Lanjutan Cerita Harumi, harap membaca cerita tersebut, agar bisa nyambung dengan cerita berikut.
Mia tak menyangka, jika selama ini, sekertaris CEO yang terkenal dingin dan irit bicara, menaruh hati padanya.
Mia menerima cinta Jaka, sayangnya belum sampai satu bulan menjalani hubungan, Mia harus menghadapi kenyataan pahit.
Akankah keduanya bisa tetap bersama, dan hubungan mereka berakhir dengan bahagia?
Yuk baca ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Mutasi
"Gue denger, semalem Lo datang ke tempat xxx." Dimas menyebutkan nama tempat melampiaskan emosi bagi orang-orang berduit. "Kenapa Lo?" tanyanya. Mode teman kembali, jam kerja belum mulai, jadi tak apa berbicara informal.
Keduanya sedang dalam perjalanan ke kantor, Jaka tadi menjemput atasannya di apartemen yang jaraknya tak jauh dari kantor. Meski begitu mereka tetap menaiki mobil, "Lagi pening aja, bang!" keluhnya, Jaka di balik kemudi.
"Kayaknya kode minta buat cuti, nih?"
"Bukan bang, serius!" Jaka membantah. Mumpung sedang mode teman, sepertinya ini waktu yang tepat untuk membahas kegalauannya. "Bang ..."
"Hmmm ..." Di jok belakang, Dimas sedang memeriksa i-pad nya.
Jaka melirik memalui spion dalam mobil, "Soal perjodohan dengan anak temennya Bu Dessy, kayaknya gue mau batalin." Ungkapnya.
Dimas menyimpan i-pad nya, lalu menatap sekertaris yang sudah hampir satu dekade bekerja padanya. "Apa alasannya?"
"Ada cewek lain yang pengen gue nikahin, dan udah lama banget gue cintai."
"Ohh ..." Dimas kembali memeriksa i-pad nya.
"Kok Ohh doang, bang!"
"Ya terus gue mesti ngomong apa? Apa gue suruh salto, atau teriak-teriak? Dan bilang ke seluruh dunia, kalau sekretaris gue yang dijuluki 'kanebo kering' akhirnya jatuh cinta."
"Elah bang, ya nggak gitu juga. Komentar apa kek? Marah atau sekalian dukung gue buat ngejar itu cewek sampai berhasil gue nikahi, gitu."
"Kalau gue marah, terus kinerja Lo turun, gue juga yang repot."
"Gue profesional, bang!"
"Profesionalnya jadi mata-matanya kakak gue, padahal yang ngasih gaji dan bonus selama sepuluh tahun ini, gue apa kakak gue?"
"Masih aja dibahas, gue kan udah minta maaf. Lagian sekarang Abang juga udah nikah sama Mbak Bunga, jangan dibahas, dong!"
"Kenyataan itu, Ka! Dan sekarang Lo minta ke gue supaya bilang ke mbak Dessy buat batalin perjodohan Elo, gitu? Dih ... Ngomong sendiri sana. Males gue ngadepin kakak gue yang bawel itu."
"Elah bang! Kalau tetep dipaksa, silahkan dari sekarang cari pengganti gue. Karena gue mau resign."
"Bisanya ngancem." Dimas berdecak.
"Nggak ngancem, bang! Gue beneran serius, gue maunya nikah sama cewek, yang gue cinta. Ya kan abang juga pernah ngerasain, kan?" Jaka mengingatkan tentang perjuangan bosnya demi bersanding dengan Bunga Harumi.
"Entar gue pikirin. Lagian siapa sih cewek yang bikin muka lempeng kayak elo, sampai klepek-klepek?" Terlalu fokus pada keluarga kecil dan pekerjaan, Dimas sampai tak memperhatikan bawahannya sendiri.
"Adalah bang, pokoknya ingat ya, bang! harus belain gue, kalau Bu Dessy marah." Sekali lagi, Jaka mengingatkan.
