Benar kata peribahasa.
Kasih Sayang Ibu Sepanjang Masa, Kasih Sayang Anak Sepanjang Galah. Itu lah yang terjadi pada Bu Arum, Ibu dari tiga orang anak. Setelah kematian suami, ketiga anaknya malah tidak ada yang bersedia membawa Bu Arum untuk tinggal bersama mereka padahal kehidupan ketiganya lebih dari mampu untuk merawat Ibu mereka.
Sampai akhirnya Bu Arum dipertemukan kembali dengan pria di masa lalu, di masa-masa remaja dulu. Cinta bersemi meski di usia lanjut, apa Bu Arum akan menikah kembali di usianya yang sudah tak lagi muda saat ia begitu dicintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Temen Lama.
Di salah satu perumahan elit di kota, pelayan membawa koper-koper keluar dari rumah. Selama beberapa bulan ke belakang, perusahan suami Yasmin mengalami krisis karena kegagalan dalam bisnis dan akhirnya Yasmin harus merelakan aset-aset dijual untuk menutupi kerugian.
Yasmin memandang rumah besar nan elit yang sudah ia tinggali selama 6 tahun ini sejak ia diboyong suaminya setelah menikah. Dengan tatapan nanar dan tak rela, Yasmin enggan pergi dari rumah yang akan dijual.
"Sudahlah, Mah. Nanti Papa beliin lagi yang lebih besar dari ini, bisnis baru Papa mudah-mudahan lancar. Sekarang yang lebih penting menyelamatkan perusahaan Papa dulu, ayo masuk mobil." Ujar suami Yasmin, Bang Halim.
Yasmin mengangguk pasrah, ia menghapus air matanya. "Semoga bisnis Papa kembali lancar, ya."
Wanita dengan paras cantik itu pun masuk ke dalam mobil, di dalam mobil sudah ada anaknya berusia 5 tahun bersama baby sitter. Ia mengelus kepala putrinya, tiba-tiba ia teringat pada Ibunya.
Di dalam perjalanan, Yasmin ingin membuka blokiran pada sang ibu. Beberapa bulan ini suaminya selalu menekankan Yasmin agar bisa berhemat atau nanti mereka malah hidup miskin. Bahkan sejak menikah, Yasmin mempunyai 2 mobil, sekarang setelah krisis pada perusahaan hanya tinggal satu mobil yang tersisa.
"Kamu masih harus berhemat ya, Mah. Soalnya kerjasama baru Papa entah kapan bisa goal dan menghasilkan keuntungan lagi."
Baru saja Yasmin ingin membuka blokiran, seketika ia urungkan saat Halim bicara. Ia tak ingin membebani suaminya dengan sering-sering memberikan uang pada sang Ibu. Yasmin pikir masih ada kedua adiknya yang memberi uang pada ibunya, jadi hatinya sedikit merasa tenang meskipun beberapa bulan ia tak mengirimkan uang.
"Jalan, Pak." Ucap Yasmin pada supir, Yasmin menghela nafas pelan. Sungguh, bukannya ia tega pada sang Ibu namun ia harus selalu menuruti titah suaminya.
.
.
.
Di kampung, Ahmad menelepon kakak perempuannya dan juga adiknya. Namun telepon darinya tak diangkat, Ahmad memutuskan akan mencari sang ibu ke kota adiknya.
"Bik, saya pergi menyusul Ibu ya. Bibik simpan nomer saya, nanti kalau ada kabar dari Bandi... saya mohon kabari saya."
"Ya Allah, Ahmad. Semoga Allah melindungi Ibumu dimana pun Teh Arum berada."
"Aamiin, Bik. Saya pergi, titip rumah Ibu ya. Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam."
Tak menunggu lama, Ahmad memesan tiket kereta kelas ekonomi sebab semua harta telah dirampas oleh istrinya dan ia hanya mempunyai uang sedikit di dompetnya. Ahmad dan istrinya sedang dalam masa sidang perceraian. Ahmad hanya ingin mempertahankan hak asuh anak, karena sudah terbukti setelah berselingkuh istrinya sering menelantarkan anaknya. Untuk sekarang, Ahmad tak bisa membawa anaknya karena mertua Ahmad melarang.
.
.
.
Bu Arum membuka matanya perlahan, ia memegang kepala yang terasa berat. Tadi ia merasa kepalanya berputar saat menunggu Bendi membeli minum untuknya, sayangnya kegelapan menelan kesadaran Bu Arum.
"Alhamdulillah... kamu sadar juga, Rum." Suara bariton itu terdengar familiar di telinga Bu Arum.
Kenapa aku merasa mengenal suara lelaki ini, setelah berpuluh-puluh tahun... meksipun suaranya semakin terdengar berat?
Bu Arum membuka matanya semakin lebar, seketika ia membulatkan mata karena mengenali pria yang duduk di samping ranjang yang ia tiduri.
"Agam?"
