Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Amara dan Ferdi duduk di salah satu sudut kafe yang nyaman. Secangkir kopi panas dan tumpukan dokumen bisnis tergeletak di atas meja mereka. Amara terlihat serius mendiskusikan proyek baru yang akan ia tangani setelah menggantikan Ferdi sebagai kepala divisi.
Di sisi lain, Rafael masuk ke kafe dengan langkah percaya diri. Jas rapi membalut tubuhnya, menyiratkan wibawa seorang pemimpin. Dia menghabiskan jam istirahatnya untuk makan siang di tempat favoritnya.
Pandangan Rafael tiba tiba berhenti ketika ia melihat seorang wanita yang sangat dikenalnya. Wanita itu adalah Amara. Tapi yang membuatnya terkejut adalah keakraban Amara dengan Ferdi, mantan kepala divisi yang kini bekerja di bawahnya.
Rafael berhenti sejenak, kerutan kecil muncul di dahinya. "Kenapa mereka terlihat begitu dekat? Apa Ferdi masih menjabat sebagai kepala divisi? Atau ada sesuatu yang lain?" pikirnya.
Dia mendekati meja Amara dan Ferdi dengan langkah perlahan. Begitu jaraknya cukup dekat, suara Rafael terdengar.
"Ferdi? Kupikir ini jam istirahatmu. Kau tampaknya sibuk sekali."
Amara yang sedang membolak balik dokumen langsung mendongak. Jantungnya berdegup kencang melihat sosok Rafael di hadapannya, pria yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya.
Rafael terdiam sesaat, matanya bertemu dengan Amara. "Amara?" gumamnya, nyaris tidak percaya.
Amara mencoba tetap tenang, meskipun hatinya terasa bergejolak. "Ya, Rafael. Lama tidak bertemu."
Ferdi yang berada di antara mereka merasa situasi mulai berubah canggung. "Oh, Rafael. Aku lupa memberitahumu. Mulai bulan ini, Amara menggantikan posisiku sebagai pemimpin perusahaan," jelasnya dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Rafael terlihat terkejut. "Jadi sekarang... kau atasanku?" tanyanya, masih sulit mencerna kenyataan.
Amara mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara tegas namun lembut, "Benar. Tapi aku harap kita bisa tetap bekerja sama dengan baik, Rafael."
Rafael menatap Amara dalam diam. Berbagai emosi bercampur dalam dirinya keterkejutan, rasa penasaran, dan sedikit rasa kehilangan yang tak pernah benar benar hilang.
Rafael berdiri mematung setelah mendengar penjelasan Ferdi. Matanya masih terpaku pada Amara, yang kini tampak jauh lebih percaya diri dibandingkan terakhir kali mereka bertemu.
"Amara... menggantikan posisimu?" Rafael mengulang, seolah sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Benar," Ferdi menjawab santai, tanpa menyadari perubahan ekspresi Rafael. "Dia yang sekarang akan memimpin divisi ini. Aku hanya mendampinginya sementara sampai dia benar benar terbiasa."
Namun, Rafael tidak segera menjawab. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Bagaimana Amara bisa sampai di posisi ini? Kenapa dia tidak pernah mendengar apa pun tentang perubahan ini sebelumnya? Dan yang paling membuatnya resah, kenapa perasaannya masih terusik setiap kali berhadapan dengan wanita ini?
"Maaf, aku rasa aku tidak bisa makan siang hari ini," kata Rafael tiba tiba, nadanya dingin. Dia melirik sekilas ke arah Amara sebelum berbalik pergi.
"Rafael, tunggu..." Ferdi mencoba memanggil, tapi Rafael sudah melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Amara dan Ferdi dalam kebingungan.
Di luar kafe, Rafael menghela napas panjang. Nafsu makannya hilang begitu saja. Dia meraih ponselnya, mencoba fokus pada pekerjaan, tapi bayangan Amara terus mengusik pikirannya.
"Kenapa dia harus muncul di sini, di tempat yang sama denganku? Kenapa dia harus menjadi atasku?" gumam Rafael dengan nada frustrasi.
Sementara itu Diana berjalan perlahan di trotoar, meski usia kandungannya sudah 9 bulan. Dokter telah memperingatkan agar ia banyak beristirahat, tetapi Diana tetap keras kepala. Dalam langkah santainya, matanya menangkap sosok yang membuat amarahnya meluap.
Liana, kakak Amara, sedang duduk di kafe bersama teman temannya. Gelak tawa mereka terdengar hingga luar kafe. Tanpa pikir panjang, Diana masuk ke dalam kafe, amarahnya membuncah.
"Liana!" Diana memanggil dengan suara lantang, membuat semua mata di kafe beralih ke arahnya.
Liana menoleh, sedikit terkejut melihat Diana yang datang dengan ekspresi marah. "Diana? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada datar.
Namun, Diana tak peduli. Ia langsung berkata dengan nada tinggi, "Jangan berpura pura polos, Liana! Semua orang harus tahu bahwa kamu ini kakak dari seorang pelakor!"
Orang orang di kafe terdiam, lalu mulai berbisik bisik. Wajah teman teman Liana menunjukkan kebingungan, sementara Liana menatap Diana dengan tatapan tajam.
"Apa maksudmu, Diana? Jangan asal bicara di tempat umum seperti ini!" Liana mencoba menjaga ketenangannya.
