NovelToon NovelToon
Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Enemy to Lovers / Rebirth For Love
Popularitas:605
Nilai: 5
Nama Author: Skyler Austin

Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.

Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.

Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?

Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan Yang Terungkap

Keira tiba-tiba muncul di depan meja gue, senyum lebar di wajahnya. Pasti ada yang nggak beres. Keira biasanya nggak segitu cerianya tanpa alasan.

“Aruna, lo nggak bakal percaya deh, gue baru dapet kabar dari Nathan!” Keira bilang sambil duduk tanpa permisi.

Gue menatapnya bingung. “Kabar apa lagi?”

Keira lebih mendekat, matanya berbinar. “Dia ngasih tahu gue kalau dia bakal pergi sama lo besok. Ke luar kota.”

“Apaan? Kenapa nggak bilang ke gue?” Gue langsung merasa kayak ada yang kurang.

“Ya, kan dia yang bilang ke gue, mungkin lo belum tau,” Keira jawab sambil melipat tangannya, seolah menikmati drama ini.

Gue bingung banget. Nathan memang sering pergi untuk pekerjaan, tapi kenapa dia nggak bilang ke gue? Kenapa Keira malah yang lebih dulu tahu? Rasanya gue sedikit dikecewakan, tapi gue juga nggak bisa marah begitu aja. Gue paham kalau Nathan juga punya kehidupan di luar persahabatan kita.

Gue mencoba buat tetep cool. “Emang lo nggak khawatir?” tanya gue, mencoba untuk ngendaliin emosi gue yang tiba-tiba muncul.

Keira menggeleng. “Ngapain khawatir? Gue tahu Nathan, dia nggak bakal ninggalin gue gitu aja.”

Tapi ada yang aneh di cara dia ngomong, kayak ada ketegangan di dalam kata-katanya. Gue cuma ngeliatin Keira, nggak bisa ngomong banyak. Keira lagi-lagi jadi kayak kaca pembesar yang ngebikin gue makin bingung sama perasaan gue sendiri.

“Lo pasti punya alasan buat ngomong kayak gitu, ya?” gue tanya, berusaha buat nyari tahu lebih lanjut.

“Ya, lo ngerti kan? Kadang, gue cuma butuh waktu buat mikirin semuanya. Gue nggak mau Nathan jauh dari gue.” Keira bilang sambil nyentuh tangan gue, yang bikin gue ngerasa agak canggung.

Tapi yang lebih bikin gue bingung adalah perasaan gue sendiri. Apa yang sebenarnya gue rasain? Gue nggak tahu pasti, tapi gue merasa ada sesuatu yang makin mendalam setiap kali Nathan dan Keira terlibat dalam obrolan gue.

Gue tahu gue harus mikirin ini semua dengan tenang, dan gue berusaha buat ngontrol diri. Keira mungkin punya hak buat khawatir tentang Nathan, tapi gue juga nggak bisa diam aja kalau itu berhubungan dengan gue.

“Gue cuma pengen lo jaga Nathan baik-baik, Aruna,” Keira berkata dengan nada yang serius banget, lebih kayak peringatan daripada permintaan.

Gue terdiam. Gue bisa ngerasain kekhawatirannya, tapi di saat yang sama, gue juga nggak bisa ngerasain hal yang sama.

“Ya, gue pasti jaga dia,” jawab gue pelan, tapi kali ini gue merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati gue. Apa semua ini bakal berubah setelah kepergian Nathan?

Keira cuma mengangguk, senyumnya nggak sepenuhnya meyakinkan. Gue bisa lihat ada kecemasan di matanya, tapi gue nggak tahu harus gimana lagi. Keira selalu kayak gitu, penuh dengan teka-teki, dan gue kadang merasa nggak bisa memahami dia sepenuhnya.

Tapi yang gue tahu, gue nggak bisa terus-terusan berlarut-larut dalam kebingungannya. Gue harus cari cara buat nyelesaikan perasaan gue sendiri, terutama soal Nathan.

Besok, katanya dia bakal pergi. Gue nggak tahu apakah itu kesempatan buat gue ngerjain hal yang selama ini gue pendam, atau malah jadi beban baru buat gue.

Di tengah pikiranku, tiba-tiba Vino, adik gue, muncul di depan pintu.

“Lo serius nggak sih, mau ke luar kota sama Nathan?” tanya Vino, sambil duduk di sebelah meja gue. Dia kelihatan bingung, mungkin karena dia juga nggak tahu kalau gue lagi mikirin itu.

“Kayaknya iya,” jawab gue, sambil menghela napas. “Tapi gue nggak yakin kenapa dia gak ngomong langsung ke gue soal rencana itu.”

Vino nyengir, menatap gue dengan tatapan yang tahu banget apa yang gue rasain. “Lo masih mikirin soal Keira, kan?”

Gue langsung ngeliatin Vino, dan matanya yang tajam itu seakan-akan bisa nembus perasaan gue yang paling dalam. “Gue nggak tahu. Tapi gue nggak bisa ngerasa nyaman kalau dia nggak jujur sama gue.”

“Ya, mungkin dia nggak mau bikin lo cemburu,” Vino bilang santai. “Lo kan temen deketnya Nathan, dan gue tahu lo nggak akan mikir yang aneh-aneh kalau dia pergi sama Keira. Tapi gue juga paham kalau lo ngerasa beda.”

