Sekuel off 'Pesona Mama Mertua Muda'
Wajib baca season satu duluan ya ≧∇
"Duniaku ikut mati tanpamu."
Kehidupan Javas hancur saat wanita yang paling dicintainya meninggal. Ia mencoba melarikan diri, menyingkir dari tempat yang menenggelamkan banyak jejak kenangan tentang wanita itu.
Namun, ia tak bertahan lama, Isvara selalu tinggal di kepalanya, sehingga pria itu memutuskan kembali.
Hanya saja, apa jadinya jika Isvara yang mereka pikir telah meninggal—justru masih hidup? Bisakah Javas menggapai dan melanjutkan hidupnya bersama wanita itu lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Donacute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 | Apa itu Isvara?
Waktu berjalan lebih cepat, sudah dua bulan sejak Isvara dan Sheva datang ke pesta ulang tahun Given dan Givana. Isvara dan Sheva sudah lama kembali di kehidupan damai mereka di desa.
Walau begitu, Visha dan Isvara masih saling menghubungi satu sama lain. Saat itu Visha memang meminta untuk saling tukar nomor dengan Isvara, ia benar-benar ingin berteman atau bahkan bersahabat dengan Isvara. Isvara tentu sudah mengatakan pada Visha, dirinya tinggal di desa yang sangat jauh jadi tidak bisa sering bertemu dengan Visha.
"Total harganya jadi 50 ribu ya, Mbak." Isvara sekarang sedang melayani pembeli di toko miliknya, pembeli memberikan uang pas untuk membayar belanjaannya sebelum pergi.
Semua pembeli sudah selesai dilayani oleh Isvara dan Leni, sekarang mereka bisa santai sejenak.
"Mbak Leni tolong nanti Mbak rekap barang-barang yang habis, biar saya nanti akan belanja," pinta Isvara dengan lembut.
"Siap, Mbak Kinan." Tanpa menunggu lama, Leni segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Isvara.
Isvara sendiri keluar dari tokonya, ia ingin pulang ke rumah menemui putrinya yang tengah sendirian di rumah. Toko Isvara sendiri terletak di samping rumah yang Isvara tempati, sengaja ia membuatnya berdekatan agar lebih mudah untuknya.
"Bunda," panggil Sheva ketika melihat sang Bunda baru masuk rumah.
"Iya, sayang. Sheva mau apa?" Isvara berjalan menghampiri putrinya.
"Mau main sama Bunda," rengeknya manja. Isvara hanya tersenyum lalu mengangguk, tentu gadis itu tidak akan keberatan jika harus bermain dengan putrinya.
***
Di Jakarta, tempatnya di kediaman Bimantara. Chilla melihat sang Papa sedang duduk sendirian di ruang keluarga, dengan keberanian yang ia miliki ia mencoba berbicara dengan Papanya hanya berdua.
"Pa, boleh Chilla bicara sama Papa sebentar?" tanyanya dengan sedikit keraguan.
"Tanya saja," jawabnya singkat.
"Papa beneran bakalan menetap di Indonesia lagi?" Javas menjawabnya dengan mengangguk, melihat hal itu Chilla langsung tersenyum bahagia.
"Pa, aku 'kan pernah KKN di desa terpencil gitu, di sana kayaknya butuh di modern-kan sedikit. Papa nggak mau gitu bangun sesuatu di sana? Aku liat di sana sedikit masih desa banget, belum banyak yang tahu juga. Papa bisa buat sesuatu tapi tetap jangan sampai merugikan warga sekitar."
Javas melipat tangannya sambil terus mendengarkan ucapan putrinya. "Kenapa nggak kamu aja, Chilla."
"Hah! kok jadi aku sih, Pa?" tanya Chilla bingung.
"Iya, kamu. Sekarang kamu udah bergabung di Bimantara Group dibawah pimpinan saudara kembar kamu, kamu bisa turun langsung membuat sesuatu di desa kamu. Kamu dan Chio punya hak yang sama di perusahaan itu, jadi kalau kamu bisa kenapa harus Papa?"
Chilla terdiam, ia membenarkan ucapan Papanya. Namun, ia tidak kehabisan akal. Chilla memang punya niat terselubung untuk sang Papa. Jadi ia menginginkan Papanya mengikuti kemauannya.
"Chilla dan Chio masih belum pantas menangani proyek sebesar itu, jadi Papa saja," bujuknya.
