Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SATU
Anggun telah sampai kembali di rumah bersama kedua orang tuanya, Thalia pun ikut serta. Sore itu, rumah pak Hendra mendadak lebih rame dari biasanya, kerabat dan tetangga sebelah silih berganti berdatangan untuk menanyakan bagaimana kondisi Anggun sekarang.
Hingga malam pun datang, semuanya kembali sepi hanya tinggal keluarga Anggun yang masih berkumpul di ruang tengah.
BRAK!!
Tiba-tiba Aulia berdiri dan menendang keras kursi plastik yang biasanya digunakan si kembar untuk belajar. Sontak membuat anggota keluarga yang lain kaget dan menoleh menatap Aulia.
Pak Hendra berdiri karena kaget, “Ada apa Lia?!” serunya.
Bu Maryani pun menatap heran pada sang putri sulung, “Kamu kenapa?!” tegasnya.
Sementara Anggun merangkul kedua adik kembarnya, Aulia berdiri berkacak pinggang dengan ekspresi geram.
“Bapak ibu pura-pura lupa ya?!” ujar Aulia dengan sorot mata tajam penuh kecemburuan.
“Apa ya? Coba kamu ingatkan Bapak, hari ini Bapak kan lagi sibuk ngurusi Adikmu, maaf kalau Bapak lupa.” Pak Hendra begitu sabar meladeni Aulia.
“Anggun terus! Anggun terus! Nggk adil kalian ini jadi orang tua!” Ekspresi Aulia terlihat semakin kesal, ia menyilangkan kedua tangannya di dada, menghentakkan kakinya beberapa kali sebagia protes.
“Ngomong aja toh Nduk, jangan bikin tambah ribet, Bapak sama Ibu itu juga capek!” bentak Bu Maryani.
“Aku belum bayar uang kuliah! Masih kurang satu juta kan, bisa-bisa aku nggak dapet kartu ujian!” teriak Aulia dengan lantang.
“Ya ampun, maafkan Bapak Lia, sudah ada kok, uangnya sudah Bapak siapkan, besok bisa kamu bayarkan.” Pak Hendra bergegas menuju ke kamar untuk mengambilnya.
“Ibu! Berikan juga uang saku tambahan, kan barusan kalian dapet amplop banyak tuh dari yang bezuk Anggun, aku juga kehabisan kuota, laptopku juga sedikit rusak itu, harus di bawa ke tukang servis,” pinta Aulia manja.
“Iya, nanti ibu kasih, sekarang bantu dulu beberes tempat ini, habis itu tidur, udah malem,” perintah Bu Maryani tanpa penekanan seraya bergerak menata beberapa toples makanan yang masih tergeletak di karpet.
Anggun pun ikut bergerak membantu membereskan begitu juga si kembar. Sementara Aulia membantu dengan malas.
Bu Maryani mendekati Anggun, menepuk pundak lemahnya, “Kamu masuk aja ke kamar, bawa adik-adikmu, di sini biar ibu sama kakakmu yang membereskannya,” ujarnya.
Namun hal itu justru membuat Aulia semakin iri, “Apaan! Nggak adil! Anggun kan nggak terluka, biarin lah semua kerja Bu, biar cepet selesai, aku masih harus belajar buat ujian!” protesnya.
Bu Maryani mengelus dada, Arpin dan Arpan merangsek memeluk pinggang Anggun karena takut dengan omelan sang kakak tertua.
“Kamu itu … Anggun memang tidak banyak terluka, tapi biarkan dia istirahat, belajar kan seharian kamu juga sudah bebas dari pekerjaan rumah kan?” ucap pak Hendra tak ingin Aulia semakin sesuka hatinya.
“Bebas apanya? Siapa yang bersih-bersih rumah? Siapa yang masak hari ini? Siapa yang cuci baju kotor? Siapa yang sibuk ngurusi tamu tadi? Aku juga capek!” protes Aulia semakin marah.
Pak Hendra dan Bu Maryani terdiam, tak ada yang salah dengan ucapan Aulia, selama keduanya sibuk menjaga Anggun, memang hanya Aulia sendirian yang mengurus rumah.
Anggun tak ingin perdebatan malam itu semakin menjadi, setelah membisikkan kalimat lembut pada akedua adiknya agar masuk ke kamar, Anggun pun kembali membereskan ruangan itu.
