Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Dia, Lebih Rapuh dari Yang Terlihat
Di sekolah, suasana ruang OSIS terasa tegang. Para anggota sedang mempersiapkan acara besar yang akan digelar minggu depan, tetapi interaksi antara Frasha dan Ilva menarik perhatian semua orang.
Frasha sedang berdiri di depan papan tulis, memberikan arahan kepada anggota OSIS lain. Namun, setiap kali ia menyebut tugas Ilva, gadis itu selalu merespon dengan nada yang dingin dan ketus.
“Ilva, bagian dekorasi udah selesai?” tanya Frasha dengan nada tegas.
Ilva mengangkat bahu, bahkan tidak menatap Frasha. “Tanya aja ke tim gue, mereka lebih tahu.”
Frasha mengernyit. “Lo ketuanya, Va. Gue butuh laporan dari lo langsung.”
Ilva akhirnya menatap Frasha dengan tajam. “Lo selalu butuh semuanya dari gue, kan? Tapi lo sendiri nggak pernah ada buat gue. Semua ini cuma tentang lo, Frasha. Lo nggak pernah peduli sama orang lain.”
Ruangan itu mendadak sunyi. Semua anggota OSIS terdiam, tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Frasha menatap Ilva dengan tatapan terluka, tetapi ia berusaha mempertahankan ketenangannya.
“Kalau lo ada masalah sama gue, kita bisa bicara nanti,” ujar Frasha dengan nada dingin. “Sekarang, fokus ke tugas lo.”
Ilva berdiri dari kursinya, menatap Frasha dengan penuh amarah. “Gue udah nggak peduli sama tugas ini, Frasha. Lo jalanin aja sendiri!” katanya sebelum keluar dari ruangan dengan langkah cepat.
****
Usai mempersiapkan acara besar SMAGA, Frasha duduk sendirian di taman belakang sekolah. Ia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi abu-abu kehitaman, tetapi pikirannya jauh dari damai. Kata-kata Ilva masih terngiang-ngiang di kepalanya.
“Lo kelihatan kacau,” suara Alastar tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
Frasha menoleh, sedikit terkejut. “Ngapain lo di sini?” tanyanya dingin.
Alastar tersenyum kecil. “Gue cuma lewat. Tapi kayaknya lo butuh teman ngobrol.”
Frasha menghela napas, lalu kembali menatap langit. “Gue nggak butuh siapa-siapa.”
Alastar duduk di sampingnya tanpa diundang. “Manusia tetap butuh manusia lainnya, Sha."
Frasha diam, tidak membalas. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Kehadiran Alastar yang biasanya membuatnya kesal, entah kenapa hari itu terasa menenangkan.
“Gue dengar tadi lo sama Ilva cekcok,” ujar Alastar setelah beberapa saat.
Frasha mengangguk pelan. “Dia marah sama gue. Mungkin dia benar. Gue memang nggak pernah jadi teman yang baik.”
“Lo cuma terlalu keras sama diri lo sendiri, Sha,” ujar Alastar dengan nada lembut. “Kadang lo perlu berhenti sebentar dan dengerin orang di sekitar lo.”
Frasha menatapnya, untuk pertama kalinya tanpa tatapan dingin yang biasa ia tunjukkan. “Kenapa lo selalu sok tahu soal gue, Star?”
Alastar tertawa kecil. “Karena gue tahu lo lebih dari yang lo pikir.”
****
Setelah bel pulang berbunyi, suasana di depan gerbang sekolah ramai dengan siswa yang berbondong-bondong meninggalkan kawasan SMA Gonzaga. Di antara keramaian itu, Alastar terlihat berdiri di dekat motornya, menunggu Kayana yang baru saja keluar dari kelas.
“Kay!” panggil Alastar sambil melambaikan tangan.
Kayana berjalan mendekat, tasnya disampirkan di satu bahu. “Ada apa? Tumben lo nungguin gue,” tanyanya sambil menaikkan alis.
“Gue butuh bantuan lo,” jawab Alastar sambil memasang helm di kepalanya. “Lo ikut gue sekarang.”
Kayana mengerutkan dahi. “Ke mana? Lo nggak bilang apa-apa sebelumnya.”
“Percaya sama gue. Gue nggak akan bawa lo ke tempat yang aneh-aneh,” ucap Alastar sambil menyerahkan helm cadangan.
Dengan sedikit ragu, Kayana mengambil helm itu dan memakainya. “Kalau ini jebakan, gue bakal ngamuk, tahu!”
Alastar tertawa kecil, lalu menyalakan motor. “Naik aja dulu. Gue janji, ini penting.”
****
Perjalanan itu cukup sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang membuat suara motor terdengar jelas di telinga Kayana. Sambil memeluk jaket Alastar untuk menjaga keseimbangannya, Kayana mencoba mengusir rasa penasaran yang semakin membuncah.
“Star, kita mau ke mana sih?” tanya Kayana, suaranya sedikit tertahan oleh hembusan angin.
Alastar tak langsung menjawab. Ia memperlambat laju motor, lalu menoleh sedikit ke belakang. “Ke tempat yang bisa bikin lo ngerti sesuatu tentang gue, Kay. Tempat yang bikin gue sembuh.”
Kayana mengerutkan dahi. “Sembuh dari apa? Lo sakit?”
