Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Pukul dua siang Arman tiba di rumah bersama Salwa dan Halwa. Keadaan Salwa sudah acakan-acakan tidak karuan. Mulai dari rambut panjangnya, kepangannya telah terlepas, seragam merah putihnya yang sangat kotor.
Laila segera membersihkan tubuh Salwa, dadanya bergemuruh hebat saat melihat ada tanda merah pada dada dan lehernya. Siapa yang telah melalui anak perempuannya itu? Luka karena apa?. Selesai mandi, Salwa pun tidur di kamar. Sedangkan Halwa asyik main kertas origami.
"Ada apa, Arman? Kenapa ada tanda merah pada dada dan leher Salwa? Luka karena apa itu? Tapi kenapa Salwa tidak menangis?." Cecar Laila dengan suara pelan saat mereka di teras. Air matanya pun menetas namun segera dihapusnya.
"Bagaimana kamu bisa menjadi Ibu untuk anak-anak Salwa dan Halwa. Hal semacam itu kamu tidak tahu?." Ejek Arman entah harus pada siapa melampiaskan amarah yang sudah di ubun-ubun.
Laila menggeleng lemah. Memang dirinya bukan seorang ibu yang baik. "Kalau aku tahu tidak mungkin aku tanya sama kamu. Luka apa itu?."
Air matanya kembali jatuh, kali ini tidak dihapusnya karena air matanya sangat banyak.
Dengan wajah merah padam karena terus saja Arman menahan amarahnya. Laki-laki itu mendekati Laila, bicara tepat pada telinganya Laila.
"Salwa dilecehkan."
"Tidak!!!!."
Kemudian Laila menatap Arman dengan mata yang terus berair lalu bertanya sangat lirih. "Siapa yang melakukannya?."
"Dua anak yang kamu lihat tadi pagi." Arman segera menghapus air matanya yang menetes.
Tubuh Laila ambruk di atas teras, hatinya begitu sakit. Lebih sakit daripada kemiskinan yang menimpanya. Lebih sakit dari apapun yang pernah menyakitinya.
"Mereka telah dikeluarkan oleh pihak sekolah tapi belum bisa mendapatkan informasi apapun dari mereka karena keduanya sudah kabur lebih dulu." Arman pun duduk di sebelah Laila.
Tidak berselang lama Teh Linda datang menghampir Laila setelah menerima pesan dari keluarganya. Lalu Teh Linda berlutut di depan Laila yang menunduk. "Aku minta maaf atas perbuatan dua saudara laki-lakiku pada Salwa. Aku tidak memiliki muka lagi di depan kamu, jadi aku berhenti. Maaf aku, Laila."
Laila yang tidak tahu harus berbuat apa hanya diam saja. Tidak bicara apapun pada Teh Linda. Semakin menunduk dan terisak semakin dalam.
"Aku pamit, Laila. Semua pesanan hari ini sudah selesai. Sekali lagi aku minta maaf." Pamit Teh Linda meninggalkan rumah Laila.
Teh Yayuk pulang saat waktunya pulang, Arman pun pulang saat handphonenya terus berdering. Itu telepon dari Inggit. Lagi pula Laila membutuhkan waktu untuk berpikir, menenangkan diri.
Tiba di rumah, Arman langsung diceramahi Inggit dengan nada lembut.
"Boleh saja kamu peduli pada anak itu, tapi jangan abaikan aku di sini."
"Kamu mengurusi mereka tanpa mempedulikan aku yang ada di sini."
"Secukupnya saja kamu membantu mereka, jangan sampai mereka bergantung padamu. Karena bagaimanapun mereka bukan keluarga kamu dan tidak akan pernah menjadi keluarga kamu."
"Aku, hanya aku yang akan menjadi keluarga kamu."
Mendapatkan ceramah lembut namun sangat menusuk itu Arman hanya diam. Bukan karena apa, itu tidak ada apa-apa bila dibandingkan dengan sakitnya Laila karena keadaan putrinya.
"Kalau sudah selesai bicaranya aku mau istirahat." Pamit Arman.
Inggit mengangguk lemah, dirinya tidak perlu menahan Arman lagi. Apa yang ingin disampaikannya sudah tersampaikan dengan baik kepada laki-laki itu meski tidak mendapatkan respon. Jutsru itu lebih baik daripada nanti ujung-ujungnya ribut besar.