Mobil berhenti tepat di depan lobi gedung, salah satu sekuriti membukakan pintu mobil untuk pemilik perusahaan. Jaka mengitari mobil, dan berjalan tepat di belakang Dimas.
Keduanya sempat terlibat perbincangan soal rapat pertama yang akan dihadiri Dimas, sekitar tiga puluh menit lagi.
***
Mia naik ke lantai teratas, guna menyampaikan laporan sekaligus surat persetujuan mutasi. Namun dia tak temui asisten dan sekertaris di tempatnya.
Mia mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk. Dari arah dalam pintu terbuka, muncul pria yang kemarin sore bertemu dengannya di cafe. "Siang Pak, saya mau menyampaikan laporan pada pak Dimas." Katanya, dia menunduk tak sanggup bertemu tatap dengan kekasihnya.
"Silahkan." Jaka menyahutnya dengan nada dingin.
Mia menggumamkan terima kasih, lalu masuk dan melangkah menghampiri meja CEO. "Pak, ini laporan yang anda minta." Mia menyodorkan map berwarna hitam. "Dan ini surat pengajuan mutasi, sudah disetujui oleh Pak Lukman dan Bu Yuli." Dia menyodorkan selebar kertas, dengan kepala surat bertuliskan nama dan logo perusahaan.
Dimas menerimanya, dia membacanya sejenak. "Jadi kamu setuju dimutasi sementara, Mi?" Tanyanya. "Om Tris sampai telepon saya, semalam." Dimas membubuhkan tanda tangannya.
"Loh Mi, Kok bisa?" Tanya Aryan yang berada di samping CEO.
Dimas melirik pada asistennya. "Ya bisa lah, emang kenapa? Kamu keberatan, Aryan?"
"Nggak gitu, bang! Ini serius atau bohong, sih?" Aryan masih tak percaya, dia juga melirik pada rekannya yang sedari tadi diam, dan berdiri di belakang Mia.
"Ya benar lah, masa bohong. Lagian ini nggak rugiin mereka. Malah untung dapat pengalaman sama tambahan tunjangan." Dimas kembali menyerahkan surat persetujuan mutasi pada salah satu staf keuangan itu. "Jadi kapan kamu berangkat, Mi?" Tanya Dimas.
"Lusa mungkin, Pak. Saya akan menyelesaikan pekerjaan di sini dulu." Sahut Mia seraya memeluk selembar kertas, yang akan membawanya ke kota lain.
"Pesan saya, jaga kinerja kamu di sana. Karena secara tidak langsung, kamu mewakili wajah kantor pusat. Seminimal mungkin jangan berbuat kesalahan." Dimas berpesan.
"Baik pak! Terima kasih." Mia menunduk, hendak undur diri.
"Ka, Lo udah tau?" Tanya Aryan memastikan. Tapi rekannya hanya mengangguk. "Bang, ko kita berdua nggak dikasih tau?" Dia melemparkan protes.
"Ini cuman hal sepele dan ini juga urusan Pak Lukman sama Om Tris, nggak ada urusan sama Asisten dan sekertaris CEO." Dimas mendengus kesal. "Ini masih jam kerja, jaga etika kamu." Dia memperingatkan bawahannya.
"Maaf Pak." Gumam Aryan pelan.
"Ya udah Mi, silahkan kembali ke ruangan kamu. Ingat pesan saya, dan jaga diri kamu selama di sana."
"Baik pak, terima kasih." Mia berlalu dari sana.
***
Sore ini, Mia harus lembur karena harus segera menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Sore ini ada Raisa dan Ringgo bersamanya.
Ketiganya fokus pada layar di depan masing-masing kubikel. Tak ada bahasan di luar pekerjaan.
"Mbak Mia, aku udah selesai. Aku duluan yaa ..." Seru tetangga sebelah kubikel nya. Setelah sekitar satu jam dari waktu pulang.
Mia berdehem, "Hati-hati di jalan, Sa!"
