Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06.
.
Tiga hari berlalu, Cahaya masih saja bekerja dengan setengah hati. Gadis itu masih belum bisa fokus pada pekerjaannya. Tangannya gemetar, sering membuat kesalahan.
“Kamu kenapa?” Mbak Santi datang dan bertanya. “Gagal nikah lagi, ya?”
Terdengar sarkas, tapi Aya tetap diam.
“Lagian, sudah tahu pincang, masih juga keganjenan. Pasti calon suamimu membatalkan pernikahan, kan? Secara, kalo cowok otaknya normal, pasti akan cari pasangan yang sempurna. Bukan yang modelan kamu.”
Aya tetap diam dan itu membuat Santi semakin kesal.
“Heh, kupingmu bu•deg, ya?” bentaknya sarkas. Dan kali ini berhasil membuat Aya menoleh.
“Apa kamu punya masalah denganku?” Aya membalikkan badan dan menatap Santi dingin. “Apa aku pernah berhutang padamu dan tidak bisa kubayar?”
Santi menelan ludah mendengar suara Aya yang dingin. Tapi ia tidak boleh kalah dari cewek pincang yang ia anggap lemah.
“Kamu tidak berhutang padaku. Tapi kamu selalu menggoda Tuan Muda. Apa kamu tidak bisa melihat dirimu di cermin?” seperti biasa tangan Santi terangkat hendak menoyor kening gadis itu. Namun, Aya dengan tangkas mencekal tangannya, membuat anti merilis kesakitan.
“Lepas, breng•sek!” Sampai berusaha menarik tangannya agar terlepas. Namun Cahaya mencengkeramnya semakin erat. Matanya menatap tajam ke arah wajah Santi.
“Aku tidak pernah membuat masalah denganmu. Jadi, kamu juga jangan membuat masalah denganku. Kita disini sama-sama babu, ingat posisi itu! Jangan merasa dirimu lebih berkuasa hanya karena umurmu lebih tua dariku! Jangan juga menganggap aku lemah. Karena mulai sekarang aku tidak akan lagi hanya diam! Aku memang pincang tapi aku tidak pernah minta makan padamu.”
Glekkk…
Santi menelan ludahnya kasar. Aya tidak membentak. Tidak bicara dengan nada keras. Tapi suara Aya yang berat membuat nyalinya menciut. Selama ini Cahaya selalu tunduk. Kenapa tiba-tiba cewek kampung itu berani melawan? Dan, sorot matanya terlihat menakutkan. Begitu tajam membuat dirinya merasa terintimidasi. Apakah gagal menikah telah membuat Cahaya bermetamorfosis.
“Lepas, pincang!” Santi masih berusaha melepaskan tangannya. Namun, Aya juga masih semakin mencengkeram dengan kuat, hingga membuat Santi meringis.
“Kamu menghinaku pincang dan perawan tua. Lalu apa sebutan yang cocok bagimu? Umurmu bahkan lebih tua empat tahun dariku? Dan kamu juga masih betah menjomblo.”
“Setidaknya kakiku genap. Tidak seperti kamu yang bengkok!”
Grep
Emosi membuat Aya menarik tangan Santi hingga tubuh mereka berdekatan. Lalu dengan sebelah tangannya, Aya mencengkeram rahang Santi.
“Setidaknya aku tidak punya mulut busuk sepertimu. Apa kamu pikir aku tidak tahu, kamu selalu mengadu yang tidak-tidak pada Nyonya? Kamu juga sering mengakui hasil kerja keras Mbak Tina dan Mbak Yuni sebagai pekerjaan mu? Kamu hanya belum ketahuan, karena mereka berdua takut padamu, dan tidak berani lapor. Tapi bukan tidak mungkin suatu saat kebenaran terbuka. Saat itu tiba, bersiap-siap lah kehilangan pekerjaan!”
Aya mendorong tubuh Santi dengan keras hingga Santi jatuh terduduk sambil meringis memegangi pinggulnya.
“Jangan pernah menggangguku lagi. Karena mulai sekarang aku tidak akan diam!” Aya menatap Santi tajam.
“Ak- aku, ak-aku akan melaporkanmu pada Bu Rani.”
“Laporkan saja! Aku juga akan melaporkan kamu pada Nyonya.” Tangan Aya menunjuk ke atas. Di sana ada sebuah kamera CCTV. “Aku punya saksi, kamu yang menggangguku lebih dulu.
“Awas, kamu!” Santi bangkit lalu berlari dari tempat itu dengan memegang pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkeraman tangan Cahaya.
Aya terhuyung dan jatuh terduduk bersandar pada mesin cuci setelah Santi pergi. Gadis itu memeluk dua kakinya dengan menelungkupkan wajah di antara dua lutut. Menangis tanpa suara.