Sepanjang malam Laila tidak dapat tidur, air matanya tetap mengalir deras. Pikirannya terus saja pada apa yang menimpa putri pertamanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tetap melanjutkan usahanya atau berhenti?. Supaya bisa tetap fokus pada Salwa dan Halwa atau mencari pekerjaan lain yang tidak menyita waktunya?.
Tidak henti-hentinya Laila berdoa, memohon perlindungan dan pertolongan untuk keluarganya.
Hatinya sangat sakit, tidak bisa menjaga amanah yang dipercayakan Teh Nini padanya. Sungguh sangat merasa bersalah pada apa yang terjadi pada Salwa. Ini semua karena kesalahannya.
*****
"Kakak sudah bangun?."
Salwa mendatangi Ibunya yang masih terbalut mukena.
"Ibu pasti sedih karena aku." Salwa menaruh kepalanya di atas pangkuan Ibu Laila.
Laila pun mengusap kepala Salwa dengan sangat sayang.
"Untuk sementara waktu Kakak tidak sekolah."
Salwa mengangguk patuh.
"Lukman dan Sardi memegangi ini" Salwa menunjuk bibirnya sembari tersenyum.
Air mata Laila menetas, begitu teriris mendengar pengakuan polos Salwa. Ingin rasanya menutup telinga, tidak mau mendengar kenyataan yang semakin membuatnya terluka. Tapi mau tidak mau Laila harus mendengarkannya.
"Kemudian di sini" Salwa menunjuk leher lalu pada bagian dadanya.
"Rasanya sakit Bu, Lukman menggigit dada. Sardi menggigit leher." Salwa bangun lalu menatap Laila yang masih berurai air mata.
"Ibu menangis?." Tangan kecil Salwa menghapus air mata Ibunya.
"Lukman dan Sardi mengancam atau membujuk Kakak tidak saat menggigit leher dan dada?." Ibu Laila melapangkan dada untuk bertanya itu.
"Memberi aku permen sama ikat rambut ini, Bu." Salwa mengeluarkan permen cokelat dan ikat rambut berwarna hitam dari saku celana.
"Katanya nanti di kasih yang lain agi kalau aku mau di gigit di leher dan dada lagi."
Seketika Laila menarik tubuh Salwa, membawa ke dalam pelukannya. Mengecup puncak kepalanya dengan teramat sayang sekaligus merasakan sakit yang luar biasa. Yang terucap dari mulut Salwa bagai ribuan sembilu yang menghunus jantungnya.
"Kakak, dengar Ibu baik-baik. Kakak harus menolak siapa pun itu yang akan memegangi tubuh Kakak. Kakak harus melindungi diri Kakak sendiri. Jangan biarkan laki-laki di luar sana memegangi tubuh Kakak mau diberi apapun itu sebagai imbalan. Kalau mau apa-apa, Kakak tinggal minta sama Ibu. Tolak semua pemberian mereka, apapun itu. Kakak paham?."
"Iya." Hanya jawaban singkat yang dikatakan Salwa.
Ibu Laila kembali mengingatkan putrinya. Tidak henti-hentinya dan tidak bosan-bosannya.
Pagi ini Laila menolak pesanan yang datang membludak. Pikirannya masih belum bisa bekerja dengan baik. Teh Yayuk hanya membuat beberapa kue untuk memenuhi etalase karena sudah banyak yang berdatangan untuk membeli.
Arman menempelkan secarik kertas pada ujung atas etalase berisi pengumuman kalau warung Laila akan libur selama satu minggu. Untuk pesanan bisa di konfirmasikan langsung ke nomor Laila.
"Jadi besok libur, Pak Arman?."
"Iya Teh Yayuk, kita biarkan saja dulu Laila untuk sendiri."
"Baik, Pak Arman."
"Nanti saya bicarakan pada Laila."
"Iya."
Salwa dan Halwa bermain origami di depan teras. Ada seorang pembeli yang buka suara.
"Pantas saja Lukman dan Sardi melecehkan Salwa, karena mereka tahu Salwa kurang se-ons. Gampang banget dibujuknya."
"Heh, Bu! Aku sumpahi anak atau cucu Ibu akan mengalami lebih dari apa yang terjadi pada Salwa." Ucap Laila sangat menyakitkan.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