“Sudah, aku tidak apa-apa, maafkan aku yang membuat mbak Lia harus bekerja sendirian di rumah, mbak Aulia lanjutkan belajar saja, biar aku yang membantu membereskan tempat ini.”
Tak ada lagi kalimat yang terucap, Aulia membalikkan badannya dengan kasar, lalu berjalan menuju ke kamarnya seraya menghentak-hentakkan langkahnya.
BRAK!
Aulia bahkan menutup pintu kamarnya dengan kasar karena masih kesal.
“Sabar ya Nggun, entah kenapa kakakmu jadi sekasar itu,” hibur pak Hendra juga membantu memindahkan toples-toples makanan ke meja makan.
“Iya Pak, mungkin mbak Lia stress karena mau ujian.” Begitu bijak dan pengertiannya Anggun membuat pak Hendra dan Bu Maryani selalu bersyukur memiliki Anggun.
“Besok kamu mau ijin sekolah atau masuk saja? Tadi bapak baca surat dari dokter mengijinkan kami istirahat dulu sampai empat hari ke depan,” Bu Maryani mengalihkan pembicaraan.
“Lihat saja besok Bu, bolehkan?”
“Hmm iya, kalau memang rasanya Badau masih lelah, masih ada yang kamu pikirkan, katakan saja sama Ibu, jangan takut, aku ini ibu yang melahirkan mu, akan selalu ada untuk anak-anak Ibu.”
Anggun menghambur memeluk sang ibu, diikuti pak Hendra merangkul istri dan anak tengahnya itu. “Kita ini orang miskin, tapi kita saling mendukung dan saling mengerti, Bapak harap kita bisa selalu rukun seperti ini.”
.
.
.
Di rumahnya, Anisa masih terkurung di dalam kamar, dengan pintu yang dikunci dari luar oleh pak Tono.
“Sialan! Orang tua pelit! Kakak terus yang diurusi!” umpat Anisa seraya menggulung tubuhnya di dalam selimut di atas kasur.
Anisa memegangi perutnya, “Aku lapaaar!!!” teriaknya lagi.
“Hapeku juga di sita! Tapi nggak ada makanan! Pria tua itu sengaja ingin membunuhku ya!” omelnya.
Anisa kembali berjalan menuju ke jendela yang penuh dengan kisi-kisi rapat dari besi. Anisa kembali mencari cara bagaimana meloloskan diri dari kamarnya itu. Ia benar-benar kelaparan, beruntung di kamarnya tersedia air minum galon kecil, setidaknya .asih menyelamatkan rasa hausnya.
Rasa haus dan lemas juga amarah telah menguasai dirinya, sampai akhirnya Anisa melihat teman dekat Anisa datang ke rumahnya.
“Hey! Nindi! Aku di sini !” teria Anisa seraya mengetuk-ngetuk kaca jendela.
Nindi yang dipanggil pun samar-samar mendengarnya dan celingukan mencari sumber suara.
“Eh!” Seru Nindi sedikit heran saat ia menemukan sumber suaranya.
Anisa melambaikan tangan agar Nindi mendekat, “Gue kekunci! Tolong ambil tang atau sesuatu di peralatan bengkel ayahku di halaman samping!” teriak Anisa.
Nindi mengangguk setelah mengerti ucapan Anisa, lalu berjalan menuju ke samping rumah mencari apa yang sekiranya bisa digunakan untuk membobol pintu kamar Anisa.
“Aku cuma menemukan ini!” Nindi sedikit memanjat jendela, lalu melempar sebuah obeng kecil melalui ventilasi diatas jendela.
Anisa gadis yang cerdik itu berusaha membuka pintu kamar dengan obeng,eski susah payah namun kecerdasannya membuatnya berhasil.
Anisa mengemas beberapa barangnya di dalam sebuah ransel, setelah membuka pintu utama untuk Nindi.
“Kenapa sih kamu bisa kekunci?” tanya heran Nindi.
“Itu dibahas nanti aja, bantu gue kabur dari neraka ini!” sahut Anisa terus bergerak mencari sesuatu yang bisa dibawanya.
“Oke. Uang! Cari uang di tempat tersembunyi kalau mau kabur! Kamu butuh uang untuk hidup tanpa orang tuamu!” hasut Nindi.
Anisa berpikir sejenak,
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