Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tukang Fotokopi
Azmi sudah siap dengan kemeja warna putih dan celana kain berwarna hitam yang senada dengan hijabnya. Ia belum bisa mengenakan seragam karena tidak ada seragam yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.
Dengan membaca Basmalah, Azmi melajukan motornya untuk berangkat bekerja. Hari pertamanya bekerja, ia akan memberikan kesan terbaik. Sampai di tempat kerja, Azmi bertemu Serli yang memberikannya nametag sekaligus pekerjaan pertamanya berupa tumpukan buku tamu yang harus ia input kedalam komputer.
“Tidak ada deadline kan mbak?” Tanya Azmi.
“Tidak ada, hanya saja sebelum akhir tanggal 29 bulan ini harus sudah selesai untuk laporan akhir bulan.”
“Sama saja deadline namanya!” Batin Azmi.
“Setiap akhir bulan kamu akan menyusun laporan laporan dari buku ini dan total pengeluaran juga pemasukan stasionery.” Azmi mengangguk.
“Sementara kamu pakai absen manual dengan ini. Nanti setelah aku masukkan ke mesin absen, baru kamu bisa absen otomatis.” Serli memberikan lembaran absen untuk Azmi.
Setelah itu Serli meninggalkan Azmi dan menuju ruangannya sendiri. Azmi menuju mejanya dan menyalakan komputer yang ada disana. Segera Azmi membuka Excel untuk membuat tabel data.
“Tok.. Tok.. Tok..”
Azmi mendongak melihat siapa yang mengetuk mejanya.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?”
“Tolong fotokopi kan ini!”
“Berapa copy?” Tanya Azmy sembari menghitung jumlah kertas dalam dokumen tersebut.
“Masing-masing-masing 5 copy. Khusus yang ini 10 copy.”
“Baik, Pak. Tunggu sebentar.” Azmi masuk kedalam dan memfotokopi seperti yang diajarkan Serli kemarin.
Selesai dengan fotokopi, Azmi menyetaples kertas sesuai dengan aslinya. Baru setelah itu kembali dan menyerahkannya kepada orang yang menunggunya.
“Silahkan, Pak.”
“Oke. Terima kasih.” Ucap Bapak tersebut setelah memastikan total yang diinginkannya.
“Sama-sama.” Azmi memasang senyum profesionalnya.
Kembali Azmy berkutat dengan komputernya. Seberapa cepat ia bisa mengetik, tetap tidak bisa menyelesaikannya hari ini. Karena ia tidak hanya fokus di komputer melainkan menjadi tukang fotokopi yang bolak-balik dan keluar-masuk gudang stasionery.
Jam makan siang tiba, Azmi menerima pengiriman makanan dan mendistribusikannya makanan bersama OB yang bertugas. Setelah selesai barulah ia melaksanakan sholat dzuhur dan makan di mejanya.
“Apa makanan catering seperti ini?” Batin Azmi.
Ia yang terbiasa membeli makanan, merasakan makanan catering yang ia makan saat ini tidak bisa dideskripsikan. Sayur yang mirip dengan sayur asem, tetapi isi sayurnya lebih mirip dengan sayur sop, seperti sawi putih, wortel dan jipang. Bakwan jagung yang tidak terasa jagungnya, sambal yang terasa asam dan ayam bumbu merah yang hanya dominan asin. Satu-satunya motivasi yang membuat Azmi menghabiskan makanannya adalah untuk mengisi tenaga dan rasa syukur, lagipula ia akan terbiasa nantinya.
Selesai makan, Azmi melanjutkan pekerjaannya di komputer. Beruntung sampai sore tidak ada yang meminta bantuannya atau tamu berkunjung, sehingga Azmi bisa menyelesaikan dua buku tamu. Masih ada 3 buku tamu dan 1 file yang perlu ia input. Ia pulang setelah membereskan meja dan menulis jam pulangnya di kertas absen.
Di jalan pulang, Azmi mampir ke sebuah warung rawon untuk membeli lauk makan malam karena nasi yang ia masak tadi pagi masih. Sampai dirumah, ternyata kedua orang tua dan adiknya sudah pulang.
“Ibu sudah pulang? Bukankah hari ini masih ada acara?” Tanya Azmi seraya mencium punggung tangan sang ibu.
“Iya, tapi sudah selesai habis dzuhur tadi. Jadi kami kembali setelahnya.”
“Aku hanya membeli rawon satu porsi, Bu. Apa aku balik lagi saja?”