Gue ngedumel pelan, bingung. “Kenapa ya, semuanya jadi rumit banget?”

Vino nyengir lagi. “Lo belum pernah merasa kalau lo lebih dari sekadar temen buat dia?”

Perasaan gue langsung terhenti. Gue nggak pernah mikir tentang itu sampai Vino ngomong. Mungkin dia benar. Gue cuma pura-pura nggak peduli, tapi sebenarnya hati gue udah ngasih sinyal yang jelas. Gue lebih dari sekadar temen buat Nathan, kan?

“Lo yakin lo nggak mau ngomong sama Nathan?” Vino melanjutkan. “Coba aja tanya langsung, lo bakal lebih lega.”

Gue cuma diam, mikir-mikir sejenak. Vino memang kadang bisa ngasih pandangan yang tepat, meskipun caranya agak kocak. Tapi dia benar. Kalau gue terus-terusan diam, gue nggak bakal tahu jawaban yang gue butuhin.

“Lo benar,” jawab gue akhirnya. “Gue harus ngomong langsung sama Nathan.”

Vino cuma nyengir. “Nah, itu baru lo.”

Gue akhirnya memutuskan untuk cari Nathan dan ngomong langsung ke dia, apapun hasilnya. Gue nggak bisa terus-terusan jadi orang yang pura-pura nggak peduli, terutama kalau menyangkut perasaan gue sendiri.

Tapi ketika gue akhirnya nyampe di tempat yang biasanya jadi tempat Nathan nongkrong, gue cuma bisa ngeliat kursinya yang kosong. Ada rasa kecewa, tapi juga sedikit lega. Gue nggak tahu apa yang sebenarnya gue harapin, tapi satu hal yang gue tahu, gue nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian.

Gue keluar dari tempat itu, langkah gue ragu-ragu. Nathan nggak ada, dan gue nggak tahu harus ke mana lagi. Keira, dia udah jadi bagian dari hidup Nathan, dan gue cuma bisa nyaksiin itu dari jauh. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa gue tutup-tutupin lagi. Gue nggak bisa terus-terusan jadi temen yang cuma diam aja.

Tiba-tiba gue ngerasa ponsel gue bergetar. Itu pesan dari Nathan.

“Maaf gue nggak bisa ketemu sekarang, ada urusan mendesak. Tapi lo mau ngomong? Kita bisa ketemu nanti malam.”

Gue langsung ngerasa ada sedikit ketegangan yang hilang. Akhirnya, kesempatan yang gue tunggu. Tapi gue juga sadar, ngomong sama Nathan itu nggak semudah kayak nanya “lagi apa?” atau “ngapain di sini?”

Gue bales pesan itu. “Iya, kita bisa ketemu. Nanti malam di kafe kita?”

Nathan langsung bales dengan cepat, “Oke, jam 8 ya.”

Malam itu, gue udah siap buat ketemu Nathan. Gue udah siap buat buka percakapan yang selama ini gue elakkan. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini, tapi gue nggak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang perasaan yang terpendam.

Gue duduk di kafe, ngeliat jam yang terus berjalan. Rasanya waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Setiap detik yang berlalu makin bikin perasaan gue makin campur aduk. Apa yang bakal dia bilang? Apakah gue bakal denger jawaban yang selama ini gue tunggu? Atau gue bakal jadi orang yang kalah dalam cerita ini?

Sekitar pukul 8, Nathan masuk. Dia kelihatan agak cemas, matanya nggak sepenuhnya fokus. Gue bisa merasain ketegangan yang ada di udara antara kita. Ini kayak kita berdua lagi berjalan di atas garis tipis yang bisa hancur kapan saja.

“Gue udah pesen kopi,” kata gue sambil tersenyum sedikit, berusaha mencairkan suasana. “Lo mau pesan apa?”

Nathan cuma geleng-geleng kepala. “Gue mau ngomong sama lo. Tentang Keira.”

Gue cuma diam, nungguin dia lanjut ngomong.

“Aku nggak tahu gimana caranya ngomong ke lo, tapi… gue juga nggak bisa terus-terusan nyembunyiin perasaan gue,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Gue suka lo, Aruna.”

Hati gue langsung berhenti sejenak. Semua perasaan yang gue pendam, semua keraguan gue, tiba-tiba jadi nyata. Gue nggak bisa bales apa-apa selain melongo. Nathan akhirnya bilang apa yang selama ini gue harapkan, meskipun itu nggak datang dengan cara yang gue bayangin.

Tapi kata-katanya masih menggantung di udara. “Tapi Keira…”

“Gue tahu,” jawab gue cepat. “Gue tahu semuanya. Gue cuma nggak tahu kalau lo juga ngerasain hal yang sama.”

Nathan menarik napas dalam-dalam, kayak dia lagi nyiapin dirinya buat ngadepin apapun yang bakal gue bilang. “Keira itu penting buat gue, Aruna. Tapi lo juga penting buat gue. Gue nggak mau lo mikir kalau gue cuma… kalau gue nggak peduli sama lo.”

Gue menghela napas, rasanya campur aduk. “Jadi, lo milih Keira atau gue, Nathan?”

Nathan diam sejenak. Dan jawaban yang keluar dari mulutnya itu, walaupun simpel, akhirnya jadi titik balik yang gue tunggu.

“Lo.”

Kata itu keluar dari bibirnya dengan keyakinan yang nggak bisa gue ragukan lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!