"Kalau belum pantas ya, kalian bisa belajar supaya pantas. Papa dulu nggak langsung jadi seperti ini, banyak usaha yang Papa lakukan Chilla."
"Ayolah, Papa aja yang urus desa itu. Coba Papa ke sana dulu, nanti aku bakal kasih tau di mana lokasinya. Papa liat-liat dulu aja di sana baiknya dibangun apa yang bisa memajukan desa itu, tapi tetap nggak merugikan warga."
Javas menghela napas panjang. "Baiklah, Papa liat-liat dulu desanya."
"Nanti langsung berangkat ya, Pa." Mata pria yang hampir kepala empat itu langsung melotot ketika mendengar ucapan putrinya.
"Yang bener aja, Chilla. Masa hari berangkat sekarang juga."
"Papa nggak sekarang banget, nanti itu nanti sore yang aku maksud. Bukannya memang lebih cepat lebih baik' kan, Pa?"
"Kamu atur sajalah," jawab Javas akhirnya. Setelah dipikir-pikir ia butuh healing ke tempat berbeda, jika diluar negri sudah terlalu sering dan itu bukan termasuk healing. Tapi di desa terpencil dengan suara yang asri, pasti menyenangkan berada di sana.
Chilla sudah mengatakan semuanya pada Tiana, wanita paruh baya itulah yang membantu putranya untuk bersiap-siap. Tiana berfikir mungkin saat di desa dengan suasana yang baru, Javas bisa melupakan kenangan Isvara yang sudah dua tahun pergi selama-lamanya.
Tiana jelas bisa menilai bagaimana sikap putranya selama ini yang memang gagal move on, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apapun. Javas sudah terlalu dewasa untuk ia kendalikan lagi, berbeda dengan Chio.
Javas berpamitan pada kelurganya, walau perginya hanya beberapa hari tetap saja harus berpamitan agar bisa selamat sampai tujuan.
"Papa kabarin aku ya, kalau udah sampai. Aku yakin banget Papa nggak akan nyesel pergi ke desa tempat aku KKN," ujar Chilla dengan begitu yakin. Javas lagi-lagi membalasnya dengan anggukan saja.
Javas segera masuk mobilnya, ia pandangi ponselnya yang baru saja dikirimkan lokasi yang akan didatanginya. Kali ini Javas memutuskan untuk pergi sendiri saja, ia yakin bisa mengurus semuanya walau memang hanya sendirian.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, Javas menepikan mobilnya. Javas memang sudah sampai di desa terpencil yang Chilla maksud, tetapi dirinya belum terlalu yakin. Javas memang takut kesasar, jadi untuk memastikannya ia bertanya kepada warga sekitar.
Javas sudah mendapatkan jawabannya dari warga sekitar yang lewat, jadi ia bisa bernapas dengan lega karena dirinya tidak tersasar.
Javas juga diarahkan untuk pergi ke rumah kepala desa, karena tidak mungkin menginap di penginapan. Di desa itu tidak ada penginapan, makanya anak KKN kemarin pun tinggalnya di rumah warga.
"Perkenalkan saya Javas Daviandra, saya adalah pengusaha dari Jakarta. Saya dapat informasi dari putri saya tentang desa ini, karena dulu putri saya pernah KKN di sini. Kedatangan saya sebenarnya ingin melihat-lihat desa ini, jika memungkinan saya akan membuat sesuatu yang bisa membantu memajukan desa ini hingga menjadi lebih maju lagi, Pak," ujar Javas memperkenalkan diri.
"Saya, Rizal sebagai kepala desa di sini. Saya sangat antusias menyambut kedatangan Pak Javas, apalagi Pak Javas mempunyai maksud yang baik yaitu membantu memajukan desa saya. Sebenarnya saya juga tidak ingin desa ini terus menjadi desa yang tertinggal, tetapi jika dengan memajukan desa bisa merugikan seluruh warga saya. Saya dengan tegas akan menolak rencana, Pak Javas," balasnya dengan sopan.
"Saya mengerti Pak, saya juga mengupayakan yang terbaik untuk desa ini kok. Jadi tidak mungkin sampai merugikan warga."
Javas dan Rizal mengobrol banyak hal, ternyata Rizal adalah orang yang sangat berpendidikan. Ia dulu sekolah sampai kuliah di kota, lalu menetap di desa tempatnya dilahirkan. Ternyata ia malah dipercaya mengabdi di desanya sebagai kepala desa.
