yang ada di dalam!”
“Dan kita juga nggak tahu apa yang ada di belakang kita!” bentak Andre.
Pilihan mereka sedikit. Dengan berat hati, mereka memutuskan masuk ke bangunan itu. Pintu kayunya berderit pelan saat Raka mendorongnya, mengungkapkan ruangan gelap dengan aroma apak dan debu yang menyesakkan.
Namun, sebelum mereka sempat menutup pintu, suara langkah itu berhenti.
Keheningan yang mematikan kembali menyelimuti.
“Kalian rasa… kita aman?” bisik Citra, matanya tak lepas dari pintu yang terbuka.
Tiba-tiba, pintu tertutup sendiri dengan keras, membuat mereka semua melompat ketakutan. Dari balik kegelapan ruangan, terdengar suara lain. Suara napas berat, dalam, dan sangat dekat.
“Jangan… berbalik,” bisik Raka, suaranya hampir tak terdengar.
Namun mereka tahu, apapun yang ada di ruangan itu, sedang berdiri tepat di belakang mereka.