dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hati yang gelisah
Di teras sekolah, Naila memandang sahabatnya, Alya, yang sedari tadi mondar-mandir tanpa henti. Kegelisahan terlihat jelas di wajah Alya. Ia tampak seperti orang yang kehilangan arah.
Rasa khawatir mulai menyelimuti hati Naila, membuatnya berani untuk menghampiri Alya.
"Al... Ada apa, Al? Cerita dong, jangan panik sendiri. Aku di sini buat kamu. Ayo, cerita," ucap Naila lembut, mencoba menenangkan sahabatnya.
Ia meraih tangan Alya, menariknya ke bangku panjang yang terletak di sudut teras. Namun, Alya tetap diam. Suaranya terbata-bata ketika akhirnya menjawab, "Nggak... Nggak ada apa-apa, Nai." Sebuah senyum getir menghiasi wajahnya, namun jelas sekali senyum itu hanyalah upaya menutupi kegugupannya.
Naila menghela napas, tahu bahwa Alya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, sebelum ia sempat mendesak lebih jauh, bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang telah tiba.
Alya bangkit dari tempat duduknya, meraih tas dan kitab-kitabnya. "Ayo kita pulang!" katanya dengan nada datar.
Naila terpaku. Perubahan sikap Alya yang tiba-tiba membuatnya bingung. Dari yang tadinya gelisah, kini Alya tampak seperti tidak terjadi apa-apa. "Sakit kamu, Al?" tanya Naila sambil meletakkan tangan di kening Alya yang terasa sedikit hangat.
Alya menepis tangan Naila dengan lembut. "Siapa yang sakit? Yuk, pulang aja."
Naila hanya bisa mengikuti langkah Alya dengan segudang pertanyaan di benaknya. Ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Alya, sesuatu yang membuatnya panik dan gelisah.
Namun, seperti biasa, Alya memilih memendam semuanya sendiri. "Kapan sih kamu mau jujur, Al?" gumam Naila pelan, sambil terus berjalan di belakang sahabatnya.
* * *
Ting...
Notifikasi ponsel Alya berbunyi, memecah keheningan di kamarnya. Dengan sedikit malas, ia meraih ponselnya dan melihat layar. Pesan itu berasal dari Maryam, ibunya.
Maryam: Alya! Kamu masih ingat kan dengan kesepakatan kita?
Alya menghela napas panjang sebelum mengetik balasan singkat.
Alya: Iya, Mah... Masih ingat kok.
Balasan Maryam datang seketika, membuat hati Alya makin gelisah.
Maryam: Udah ketemu yang cocok belum? Ingat, besok udah hari ke-28 kamu nyari!!!
Alya: Iya, iya, Mah... Tapi nggak gampang, Mah. Cari calon yang benar-benar serius dan sefrekuensi itu butuh waktu.
Maryam: Pokoknya Mamah nggak mau tahu ya! Waktunya tinggal 2 hari. Ingat itu!
Pesan terakhir dari Maryam dibiarkan Alya tanpa balasan. Ia hanya memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia bertanya-tanya, bagaimana caranya menghadapi situasi yang semakin menghimpit ini?
Selama 27 hari terakhir, Alya tidak pernah benar-benar mencari calon seperti yang diinginkan ibunya.
Ia terlalu sibuk dengan belajar, beribadah, dan mencoba mengalihkan pikirannya dari beban berat ini. Tetapi sekarang, waktu hampir habis, dan Alya tahu ia tak bisa lagi menghindar.
"Ouhh tidak... Ya Allah... Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan?" serunya lirih sambil memegang kepalanya.
Alya bangkit dari tempat duduknya, mondar-mandir di dalam kamar, mencoba mencari solusi. Namun, semakin ia berpikir, semakin frustasi ia jadinya.
"Kenapa hidupku jadi seperti ini? Kenapa aku harus memilih jalan yang aku sendiri tidak yakin?" gumamnya, penuh keputusasaan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berharap setidaknya itu bisa meredakan sedikit beban di dadanya.
Dalam hati, Alya memohon kepada Allah, "Ya Allah, Engkau tahu hati dan pikiranku. Aku tak tahu harus bagaimana. Berikan aku petunjuk, ya Allah. Bantu aku melewati ujian ini..." Suaranya bergetar, hampir tak terdengar, namun air matanya jatuh, membawa beban hatinya ke dalam doa.
Dua hari lagi, dan Alya belum punya jawaban. Waktu terus berjalan, sementara ia semakin terhimpit oleh tekanan yang datang dari keluarga dan dirinya sendiri.
___
Di malam yang sunyi, Ia membuka ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mencari sesuatu di aplikasi TikTok. Pencariannya kali ini berbeda, lebih spesifik, lebih penuh beban. Ia menelusuri video-video tentang gus muda, mencoba menemukan sosok yang sesuai dengan kriteria calon imam idamannya. Namun, semakin lama ia menonton, semakin frustasi ia rasakan.
Para gus muda itu tampak sempurna, dengan penampilan yang mempesona dan kata-kata yang penuh hikmah.
Namun, di balik kegembiraannya melihat wajah-wajah tampan itu, hati Alya semakin sesak. "Apa mereka akan mau menikahiku?" pikirnya berulang kali, merasakannya seperti sebuah beban yang semakin menggerogoti hatinya.
Mengapa ia harus terjebak dalam pencarian ini? Mengapa ia harus memilih orang yang tidak pernah ia pilih dengan sepenuh hati? Pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya, semakin membuatnya bingung dan cemas.
Alya memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Namun, bayangan wajah ibunya yang penuh harapan muncul dalam ingatannya.
Ia merasa seakan-akan hidupnya diatur oleh orang lain, tanpa memberi kesempatan untuk memilih jalan yang sesuai dengan hatinya sendiri.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” keluhnya dalam hati, seraya menundukkan kepala. Rasanya, semuanya begitu gelap dan sulit.
Kenapa hidupnya harus terjerat dalam perjanjian yang tidak pernah ia inginkan? Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi harapan ibunya? Bagaimana jika ia gagal menjadi apa yang diinginkan keluarganya?
Hatinya semakin sesak, seolah ada ribuan kata yang ingin keluar, namun tak bisa diucapkan. Ia merasa cemas, takut, dan terasing dalam kehidupannya sendiri.
“Kenapa harus begini?” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Ia memandang layar ponselnya sekali lagi, mencoba menemukan secercah harapan.
......................
Alya terpejam karena lelah nya fikiran nya..... hingga dia berfikir untuk lari dari kenyataan yg melanda.
ting....
notif handphone Alya berbunyi, menandakan pesan telah masuk.
baper