“Bukan sakit kayak gitu,” Alastar terkekeh kecil, lalu kembali fokus ke jalan. “Tapi, gue rasa ini saatnya lo tahu. Gue nggak selalu jadi cowok tengil yang lo kenal sekarang.”
Alastar sedikit melirik kaca spion, memastikan Kayana masih memegang erat. “Ke tempat yang gue anggap spesial. Lo harus tahu ini, Kay.”
Kayana mendesah pelan. “Spesial gimana? Jangan bikin gue makin bingung.”
Alastar tersenyum kecil meski Kayana tak bisa melihatnya. “Spesial karena tempat itu yang bikin gue tetap waras sampai sekarang.”
Beberapa menit kemudian, mereka berhenti di depan sebuah bangunan sederhana. Tulisan “Klinik Konseling dan Psikologi” terlihat jelas di papan yang tergantung di depan pintu masuk.
Kayana turun dari motor dan memandangi tempat itu dengan bingung. “Psikolog?” tanyanya sambil melepaskan helm.
Alastar ikut turun, menatap bangunan itu dengan tatapan yang lebih dalam. “Iya. Gue dulu sering ke sini.”
Kayana terdiam, tak tahu harus berkata apa.
“Lo tahu kan, gue nggak punya keluarga yang sempurna,” ucap Alastar pelan sambil bersandar pada motornya. “Gue tumbuh dalam keluarga dengan keyakinan bahwa jika gue ingin sesuatu, gue harus meraihnya sendiri. Bokap gue bukan rumah untuk kembali, dan Nyokap gue nggak bisa menjadi bahu untuk bersandar dalam keluh kesah. Dalam dunia yang luas ini, gue nggak memiliki tempat yang benar-benar bisa disebut pulang."
Kayana menatap Alastar dengan sorot mata penuh iba, tapi dia memilih untuk tidak menginterupsi.
“Psikolog di sini yang bikin gue sadar kalau gue nggak sendiri. Mereka bantu gue nerima semua hal buruk yang pernah gue alamin,” lanjut Alastar sambil menoleh ke arah Kayana. “Dan sekarang, gue mau ngajak lo masuk. Bukan karena gue pikir lo punya masalah, tapi karena gue percaya tempat ini bisa bikin lo ngerti lebih banyak tentang gue.”
Kayana terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Star, lo nggak perlu jelasin semuanya ke gue. Tapi kalau ini yang bikin lo lega, gue temenin.”
Alastar mengangguk kecil. “Terima kasih, Kay.”
Kayana mengikuti langkah Alastar memasuki klinik itu. Tempatnya terlihat sederhana namun terasa hangat, dengan aroma lavender yang menenangkan menyelimuti ruangan. Dindingnya dipenuhi poster-poster tentang kesehatan mental dan kutipan-kutipan motivasi. Di sudut ruangan, ada sofa empuk dan meja kecil dengan buku-buku yang tersusun rapi.
Alastar menghampiri meja resepsionis, berbicara pelan dengan seorang wanita muda di sana. Kayana hanya diam di belakangnya, matanya sibuk memperhatikan sekeliling.
Alastar mengangguk, lalu mengajak Kayana duduk di sofa yang tersedia. Dia menoleh ke arah Kayana, yang terlihat sedikit gelisah.
“Kay, lo nggak apa-apa kan? Kalau lo nggak nyaman, gue nggak maksa lo buat ikut,” ucap Alastar pelan.
Kayana menggeleng cepat. “Nggak, gue nggak apa-apa. Gue cuma... nggak nyangka aja lo ke tempat kayak gini. Gue kira lo tipe yang nyimpen semuanya sendiri.”
Alastar tersenyum kecil. “Dulu gue emang begitu. Tapi ada saatnya gue sadar kalau gue nggak bisa nyelesain semuanya sendirian.”
Beberapa menit kemudian, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi muncul dari balik pintu ruangan. “Alastar, silakan masuk,” katanya lembut.
Alastar berdiri, menoleh ke Kayana. “Lo mau ikut?”
Kayana ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau lo nggak keberatan.”
Mereka berdua masuk ke dalam ruangan konseling yang terasa hangat dan nyaman. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan abstrak, dan ada sebuah meja kecil di sudut ruangan dengan kotak tisu di atasnya.
Wanita itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Bu Mira, mempersilakan mereka duduk di sofa yang empuk. “Jadi, apa kabar, Alastar? Sudah lama nggak ke sini,” tanyanya sambil tersenyum.
Alastar mengangguk kecil. “Iya, Tante. Saya udah lumayan lama nggak ke sini. Tapi hari ini saya pengen cerita lagi, dan saya bawa teman.”
Bu Mira memang sudah menganggap Alastar sebagai putranya, sebelumnya, ia menyuruh Alastar memanggilnya sebagai Ibu, namun Alastar tak ingin seperti itu, jadi memanggilnya dengan sebutan Tante. Terlebih juga, Bu Mira tidak memiliki anak laki-laki, dan Alastar adalah satu-satunya pasien yang begitu lama.
Mata Bu Mira beralih ke Kayana, yang duduk dengan tangan menggenggam erat di pangkuannya. “Senang bertemu denganmu. Nama kamu siapa?”
“Kayana,” jawabnya pelan.
“Kayana, kamu teman dekat Alastar ya?” tanya Bu Mira dengan nada lembut.
Kayana melirik Alastar sejenak sebelum menjawab. “Bisa dibilang begitu.”