"Tidak perlu pura pura lagi! Semua orang harus tahu kalau adikmu, Amara, merebut Rafael dariku! Dan aku yakin, sebagai kakaknya, kau pasti mendukung perbuatannya!" Diana berkata dengan penuh emosi.
Liana mendengus, lalu berdiri dari kursinya. "Pertama, Amara tidak pernah merebut Rafael darimu. Dan kedua, Rafael masih bersamamu sampai sekarang, kan? Jadi apa sebenarnya yang kamu inginkan?"
Diana tersenyum sinis, pandangannya penuh kebencian. "Aku hanya ingin semua orang tahu bahwa keluargamu memang tidak bermoral! Amara tidak tahu malu, dan kau juga pasti sama seperti dia!"
Perkataan Diana membuat emosi Liana memuncak. "Diana, berhenti memfitnah! Jangan gunakan kebencianmu pada Amara untuk menjatuhkan keluargaku!"
Namun, Diana tidak berhenti. Dia melangkah maju, tangannya terangkat seolah ingin menjambak rambut Liana. Tapi Liana dengan sigap menggeser tubuhnya ke samping.
Diana kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai. Perutnya langsung terasa nyeri yang luar biasa, membuat wajahnya pucat seketika.
"Perutku... sakit!" rintih Diana, memegangi perutnya dengan tangan gemetar.
Liana yang tadinya penuh amarah kini tampak panik. "Diana! Kamu hamil, kenapa malah bertindak seperti ini?!"
Orang orang di kafe segera menghampiri. Beberapa membantu mengangkat Diana, sementara seorang pelanggan dengan cepat menghubungi ambulans.
"Ambulans sudah dalam perjalanan," kata salah seorang pelanggan, mencoba menenangkan situasi.
Diana meringis, mencoba menahan rasa sakit, sementara Liana berdiri di sampingnya dengan perasaan bersalah bercampur bingung. Dalam situasi ini, kebenciannya pada Diana seketika memudar.
Liana duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, mengusap pelipisnya yang mulai berkeringat. Pikirannya berkecamuk setelah menyaksikan insiden tadi di kafe. Meski Diana menyakitinya dengan kata kata, Liana tetap memilih untuk menemaninya, terutama karena kondisi kandungan Diana yang sangat mengkhawatirkan.
Pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar. "Apakah ada keluarga pasien Diana?"
Liana berdiri dengan cepat. "Saya temannya. Ada apa, Dok?"
"Kami sedang berusaha menstabilkan kondisi pasien. Apakah suaminya sudah dihubungi?" tanya dokter itu.
Liana terdiam sejenak, merasa bimbang. Dia tahu bahwa Rafael, suami Diana, bukan hanya sekadar suami, tapi juga mantan adik iparnya. Namun, situasinya mendesak, dan Diana membutuhkan seseorang yang lebih dekat dengannya.
Liana akhirnya memutuskan untuk menghubungi Rafael. Setelah beberapa dering, suara Rafael terdengar di ujung telepon.
"Liana? Ada apa menghubungiku?" tanya Rafael dengan nada terkejut.
"Rafael, ini soal Diana. Dia jatuh tadi, dan sekarang di rumah sakit. Aku pikir kamu harus segera datang," jawab Liana cepat, berusaha menahan emosinya.
Tak butuh waktu lama, Rafael tiba di rumah sakit dengan wajah penuh kecemasan. Saat dia memasuki ruang tunggu, matanya langsung bertemu dengan Liana.
"Liana?" tanyanya pelan, tak menyangka akan melihat mantan kakak iparnya di sana. Ada rasa canggung yang tak bisa ia sembunyikan, tetapi kekhawatirannya pada Diana lebih mendominasi. "Bagaimana kondisinya?"
"Dia masih diperiksa," jawab Liana singkat.
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan. Wajahnya tampak serius, menambah ketegangan yang sudah melingkupi mereka.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kondisi janin tidak bisa diselamatkan," kata dokter itu dengan nada berat.
Kedua mata Liana melebar, terkejut mendengar kabar itu. Sementara Rafael tampak terpukul, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tak lama, Diana didorong keluar dari ruang perawatan dengan ranjang dorong. Matanya sembab, dan air matanya mengalir deras. Ketika melihat Liana dan Rafael berdiri di sana, emosinya langsung meluap.
"Kamu!" Diana menunjuk Liana dengan suara bergetar. "Ini semua salahmu! Kalau saja kamu tidak memprovokasiku di kafe tadi, bayiku tidak akan meninggal!"
"Diana, hentikan!" Rafael mencoba menenangkan, tetapi Diana menggeleng keras.
"Tidak, Rafael! Semua ini salah dia! Kakaknya Amara, wanita yang sudah menghancurkan hidupku, sekarang dia juga menghancurkan bayiku!" Diana menangis histeris, membuat beberapa perawat datang untuk menenangkannya.
Liana hanya terdiam, tak mampu berkata kata. Dia tahu tuduhan Diana tidak berdasar, tetapi melihat penderitaan wanita itu, dia tidak ingin memperkeruh keadaan.
Rafael menatap Liana dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada rasa bersalah dan kekecewaan yang terpancar di wajahnya. "Liana, sebaiknya kamu pergi dulu. Aku akan menjaga Diana."
Liana mengangguk pelan, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa apa. Namun, dalam hatinya, rasa bersalah dan luka akibat tuduhan Diana terus menghantuinya.