Raisa mendorong kursi beroda yang seharian ini dia duduki, tak lupa berpamitan pada asisten manager yang berada di kubikel ujung.
Sepeninggal mojang Bandung itu, ruangan kembali hening, hanya terdengar jari-jari beradu dengan tombol keyboard dan embusan pendingin ruangan.
Keduanya beristirahat sejenak, waktu magrib tiba, dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.
Hingga dua jam setelah waktu pulang tiba, Ringgo mulai meregangkan tangannya, tanda jika pekerjaannya telah selesai. "Mi, lanjut besok aja, balik yuk! Gue anter sampai stasiun Sudirman." Ujarnya.
"Yah bang, nanggung banget! Duluan aja deh." Mia mempersilahkan seniornya untuk pulang terlebih dahulu.
"Masih ada sehari lagi, Mia! Besok berangkat lebih pagi, entar gue bantuin." Ringgo sudah menganggap juniornya itu, sebagai adik sendiri, sehingga acap kali mengungkapkan kekhawatirannya.
"Bang, tanggung banget ini, janji sebentar gue bakal balik. Abang duluan aja gih."
Ringgo mulai sudah selesai merapihkan barang-barangnya. "Gue tunggu deh, bentar lagi, nggak bakal ada yang nebeng sama gue buat hemat ongkos ojek soalnya."
Mia tertawa renyah, "Berkurang bang bebannya,"
"Bener juga sih, tapi toples camilan gue jadi kosong, nih!" Ringgo menggendong tas ranselnya.
Mia memang paling rajin membawakan camilan buatan Kusti, untuk para rekan kubikel nya. Toples di masing-masing kubikel selalu terisi berkatnya. "Cuma sebulan doang, bang! itung-itung Lo diet, biar perut nggak tambah buncit." Walau tengah berbincang, tapi mata Mia tertuju pada layar komputernya.
Belum sempat Ringgo menanggapi, ponsel di saku celananya berdering. Itu dari Raina istrinya, yang memintanya cepat kembali. "Yah Mi, gue nggak jadi nungguin elo, dong!"
Mia terkikik, "Iya-iya, udah sana balik. Toh masih banyak Abang grab, kasihan entar penghasilannya berkurang, gara-gara elo nebengin gue Mulu." Candanya.
"Ya udah, Lo hati-hati pulangnya. Pokoknya kalau belum selesai, lanjut besok pagi aja."
Mia menunjukkan dua jempolnya, seraya mengalihkan tatapnya pada pria berjaket hitam itu.
Kini tinggal Mia seorang diri, ini sama sekali tak masalah buatnya. Dia tak merasa takut sama sekali, karena dia lebih takut jika penghasilan bulanannya berkurang, gara-gara jarang lembur, dari pada mahluk astral tak kasat mata.
Setengah jam berlalu, tapi pekerjaannya tak kunjung usai, mungkin benar kata Ringgo. Dia harus menyelesaikannya besok pagi, karena sekarang, matanya mulai pegal dan pinggangnya terasa kaku. Terlalu lama berada di depan layar, membuatnya merasa lelah.
Mia memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya, dia akan beribadah dulu, sebelum pulang, agar sesampainya di rumah nanti. Dirinya tinggal mandi dan langsung tidur.
***
Waktu sudah menunjukan pukul dua puluh, Mia berdiri di depan elevator. Ruangan-ruangan di belakang dan sampingnya telah dimatikan lampunya, menyisakan lampu di atasnya.
Tak ada rasa takut sedikitpun, dia sudah terbiasa seperti ini. Bahkan di waktu-waktu tertentu, dia bisa pulang lebih larut. Sebagai budak korporat, sudah sewajarnya harus begini.
Pintu elevator terbuka, namun matanya melebar begitu melihat siapa yang berada di sana.
jangan sampai di unboxing sebelum dimutasi y bang....
sisan belum up disini rajin banget up nya....
terimakasih Thor....
semangat 💪🏻