Diputuskan begitu saja oleh orang yang sudah menjalin kedekatan dengannya selama hampir tujuh tahun, membuat Winda mengambil sebuah keputusan tanpa berpikir panjang.
Dia meminta dinikahi oleh orang asing yang baru saja ditemui di atas sebuah perjanjian.
Akankah pernikahannya dengan lelaki itu terus berlanjut dan Winda dapat menemukan kebahagiaannya?
Ataukah, pernikahan tersebut akan selesai begitu saja, seiring berakhirnya perjanjian yang telah mereka berdua sepakati?
Ikuti kisahnya hanya di lapak kesayangan Anda ini.
Jangan lupa kasih dukungan untuk author, ya. Makasih 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duren Sawit
“Sayang. Nanti bantu aku, ya. Kamu tahu sendiri, kan, Ambu nggak ada uang untuk membiayai kuliahku,” kata Leon, sehari sebelum dia berangkat ke Jakarta.
Winda dan Leon menjalin hubungan sejak mereka masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Setelah hampir setahun berpacaran, mereka berdua terpaksa menjalani hubungan jarak jauh karena Leon mendapatkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi bergengsi di Jakarta. Menyadari jika biaya hidup di kota besar seperti Jakarta pastilah sangat mahal, Leon yang berasal dari keluarga sederhana tanpa rasa malu meminta pada Winda agar mensupport-nya.
“Aku kuliah di sana, kan, juga demi masa depan kita, Yang. Jika nanti aku udah jadi orang sukses, kamu juga, kan, yang akan menikmatinya,” lanjutnya sambil menatap Winda dengan tatapan penuh cinta.
“Iya, Bang. Nanti aku usahakan, ya,” balas Winda seraya tersenyum tulus.
Sejak saat itu, Windalah yang kemudian memenuhi hampir semua kebutuhan Leon. Winda bahkan rela mengambil kuliah weekend agar dia bisa fokus mengelola kafe peninggalan sang ayah demi dapat mengirim uang bulanan untuk kekasihnya itu.
Bukan hanya membantu Leon, tapi Winda juga membantu membiayai sekolah kedua adik Leon atas permintaan sang kekasih tentunya. Sebab, Ayah Leon mulai sakit-sakitan dan uang yang dihasilkan sang ibu sebagai buruh serabutan, habis untuk membiayai pengobatan sang ayah.
Selama ini, Winda tak pernah perhitungan. Dia benar-benar tulus membantu Leon dan keluarganya. Besarnya cinta Winda pada Leon, membuat dia menganggap bahwa keluarga Leon adalah keluarganya juga.
Sebenarnya, Winda tak perlu bersusah payah mengelola kafe karena sang ibu masih sanggup membiayai kuliahnya dari hasil kebun. Namun, demi dapat membantu Leon serta kedua adiknya, Winda harus mengelola kafe yang sempat mati suri setelah ditinggalkan sang ayah karena tak mungkin dia meminta pada ibunya.
“Apa salahku? Apa aku pernah membuat dia kecewa? Apa aku pernah membuat kesalahan fatal dan tidak termaafkan hingga Bang Leon mutusin aku begitu saja?” Winda terus meraba-raba, apa kiranya yang membuat Leon tiba-tiba memutuskannya.
“Terus tadi … tadi dia bilang kalau ada begitu banyak perbedaan. Perbedaan apa? Perbedaan yang mana? Kami bahkan sudah saling mengenal sangat lama dan selama ini semuanya baik-baik saja, ‘kan?”
Winda berjalan sambil melamun dan terus memikirkan kenapa Leon memutuskan dia secara sepihak dan begitu mendadak. Meski matanya menatap lurus ke depan, tapi tatapan gadis itu kosong hingga Winda tak menyadari jika di depannya ada seorang anak kecil yang sedang berjongkok untuk mengambil mainan miliknya yang barusan terjatuh.
“Aduh!”
Teriakan bocah laki-laki berusia sekitar empat tahun itu, berhasil menyeret Winda dari lamunan. Seketika, Winda berjongkok hendak menolong bocah kecil yang masih terduduk itu. Namun, tangan kekar seorang laki-laki menyingkirkan tubuh Winda dengan kasar dari anak tersebut.
“Kalau jalan, tuh, matanya difungsikan!”
Mendapati pelototan tajam dari laki-laki asing, Winda yang memang merasa bersalah tersenyum kikuk.
“Maaf.”
“Maaf-maaf! Enak aja minta maaf! Kalau dia kenapa-napa, bagaimana? Situ mau bertanggung jawab?”
