Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Apakah Gerangan?
(Mungkin memang sudah saatnya Kak Zidan mengenal wanita lain untuk jenjang yang lebih serius. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika itu sudah menjadi kehendak Allah, aku tidak bisa menghalanginya. Kehidupan kita sudah masing-masing. Akupun telah bersama dengan Mas Fahmi. Dan tidak akan pernah bersatu bersama Kak Zidan. Semoga kamu bisa mendapatkan jodoh yang terbaik ya, Kak Zid)
Batin Ayana ketika dirinya sedang beristirahat menyandarkan bahunya disandaran ranjang.
Hatinya gelisah, pikirannya berkecamuk.
(Aduh, sudah sih ini kenapa pikiranku jadi kemana-mana. Kak Zidan adalah masa laluku, saatnya aku fokus dengan kehidupanku bersama dengan Mas Fahmi. Pokoknya aku harus fokus untuk memiliki momongan. Titik tidak pakai koma.)
Ayana mengacak-acak wajahnya dengan kedua tangannya.
Ia bergegas bersih-bersih karena tidak lama lagi Fahmi akan pulang ke rumah.
Sepanjang harinya, kini begitu lelah dengan rutinitasnya menjadi pengajar sekaligus pengasuh untuk santriwati di Pesantren.
Berangkat pagi, pulang sore hari. Bahkan, jika sedang banyak pekerjaan, ia pasti akan lembur dan pulang hingga malam lari.
Sebenarnya, Zidan dan Ayana memang harus tinggal di Pesantren. Karena, pengajaran selama di Pondok Pesantren tidak hanya dari pagi sampai sore saja. Namun, untuk saat ini. Metode pengajaran telah diterapkan oleh Zidan hanya dari pagi sampai sore saja.
Akan berlaku malam hari, ketika nanti Zidan sudah membangun rumah di area Pesantren. Serta sudah banyak para pengajar yang bersedia tinggal dilingkungan Pesantren.
Jadi, saat ini para Santri dan Santriwati, ketika malam hari diberikan waktu longgar untuk mengaji dan beristirahat.
"Assalamu'alaikum, sayang. Kamu sedang apa?" Sapa Fahmi masuk kedalam kamar.
Namun, Fahmi tidak mendapati adanya Ayana didalam kamarnya.
Ayana ternyata masih asyik didalam kamar mandi.
"Sayang? Kamu dimana?" Panggil Fahmi kembali.
Samar-samar Ayana mendengar suara Fahmi.
Ia pun membuka pintu dan mengeluarkan kepalanya sedikit. Ternyata memang benar itu adalah suara Fahmi.
"Iya, Mas. Aku sedang mandi." Ucap Ayana kepada Fahmi. Ia pun melanjutkan untuk kembali membersihkan tubuhnya.
Fahmi meletakkan semua barang-barang yang ia bawa.
Ia segera menyusul Ayana masuk kedalam kamar mandi.
Ceklek!
"Mas?"
"Aku juga ingin mandi, Dek. Kita mandi bersama ya!"
***
"Selamat pagi, Bu." Sapa Fahmi kepada Bu Fatimah.
Fahmi menuruni anak tangga dan menyapa sang Ibu yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan dibantu oleh Ayana.
Ayana rupanya sudah turun lebih awal, ia sudah begitu rapih karena pagi ini Ayana akan memeriksakan kesehatan ke dokter.
"Selamat pagi, jagoanku! Hari ini, kamu sedang libur bertugas ya?" Tanya Bu Fatimah kepada Fahmi.
Fahmi segera duduk di meja makan. Namun, pandangannya mengedar ketika hanya mendapati sang Ibu dan Isterinya saja.
"Iya, Bu. Hari ini aku dan Ayana akan pergi ke dokter untuk memeriksa kesehatan kita. Lalu, setelah itu, kami akan pergi jalan-jalan. Kemungkinan, kita akan pulang lebih larut ya, Bu. Ibu tidak apa-apa kan jika kami tinggal?" Fahmi tampak sedang menikmati secangkir kopi yang telah disiapkan oleh Ayana.