“Apa salahku? Aku juga tidak minta terlahir seperti ini.”
Tubuhnya bergetar. Berpura-pura kuat, nyatanya dia lemah. Dia hanya tidak ingin kalau dia tidak melawan, maka dia akan terus ditindas.
*
*
*
Nyonya Syifa memperhatikan perubahan sikap Aya yang murung dan sering melamun. Sudah lebih dari seminggu semenjak gadis itu kembali ke bekerja di rumahnya. Namun, pembawaan gadis itu masih belum ceria seperti semula. Dan itu mengusik pikirannya.
"Aya, apa kamu ada masalah? Kamu terlihat tidak bersemangat dalam bekerja.”
Tidak tahan melihat perubahan Aya yang seperti itu, akhirnya nyonya Syifa memanggil Aya secara pribadi di ruang kerjanya.
Aya menggeleng, enggan bercerita. "Tidak ada, Nyonya. Mungkin saya hanya lelah," jawab Aya lirih.
"Jangan berbohong padaku, Aya. Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ceritakan padaku," kata nyonya Syifana lembut namun tegas.
Air mata Aya kembali mengalir. Tiba-tiba saja gadis itu menangis tergugu. "Semua salah, Nyonya. Semuanya..."
Akhirnya Cahaya menceritakan kegagalan pernikahannya, penipuan Yuda, dan hinaan dari keluarga Yuda serta warga desa. "Dia menikah dengan gadis lain setelah menghabiskan hampir seluruh gaji saya!" isak Aya.
Nyonya Syifa mendengarkan dengan seksama, kemarahan membara di hatinya. "Dasar laki-laki brengsek! Aku akan mengatur orang untuk memberikan pelajaran padanya!" seru Nyonya Syifa geram.
“Tidak perlu, Nyonya.” Aya menolak. Ia lelah, hanya ingin melupakan semuanya. Ia ingin menjalani hidup seperti sedia kala, meski luka di hatinya masih dalam. Nyonya Syifa memeluk Aya, menenangkannya.
"Jangan khawatir, Aya. Kami semua akan mendukungmu.” Wanita itu memang telah menganggap Cahaya seperti putrinya sendiri. Jika saja adiknya Marcel masih hidup, mungkin putrinya itu sudah sebesar Aya.
Sebenarnya, Marcel memang memiliki adik perempuan, dan usianya sama dengan Cahaya. Namun, Marcelina, adik Marcel meninggal saat baru berusia satu tahun karena virus polio. Berbagai cara sudah diupayakan untuk menyelamatkan sang putri. Vaksin, imunisasi, pengobatan, bahkan juga fisioterapi. Namun, tuhan berkehendak lain. Sang putri tetap tak bisa bertahan. Karena itu lah, nyonya Syifa sangat menyayangi Cahaya. Melihat Cahaya selalu mengingatkannya pada mendiang putrinya.
Aya merasakan sedikit kehangatan, dukungan yang membuatnya merasa lebih baik. "Terima kasih, Nyonya,” ucap Aya pelan.
Tanpa mereka sadari, sepasang telinga mendengarkan percakapan mereka di balik pintu yang tak tertutup rapat. Marcel, pemilik sepasang telinga itu, mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengeras mendengar setiap kemalangan yang dialami oleh Cahaya.
Perlahan menutup pintu rapat, kemudian pergi dari tempat itu dan kembali menuju kamarnya. Mengambil ponsel yang tersimpan di satu jaket lalu mengetikkan satu pesan dan mengirimkannya pada seseorang.
Sepersekian detik kemudian, balasan datang.
“Baik!”
*
*
*
Hari-hari berlalu, Aya tetap menjalankan tugasnya sebagai pembantu rumah tangga di kediaman keluarga Dirgantara. Meskipun kesedihan masih terpancar dari raut wajahnya. Namun, ia berusaha untuk tegar.
Ia telah mengikhlaskan semuanya. Tak ingin lagi mengingat sesuatu apapun tentang Yuda yang hanya akan menjadi racun dalam hatinya. Dengan ikhlas pula ia merasa hatinya lebih tenang. Anggap saja bahwa itu memang belum rezekinya.
Namun, ternyata ketenangannya itu tak bertahan lama, hingga suatu sore, saat ia sedang berada di kamar tuan muda kedua untuk menata pakaian yang sudah disetrika ke dalam lemari, ibunya menghubunginya sambil menangis.
“Aya, kebun kita yang ada di belakang rumah disita oleh pihak bank.”
“Apa Bu?” Cahaya benar-benar syok dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut ibunya. “Kenapa bisa disita? Kita tidak pernah memiliki hutang?”
“Maafkan ibu, Aya! Waktu itu…”
. cuit cuit