Lucy adalah mata-mata yang tidak pernah gagal menjalankan misinya. Namun, kali ini misinya membawa dia menyamar sebagai pacar palsu miliarder muda, Evans Dawson , untuk memancing musuh keluar dari persembunyiannya.
Ketika Evans tanpa sadar menemukan petunjuk yang mengarah pada identitas asli Lucy, hubungan mereka yang semula hanya pura-pura mulai berubah menjadi sesuatu yang nyata.
Bisakah Lucy menyelesaikan misinya tanpa melibatkan perasaan, atau semuanya akan hancur saat identitasnya terbongkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Khusus
Sejak malam pesta itu, hubungan antara Evans dan Lucy mulai berubah. Evans, yang biasanya dingin dan fokus pada pekerjaan, kini memperlihatkan sisi dirinya yang berbeda. Ia mulai memberikan perhatian lebih kepada Lucy, sering kali memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan.
Lucy awalnya merasa bingung dengan perubahan ini. Ia tahu bahwa tugasnya hanyalah berperan sebagai kekasih palsu dan menjalankan misi rahasia. Tetapi perhatian Evans yang semakin nyata membuat segalanya menjadi lebih rumit. Ia harus menjaga batas profesionalisme, sementara perasaan hangat yang tak terduga mulai menyelinap ke dalam hatinya.
Di kantor, perubahan itu mulai terasa sejak pagi. Ketika Lucy tiba di meja kerjanya, ia menemukan bahwa mejanya telah diatur ulang. Kursinya diganti dengan yang lebih ergonomis dan nyaman, dan ada bunga mawar putih dalam vas kecil di sudut meja. Tidak hanya itu, komputer kerjanya juga diganti dengan model terbaru, lengkap dengan monitor layar lebar.
Lucy memandang semua ini dengan alis terangkat. Ia tahu bahwa ini bukan kebetulan. Ketika ia memeriksa jadwal hari itu, email dari Evans muncul, meminta Lucy untuk datang ke ruangannya untuk mendiskusikan proyek baru.
Saat memasuki ruang CEO, Evans sedang duduk di balik meja besar dengan pemandangan kota di belakangnya. Ia menatap Lucy dengan senyum yang tidak biasa.
"Bagaimana dengan meja baru di ruanganmu?" tanyanya santai.
Lucy menatapnya, mencoba membaca niat di balik tindakan itu. "Sangat bagus, Tuan Dawson. Tapi apakah ini semua benar-benar diperlukan?"
Evans menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak puas dengan jawabannya. "Kau adalah sekretarisku. Aku hanya memastikan bahwa kau memiliki semua yang kau butuhkan untuk bekerja dengan nyaman. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?"
Lucy mencoba tersenyum, meskipun ia merasa bingung. "Tentu saja, jika itu yang Anda inginkan."
Perhatian Evans tidak hanya berhenti di meja kerja. Beberapa hari kemudian, ketika Lucy sedang sibuk dengan dokumen di mejanya, seorang pelayan tiba dengan membawa nampan makanan yang sangat mewah. Pelayan itu meletakkan nampan di meja Lucy dan berkata, "Ini dari Tuan Dawson. Dia meminta Anda untuk makan siang ini karena Anda terlihat sibuk dan mungkin lupa makan."
Lucy menatap makanan itu, steak premium dengan salad segar dan jus buah, kemudian menghela napas. Ia berjalan menuju ruang Evans, mengetuk pintu, dan masuk.
"Tuan Dawson," katanya dengan nada formal. "Apakah makan siang itu benar-benar diperlukan?"
Evans mendongak dari komputernya, tersenyum kecil. "Tentu saja. Aku tidak ingin sekretarisku kelaparan saat bekerja keras untuk perusahaan."
"Terima kasih, tapi saya bisa mengurus makan siang saya sendiri," jawab Lucy sambil mencoba menjaga nada netral.