Bu Fatimah dan Ayana segera duduk di meja makan.
"Oh begitu, tidak apa, Fahmi. Ibu sudah biasa kok ditinggal-tinggal." Jawab Bu Fatimah.
Pandangan Fahmi kembali mengedar, ia seperti sedang mencari seseorang.
"Bu, Kak Zidan kemana? Mengapa sudah waktunya sarapan dia tidak segera turun dan sarapan bersama?" Fahmi ternyata sedang mencari-cari dimana keberadaan Zidan.
Bu Fatimah sedang menghisap lembut secangkir teh hangat yang ada dalam genggamannya.
"Zidan sudah berangkat!" Jawab Bu Fatimah.
"Lho, pagi-pagi sekali? Tumben!" Fahmi yang sedang menggigit sepotong roti berisikan selai cokelat sedikit terkejut.
Ayana tidak kalah terkejutnya, ketika mengetahui Zidan sudah lebih pagi pergi meninggalkan rumah.
(Pagi-pagi sekali Kak Zidan sudah berangkat? Seantusias itu dia ingin bertemu dengan Difa? Atau memang ia sengaja menghindar dariku? Ah, sudahlah. Bukan urusanku, mungkin memang ia sedang ada kepentingan!)
Batin Ayana dalam hati, ketika ia mengetahui bahwa Zidan sudah berangkat lebih awal.
"Ibu juga tidak tahu, Fahmi. Dia hanya masuk ke kamar Ibu ketika Ibu baru saja selesai sholat subuh. Dia berpamitan, lalu langsung pergi. Ibu tanya mengapa berangkat pagi-pagi. Eh, belum sempat dijawab, dia sudah hilang!" Jelas Bu Fatimah.
Fahmi mengangguk tanda mengerti, Ayanapun hanya sanggup menyimaknya.
"Oh, mungkin sedang ada urusan." Sahut Fahmi.
"Iya, kemungkinan iya. Oh iya, Fahmi, Ayana. Ibu besok akan menginap selama beberapa hari di rumah Nabila. Karena, Ibu sudah lama sekali tidak berkunjung ke rumah Nabila dan bermain-main dengan Nadin. Ibu rindu sekali dengan Nadin. Tidak apa-apa kan? Jika Ibu tinggal selama beberapa hari saja?" Bu Fatimah memberikan informasi bahwa ia akan menginap di rumah anak perempuannya.
Fahmi dan Ayana saling berpandangan.
"Tidak apa-apa dong, Bu. Kak Nabila juga kan anak Ibu." Sahut Fahmi.
"Ibu, jangan lupa bawa obatnya ya. Jangan sampai tidak diminum. Ibu harus jaga kesehatan juga." Pesan Ayana kepada Bu Fatimah.
Bu Fatimah tersenyum ketika mendapatkan perhatian dari Ayana.
"Pasti itu, sayang. Terima kasih ya, sudah perhatian dengan Ibu." Bu Fatimah mengusap lembut tangan Ayana.
Ayana melemparkan senyuman manisnya kepada Bu Fatimah.
"Sayang, apakah kamu sudah izin kepada Kak Zidan? Bahwa hari ini kamu off?" Tanya Fahmi kepada Ayana.
Ayana yang sedang menyendokan nasi goreng kedalam mulutnya, segera mengangguk tanda mengiyakan.
"Sudah, Mas. Kemarin aku sudah izin kepada Kak Zidan." Jawab Ayana.
"Baiklah kalau begitu, setidaknya Kak Zidan sudah tahu kalau hari ini kamu tidak bisa pergi mengajar dulu." Sahut Fahmi.
"Iya, Mas."
***
"Assalamu'alaikum, selamat pagi, Kyai." Sapa Difa ketika ia mengetahui jika Zidan sudah datang lebih awal.
Zidan pun menoleh kearah Difa dan disambut dengan senyuman manis dari Difa.
Pagi ini, Difa mengenakan pakaian syar'inya berwarna cokelat tua senada dengan khimarnya.