“Ibu sudah beli makan juga. Adikmu minta bebek goreng tadi. Kamu cepat mandi sana!”
“Iya, Bu. Aku belum asar!” Segera Azmi berlari ke kamarnya dan mengambil handuk juga pakaian ganti.
Azmi keluar kamar setelah selesai melaksanakan sholat. Ayah dan Ibunya sedang menonton TV bersama adiknya yang sedang menonton drama di laptop.
“Sebentar lagi, maghrib. Kenapa sampai tidak bisa sholat?” Tanya Ayah Azmi.
“Azmi terlalu fokus dengan pekerjaan tadi, Yah.”
“Lain kali dahulukan kewajiban!”
“Iya, Yah.”
“Kenapa kamu tidak masuk di perusahaan tempat Ayah kerja dulu saja, daripada jadi resepsionis di subcon.”
“Tidak ada lowongan, Yah. Kalau ada aku sudah mendaftar kesana.”
“Bukannya kemarin baru saja membuka lowongan?”
“Iya, tetapi bagian Enviro yang dibutuhkan laki-laki.” Ayah Azmi menganggukkan kepala.
Ayah Azmi adalah pensiunan dari perusahaan pemilik lahan, sementara Azmi bekerja di subcontractor.
Saat adzan maghrib berkumandang, segera Ayah Azmi bersiap pergi ke masjid. Sementara Ibu, Azmi dan adiknya mengerjakan sholat di kamar masing-masing.
...****************...
Keesokan harinya, Azmi kembali menekuni aktivitasnya sebagai resepsionis, tukang fotokopi dan penyedia atk. Tetapi ada yang berbeda hari ini. Ada tamu yang datang di perusahaannya dan ia harus menjamu tamu tersebut.
“Silahkan diminum, Pak.” Azmi menyodorkan air mineral.
“Kamu anak baru?”
“Iya, Pak. Baru 2 hari.”
Azmi sudah ingin melarikan diri, tetapi orang tersebut seperti menahannya dengan melontarkan pertanyaan.
“D3 Akuntansi, Pak.”
“Sayang sekali hanya menjadi resepsionis. Lebih baik kamu kuat saya untuk menjadi admin dibagian accounting.”
“Terima kasih, Pak.”
“Saya serius. Rata-rata admin ditempat saya hanya lulusan SMA. Kalau kamu bergabung, tentu menambah wawasan mereka karena kamu lulusan akuntansi.”
“Jangan dengarkan dia! Kamu boleh kembali.” Kata Manajer HR yang Azmi ketahui bernama Pak Steven.
Azmi mengangguk dan mengundurkan diri, kembali ke mejanya. Pekerjaannya masih menunggu disana. Sekitar setengah jam kemudian, ada orang datang yang meminta seragam baru.
“Maaf, Pak. Untuk permintaan seragam, Bapak bisa mengajukannya ke bagian SHE dulu. Saya tidak bisa mengeluarkannya tanpa ada surat dari SHE.”
“Bagaimana mungkin tidak bisa? Biasanya saya mintanya kemari!”
“Iya, Pak. Permintaan seragam memang disini, tetapi harus ada surat keterangan dari SHE.”
“Dasar anak baru! Kamu tidak tahu aku ini siapa?”
“Maaf, Pak.” Azmi menundukkan kepalanya.
Dalam hati ia mengomel. Sudah tahu dirinya adalah orang baru, masih ditanya siapa. Kalau bisa menjawab, Azmi tentu akan menjawab tidak tahu.
“Eh, Pak Randi!” Seru Serli yang kebetulan baru kembali dari luar.
“Ser, ini anak buah kamu diajari yang benar!”
“Kenapa, Pak?”
“Masak saya minta seragam baru tidak dikasih, malah disuruh ke SHE dulu meminta surat keterangan!”
“Oh! Iya, Pak. Benar yang dikatakan Azmi, sekarang prosedurnya seperti itu. Bapak bisa kembali kemari kalau sudah mendapatkan surat keterangan dari SHE.” Azmi menghembuskan nafas lega mendengarnya.
Pak Randi dengan kesal meninggalkan lobi. Serli melihatnya dengan tatapan jijik.
“Gara-gara orang seperti kalian lah pekerjaanku menjadi banyak!” Gumam Serli yang bisa didengar Azmi.
“Aku tidak membantumu! Lain kali hadapi sendiri.” Kesal Serli yang pergi begitu saja.
Azmi mengedipkan matanya tak percaya.
“Kenapa sikapnya bisa berubah 180 derajat seperti itu?”