Evans menatapnya sejenak sebelum berbicara. "Lucy, aku hanya ingin memastikan kau sehat dan bahagia di sini. Kalau ada yang kurang, kau bisa memberitahuku."
Lucy hanya bisa mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Ia merasa terguncang. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Dalam beberapa minggu berikutnya, perhatian Evans semakin nyata. Ia mulai memperhatikan detail kecil tentang Lucy, apa yang ia suka makan, bagaimana ia menyukai kopi paginya, bahkan preferensi musiknya saat bekerja. Evans bahkan mengatur agar Lucy mendapatkan akses ke ruang istirahat eksklusif di lantai atas kantor, tempat biasanya hanya para eksekutif yang diizinkan masuk.
Brandon, yang sering berada di sekitar Evans, mulai menyadari perubahan ini dan tak bisa menahan diri untuk berkomentar.
"Tn. Dawson, apa yang sedang kau lakukan dengan Lucy?" tanyanya suatu hari saat mereka sedang makan siang di luar. "Aku belum pernah melihatmu memperlakukan seseorang seperti itu."
Evans hanya mengangkat bahu dengan senyum tipis. "Dia berbeda, Brandon. Dia tidak seperti orang lain di sini."
Brandon menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Kau menyukainya?"
Evans terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak tahu, Brandon. Tapi ada sesuatu tentang Lucy yang membuatku ingin melindunginya."
Sementara itu, Lucy mulai merasa canggung dengan perhatian Evans. Setiap kali ia memasuki ruangan Evans, pria itu selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan pertanyaan tentang hari-harinya. Bahkan di luar kantor, Evans sesekali mengirimkan pesan singkat, menanyakan apakah ia sudah makan malam atau bagaimana kabarnya.
Lucy mencoba menepis perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ia tahu bahwa hubungan mereka hanyalah sandiwara, dan ia tidak boleh melibatkan perasaan dalam misinya. Tetapi setiap kali Evans menunjukkan perhatiannya, ia merasa hatinya mulai goyah.
"Ini hanya misi," Lucy mengingatkan dirinya sendiri setiap malam sebelum tidur. "Tidak boleh lebih dari itu."
Suatu hari, ketika Lucy sedang bekerja larut malam di kantor, Evans masuk ke ruangannya dengan dua cangkir kopi.
"Aku melihat lampu di mejamu masih menyala," katanya sambil meletakkan salah satu cangkir di depan Lucy. "Kau bekerja terlalu keras."
Lucy mengangkat alis, tersenyum kecil. "Ini bagian dari pekerjaan saya, Tuan Dawson."
Evans duduk di kursi di seberang mejanya, menatapnya dengan serius. "Lucy, kau tidak perlu memanggilku 'Tuan Dawson' ketika kita sedang berdua. Panggil saja Evans."
Lucy merasa jantungnya berdebar. "Baiklah... Evans."
Nama itu terasa aneh di bibirnya, tetapi juga terasa akrab. Mereka berbicara selama beberapa menit, membahas topik ringan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Itu adalah momen langka di mana Lucy melihat sisi manusia dari Evans, bukan sebagai CEO yang dingin, tetapi sebagai pria yang tulus.
Setelah malam itu, Lucy mulai melihat Evans dari sudut pandang yang berbeda. Ia masih berusaha menjaga jarak, tetapi tidak bisa mengabaikan perhatian dan ketulusan yang ditunjukkan Evans. Di sisi lain, Evans semakin yakin dengan perasaannya terhadap Lucy. Ia tidak tahu bagaimana atau kapan itu terjadi, tetapi ia tahu satu hal: Lucy telah menjadi lebih dari sekadar sekretaris atau kekasih pura-puranya.
Namun, dengan misi Lucy yang masih berlangsung dan rahasia besar yang ia sembunyikan, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Sementara Evans ingin mendekat, Lucy tahu bahwa ia harus menjaga jarak.