Zidan yang sedang berdiri di depan Pesantrennya tampak terlihat tampan dengan balutan kemeja berwarna cokelat muda dan kain sarungnya berwarna cokelat tua berikut dengan peci janggangnya, karena ia berencana ingin membangun rumah pribadinya di area Pesantren.
Cukup senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Difa pagi ini.
Ia merasa, tidak pantas jika harus tinggal satu rumah bersama dengan Ayana. Karena biar bagaimanapun, Ayana bukan mahromnya. Tidak baik jika satu rumah dengan adik iparnya.
Takut terjadi fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan.
"Wa'alaikumsalam, selamat pagi juga, Difa. Pagi sekali kamu sudah datang? Sedangkan yang lain belum datang." Zidan menjawab sapaan dari Difa.
Difa pun tersipu malu dengan menundukkan wajahnya.
"Hehehe.. Iya, Kyai. Hari ini adalah hari pertama Difa mulai mengajar. Jadi, Difa merasa antusias sekali atas kepercayaan ini." Jawab Difa dengan penuh semangat.
Zidan pun tersenyum.
"Bagus, Difa. Lanjutkan semangatmu! Semoga hari-harimu selalu menyenangkan, ya!" Zidan tidak luput memberikan semangat kepada Difa, karyawan barunya.
Difa mengedarkan pandangannya.
"Aamiiin, syukron, Kyai. Oh iya, Umi Ayana apakah sudah datang juga?" Tanya Difa kembali.
Zidan yang semula wajahnya berseri, mendengar Difa menyebut Ayana, wajahnya sedikit mengendur.
"Hari ini dia tidak masuk, ada urusan! Jadi, saya harapkan kamu hari ini bisa menghandle semuanya. Tolong bantuannya ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Difa, Zidan sudah pergi meninggalkan Difa.
Zidan berjalan menyusuri area Pesantren, ia terlihat sedang memeriksa sesuatu.
Difa kemudian masuk kedalam ruangannya, ia tidak ingin berlama-lama menjadi patung berdiri diluar saja.
Segera ia menyiapkan laptop dan barang-barang yang menunjang untuk bekerja.
Para santri dan santriwati belum dimulai untuk mengajar, karena bel jam belajar belum dinyalakan oleh Kamal.
Kamal yang bertugas mengatur segala aktifitas sehari-hari.
Ting!
Ponsel Difa yang baru saja ia letakkan diatas meja, tiba-tiba berdering tanda ada pesan masuk.
(Difa, apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan? Kalau sudah, ketika kamu nanti sudah mendapatkan gaji. Tolong segera kirimkan uang untuk Ibu ya. Untuk membayar listrik bulan depan. Bulan ini terpaksa Ibu harus meminjam kepada tetangga. Dito sama sekali tidak memberikan sepeser uang pun untuk Ibu. Maaf ya, Nak. Jika Ibu sudah mengganggu waktumu pagi-pagi. Sehat selalu, sayang. Assalamu'alaikum)
Sebuah pesan dari Ibu Difa. Ia bernama Dahlia.
"Wa'alaikumsalam, Bu." Ucap lirih Difa dengan wajah gelisah dan kebingungan.
Dahlia adalah janda beranak dua.
Anak pertama bernama Dito sedangkan anak keduanya bernama Difa.
Ia hidup menjada sudah kurang lebih selama lima tahun setelah suaminya meninggal dunia.
Semenjak suaminya meninggal, ekonomi keluarga Difa menjadi kurang baik. Dahlia harus membanting tulang demi menyekolahkan Dito dan Difa.
Namun, Dito kini lupa akan perjuangan Dahlia.
Dito yang sudah bekerja di Kota besar, jarang sekali memberikan uang kepada Dahlia. Sehingga Dahlia harus tetap membanting tulang untuk kebutuhan sehari-hari.
Besar harapannya kepada Difa. Semoga Difa kelak dapat membahagiakannya dan bisa merubah ekonominya agar kembali membaik.
Nampaknya, raut wajah kegelisahan Difa terpantau oleh Zidan yang sudah berdiri sedari tadi didepan pintu ruangan Difa.
"Apakah kamu sudah sarapan? Jika belum, mari kita sarapan bersama."