Pak Agam adalah teman sekaligus laki-laki yang pernah dekat dengan Bu Arum saat keduanya di bangku SMP, di desa di zaman Bu Arum hidup 35 tahun lalu masih belum ada sekolah SMA. Maka setelah lulus SMP, Pak Agam dibawa ke kota oleh keluarga laki-laki itu dan putus komunikasi dengan Bu Arum disaat usia mereka 15 tahun.
"Ini benar aku, Agam. Apa kabar kamu, Rum?Kita nggak ketemu udah 35 tahun kalau nggak salah..." lelaki dengan rambut berwarna keperakan bercampur putih itu tersenyum manis masih seperti dulu.
Bu Arum membalas senyum Pak Agam dengan sama ramahnya, sejak dulu lelaki itu memang terkenal dengan keramahannya.
"Masya Allah, Gam. Eh maaf, Pak Agam. Alhamdulillah saya baik, tapi kenapa saya disini? Dimana ini?"
"Di rumah saya, kamu pingsan di stasiun. Kebetulan, saya sedang mengantar rekan bisnis saya. Mereka memakai kereta agar tak terjebak macet menuju Surabaya. Mereka sudah tua, sama seperti kita... jadi butuh perjalanan yang nyaman. Saya memesankan tiket kelas Compartment Suites untuk mereka."
Bu Arum bengong sebab kurang mengerti perihal tiket kereta api, sebab ia datang ke kota menaiki kereta api pun baru kali itu.
"Oh, maaf. Saya malah ngelantur... " Agam terkekeh.
"Ini dimana, Pak?"
"Di rumah saya, tadi saat kamu pingsan saya langsung bawa kamu pulang. Kata Dokter pribadi saya, kamu kecapean dan darahmu rendah."
"Makasih udah nolong ya, Pak."
"Duh, nggak enak dipanggil Pak. Padahal dulu selain saling panggil nama, kita sering ledek-ledekan. Kamu panggil saya Kerdil karena saya pendek... saya manggil kamu cungkring karena kamu kurus kering. Ahaha..." Pak Agam tergelak.
Bu Arum ikut terkekeh, dia baru saja ingin membalas Pak Agam saat seorang gadis melenggang masuk dengan berjalan persis seperti seorang laki-laki alias berperilaku tomboy.
"Ayah! Udah bangun tamu nya?"
Pak Agam menghentikan tawanya, dia melambaikan tangan pada putrinya. "Sini, Nak. Kenalin... Ibu ini__"
"Teman lama Ayah, kan? Yang tinggal di kampung itu, yang Ayah pernah ceritain... kalau kalian berdua pernah jatuh ke sawah karena dikejar anjeeeng!"
Pak Agam semakin mengeraskan tawanya, dia menyentil kening sang putri. "Nggak sopan, langsung ngomong gitu! Salaman dulu... namanya Bu Arum."
Gadis bernama Kaizy Maheswari itu menarik tangan kanan Bu Arum lalu mencium punggung tangan Bu Arum dengan takzim. Meski tomboy, namun Kaizy sangat menjunjung tinggi tata krama yang selalu diajarkan sang Ayah sejak ia kecil.
"Nama saya Kaizy, Bu. Panggil Izy aja... biar lebih gaul."
"Hmmffff!" Bu Arum tak sengaja tertawa, Izy sangat berbeda dengan ketiga anaknya yang bersifat terlalu serius. Tak seperti Izy yang sepertinya humble, ramah serta ekspresif namun gadis itu penuh ketegasan.
"Kalau mau ketawa, yang keras Bu. Nggak ada yang larang, asal jangan tertawa sendirian... nanti dikira orang gila." Ujar Izy membuat Bu Arum melebarkan senyum.
"Cantik, anak baik. Berapa usia kamu, Nak?"
"40 tahun, 20 tahun lagi..."
Plak!
Pak Agam gemas dengan kejahilan sang putri, dia menggeplaakk lengan anaknya. "Sana! Katanya mau main basket!"
"Yoi, Bro!"
"Husss!" Pak Agam melotot, namun ia juga bercanda pada putrinya itu.
"Ohya, Bu. Jangan kemana-mana ya, saya senang ada teman Ayah di rumah ini. Kasihan, Ayah juga kesepian setelah Mama pergi. Izy juga sering berdoa... Ya Allah, datangkan perempuan baik hati buat gantiin Mama Ya Allah. Eh, sekarang beneran dateng. Moga berjodoh ya, kalian berdua. Izy mau bikin tumpeng buat selametan nanti!" jahil lagi gadis itu.
"IZY....!!!" Pak Agam bangkit dari kursi, mengejar putrinya yang ternyata sudah lari terbirit-birit keluar kamar setelah mengerjai sang Ayah.
Bu Arum menutup mulutnya untuk menahan tawa agar tak terbahak-bahak melihat kelakuan absurd dari ayah dan anak itu.
Tiba-tiba seorang wanita cantik berusia sekitar 35 tahun masuk ke dalam kamar, mata wanita itu mendelik tak suka menatap pada Bu Arum.