Winda mengangguk dengan cepat meski dia belum tahu, harus melakukan apa sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang laki-laki itu katakan. Yang Winda pikirkan saat ini, dia hanya ingin segera terbebas dari masalah kecil ini dan cepat-cepat pulang ke kota asalnya. Dia sudah sangat lelah mendapati kenyataan pahit yang diberikan Leon barusan dan Winda tak ingin menambah masalah lagi, hanya gara-gara kejadian kecil yang tak sengaja dia lakukan.
Lagipula, Winda juga harus segera menemui ibunya dan mengatakan semua sebelum sang ibu melangkah lebih jauh. Sebab, tadi pagi sebelum Winda menemui Leon, sang ibu sudah melihat-lihat gedung yang rencana akan digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan. Sang Ibu bahkan sudah memutuskan tanggal pernikahan mereka berdua secara sepihak dan Winda diminta untuk menyampaikan pada Leon.
Boro-boro menyampaikan tanggal pernikahan yang sudah ditentukan sang ibu, Winda justru mendapatkan kejutan yang luar biasa mencengangkan. Bukan hanya diputuskan, tapi Leon ternyata juga akan menikah dengan wanita lain.
"Apa wanita itu lebih kaya? Ya, dia pasti lebih kaya sehingga Bang Leon tega berpaling dariku. Awas aja, ya. Aku juga bisa cari laki-laki yang lebih segalanya dari dia!"
"Tapi, cari di mana laki-laki seperti itu dalam waktu yang sangat singkat? Hanya dua Minggu. Ya, Ibu tadi sudah menentukan tanggalnya dan itu dua Minggu dari sekarang. Ya, Tuhan ... cobaan apalagi ini. Haruskah aku mengadakan sayembara untuk mencari suami?"
"Jangan kabur dulu! Kamu harus bertanggung jawab!"
Suara lelaki dewasa itu berhasil menyadarkan Winda yang ternyata kembali melamun. Winda lagi-lagi hanya bisa mengangguk, pasrah.
“Ayah, sakit,” rintih anak kecil itu yang ternyata lututnya berdarah.
“Sayang. Mana yang sakit?”
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang menghadapi Winda dengan meledak-ledak, kini berubah jadi sangat lembut ketika menghadapi sang bocah.
“Ini harus segera diobati, Sayang. Kalau tidak, nanti lutut Arsen bisa infeksi,” kata laki-laki itu dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
“Tapi Arsen enggak mau ke dokter, Ayah. Ayah Bisma aja yang obati lutut Arsen, ya.”
“Iya, Sayang. Nanti Ayah yang akan obati,” jawab Bisma sembari mengangkat tubuh sang bocah, lalu segera membawanya ke mobil.
“Hai, kamu! Ikut saya!” Perintah Bisma setelah mendudukkan Arsen di bangku depan. Laki-laki itu menatap tajam ke arah Winda yang masih berdiri mematung dan terlihat kebingungan.
“Sa-saya?” tanya Winda seraya menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, kamu! Kamu pikir, saya bicara sama siapa? Sama patung?” Bisma terlihat jengkel menghadapi Winda yang dinilainya sangat lemot.
"Tuhan. Apa laki-laki ini calon suami pengganti yang Engkau kirimkan untuk hamba?" batin Winda seraya menatap Bisma tanpa berkedip.
Winda akui, lelaki asing yang baru ditemuinya itu memiliki ketampanan di atas rata-rata. Meski marah-marah, Bisma tetap terlihat keren di mata Winda.
"Tapi, dia tadi dipanggil Ayah sama anak kecil itu. Nggak apa-apalah, yang penting dia bukan suami orang. Duda anak satu juga keren, kok. Dan kelihatannya, dia duda kaya. Duren Sawit. Lihat aja mobilnya, mobil mewah dan keluaran terbaru."
“Cepat!" teriak Bisma kembali, membuat Winda tersadar dari lamunan konyolnya.
Winda pun menepuk jidatnya sendiri. "Gara-gara Ibu, nih, pikiranku jadi kacau!"
"Saya enggak mau, ya, kalau sampai Arsen pingsan karena kehabisan darah!” lanjut Bisma masih dengan suaranya yang meninggi. Dan jangan lupakan tatapannya yang senantiasa menatap tak bersahabat pada Winda.
“Ck! Masak hanya terluka gitu aja, sampai kehabisan darah? Lebay, nih, orang!” Winda berdecak kesal sambil berjalan menuju mobil Bisma.
"Saya nggak peduli kamu bicara apa tentang saya!" sahut Bisma. Lalu, lelaki itu berlari kecil memutari mobil menuju sisi kanan.
"Dasar, manusia es! Kanebo kering! Dingin banget, nggak ada senyumnya sama sekali. Untung si Abang Duren Sawit tampan," gumam Winda sembari senyum-senyum tidak jelas.
bersambung ..
Semangat terus Kak.... qt selalu nungguin Bisma-Winda Up lg...❤🌹