Karena Rizal ada urusan lain, Rizal menyuruh anak buahnya yang bernama Eno untuk menemani Javas berkeliling desa. Awalnya Javas mau berkeliling sendirian, tetapi tidak diizinkan oleh Rizal karena Javas orang baru takutnya tersasar. Desa Sumberwangi itulah nama desanya, desa terpencil tetapi desanya sangat luas sekali.
Saat di desa Sumberwangi, Javas benar-benar akan tinggal di rumah Rizal yang kebetulan ada kamar yang kosong jadi bisa ditempati oleh Javas walau hanya sementara saja.
Saat sedang asyik berkeliling, dari kauh Javas melihat seorang wanita yang sedang berlarian dipinggir sawah dengan anak perempuan. Dari belakang Javas bisa melihat, wanita itu entah mengapa sangat mirip dengan Isvara. Sedangkan anak perempuannya juga tidak sangat tidak asing baginya.
"Apa itu Isvara?" tanya Javas pada dirinya sendiri, tetapi Javas segera tersadar bahwa Isvara sudah tiada jadi mana mungkin itu adalah Isvara.
Tanpa perduli dengan Eno, Javas bergegas menghampiri kedua perempuan berbeda usia itu. Entah itu benar Isvara atau bukan, Javas ingin memastikannya sendiri.
Javas sudah lari sekuat tenaga, tetapi saat ia sampai di tempat perempuan dan anak kecil. Di sana tidak ada orang yang Javas cari, ia tidak kehabisan akal dan memutuskan bertanya pada orang yang lewat. Mereka melihat kedua orang yang Javas maksud atau tidak, ternyata tidak ada yang melihat juga.
"Apa aku halusinasi ya?" tanya Javas.
Sekarang Javas bingung mau ke mana lagi, sepertinya pria itu telah kesasar. Tapi ia memutuskan tetap berjalan saja walau tanpa ada tujuan yang jelas, ia sudah lelah mungkin dirimya akan meminta seseorang untuk mengantarkannya ke rumah kepala desa.
Javas memicingkan matanya saat melihat ada sebuah toko yang cukup besar di desa, jika di kota tentu toko itu tidak sebesar itu. Karena tenggorokannya terasa haus, Javas memutuskan untuk membeli minuman dingin di toko itu. Tentu Javas berharap minuman dinginnya ada.
Pria itu tersenyum saat melihat ada box es batu yang ditempati oleh minuman dingin, di desa itu memang ada listrik tetapi tidak banyak. Jadi tidak akan bisa dipakai untuk kulkas, yang punya warung itu hanya bisa memakai box es batu.
Javas memang kaya sejak kecil, tetapi saat masih kecil ia sering bandel dan berteman dengan banyak orang selain orang kaya. Saat itulah ia tahu banyak tentang hal-hal yang hanya diketahui oleh orang miskin, seperti box es batu itu.
"Saya beli minuman ini, Mbak? Berapa harganya?" tanya Javas sambil menunjukkan minuman yang ia pilih.
"5000 saja, Pak," jawab penjaga toko itu tanpa melihat siapa yang beli, karena sedang fokus memeriksa sesuatu di bukunya.
Javas terdiam, ia mengenal suara itu. Namun, bukannya sebelumnya ia juga sudah pernah mendengar suara itu dan itu bukan berarti suara Isvara.
"Ini uangnya, Mbak," ujar Javas sambil memberikan uang satu lembar berwarna biru. Penjaga toko itu menaruh bukunya di meja kasirnya, ia mendongakkan kepalanya saat menerima uangnya hingga wajahnya terlihat pada Javas.
"Isvara," panggil Javas pelan, kali ini Javas yakin sekali gadis yang ada di depannya adalah Isvara.
Gadis itu memang benar Isvara, yang punya toko besar di desa sumberwangi memang hanya Isvara seorang. Tadi ia bermain sebentar dengan putrinya, saat kembali ke rumah Leni tiba-tiba izin. Jadi mau tidak mau, Isvara menjaga sendiri toko miliknya. Diluar dugaan ia malah melayani Javas, gadis itu sangat yakin pria di depannya memang Javas. Apalagi Javas memanggil namanya tadi.
Tidak ingin Javas tahu dirinya benar-benar Isvara, Isvara tersenyum lalu berkata. "Isvara siapa ya, Pak? Saya Kinan bukan Isvara."