Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Pemilik Phoenix Vanguard
Xander tiba di ruang pribadinya dengan langkah cepat, Ia melirik arlojinya sekilas sebelum menekan tombol di meja.
"Sophia, ke sini sekarang," perintahnya tanpa basa-basi.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. "Apa kau sudah mempersiapkan semua yang kuminta, Sophia?"
Sophia dengan langkah pasti berjalan menuju Xander. "Aku sudah mempersiapkan semuanya sesuai dengan yang Anda minta, Tuan."
Xander mengangguk kecil. "Rencana ini harus berhasil," gumamnya, setengah kepada Sophia, setengah pada dirinya sendiri. Ia menjatuhkan diri ke sofa, tangan mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangannya menerawang ke jendela besar yang menghamparkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Bayangan Mason dan Evelyn berdua kembali menghantui pikirannya.
Govin masuk, mengangguk hormat. "Tuan Xander, Mason dan Nona Evelyn baru saja tiba di gedung ini."
"Aku mengerti," jawab Xander singkat. Ia berdiri, lalu tanpa basa-basi melepas jas dan kemejanya. Otot-ototnya yang terpahat sempurna tampak jelas di bawah cahaya ruangan.
Sophia, yang berada di sudut ruangan, hampir kehilangan kendali. Wajahnya memerah, dan meskipun berusaha tetap profesional, matanya mencuri pandang dengan rasa kagum yang sulit disembunyikan.
Dia sungguh luar biasa, pikirnya, jantungnya berdegup kencang.
Xander menyadari Sophia tampak aneh. "Sophia, ada yang terjadi?" tanyanya dingin, sembari mengenakan kemeja baru dengan gerakan cepat dan rapi.
"T-tidak, Tuan," jawab Sophia gugup.
Xander menghela napas, menatap Sophia sejenak. "Baiklah. Aku berharap kau tidak mengecewakanku."
Ia melangkah keluar dengan Govin di belakangnya. Tiga pengawal pribadinya segera mengikuti ke arah lift.
Sophia mengembuskan napas panjang, segera keluar dari ruangan Xander, memasuki ruangannya sendiri. Ia duduk di kursi, menekan sebuah tombol di mana tak lama setelahnya sebuah layar berukuran besar tiba-tiba muncul di dinding.
"Jadi, itukah Evelyn yang merupakan mantan istri Tuan Xander?" tanya Sophia seraya mengepal tangan erat-erat di mana layar menampilkan sosok Evelyn dan Mason yang baru saja memasuki lobi gedung, “dia memang cantik, tapi sayangnya dia bodoh karena bisa-bisanya melepas pria sesempurna Tuan Xander. Jika kau tau siapa Tuan Xander sebenarnya, kau tentu akan sangat menyesali keputusanmu, Evelyn."
Sophia kembali menutup layar, merapikan sedikit penampilan. “Saatnya aku menyambut kedatangan orang bodoh lainnya, Mason."
Sementara itu, Xander dan Govin telah tiba di ruangan lain. "Govin, kau sudah menemukan pekerjaan untuk temanku?" tanya Xander sambil melangkah ke sofa.
"Sudah, Tuan. Ia bisa bekerja di sini sebagai petugas kebersihan," jawab Govin.
Xander tersenyum tipis. "Kerja bagus. Aku akan menemuinya setelah ini."
Govin menekan tombol di meja, dan layar besar di ruangan itu menyala, menampilkan Mason dan Evelyn yang tampak berbincang.
Xander menatap layar itu dengan rahang mengeras. Melihat Mason tersenyum sambil berbicara dengan Evelyn membuat darahnya mendidih. "Kebohongan itu... tidak akan bertahan lama," bisiknya penuh tekad.
Di saat yang sama di ruang tunggu yang megah, Mason duduk dengan gelisah. Sorot mata para pegawai yang sesekali mengarah padanya membuat punggungnya meremang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah perasaan berlebihan, namun ingatan tentang kejadian beberapa waktu lalu kembali menghantam pikirannya.
Kejadian itu, keputusan Phoenix Vanguard untuk memutus kerja sama secara sepihak dengan keluarganya, masih menjadi misteri. Apa benar hanya karena dirinya diduga menyinggung salah satu anggota keluarga Ashcroft? Orang yang bahkan tak pernah ia temui?
Mason menghela napas kasar, meremas pelipisnya. Kepalan tangannya mengencang, memikirkan bagaimana keluarganya bereaksi saat mendengar kabar tersebut. Ayahnya murka. Ancaman didepak dari keluarga dan kehilangan status ahli waris terus menghantuinya.
“Tuan Mason, apa Anda baik-baik saja?” suara lembut Evelyn memecah lamunannya. “Anda terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat.”
Mason tersentak, berusaha tersenyum untuk menutupi kegelisahannya. “Ah, tidak, Nona Evelyn.” Ia membetulkan dasinya dengan tangan sedikit gemetar. “Aku hanya gugup karena akan bertemu seseorang.”
Saat itu, seorang pegawai wanita menghampiri. “Tuan Dagger,” katanya sopan. “Silakan ikuti saya. Saya akan mengantar Anda ke ruangan Nona Sophia.”
Mason dengan cepat berdiri dengan senyuman yang lebar. Wajahnya berbinar seperti baru saja memenangkan undian. Pria itu sama sekali tidak menyangka jika direktur utama Phoenix Vanguard akan berbicara langsung dengannya, padahal ia sudah pasrah menerima nasib jika kedatangannya ke tempat ini kembali ditolak mentah-mentah.
"Nona Evelyn," ujarnya dengan bangga, "mari ikut denganku, aku akan mengenalkanmu dengan direktur utama Phoenix Vanguard. Aku pikir ini waktu yang tepat bagimu untuk bertemu dengannya."
Evelyn tentu saja senang ketika mendengarnya. Ini langkah besar yang baik untuk dirinya maupun keluarganya. Jika berhasil memperkenalkan diri dan menampilkan citra diri yang baik, tidak menutup kemungkinan perkenalan ini akan berlanjut pada kerja yang sama.
Namun, harapan itu sirna sekejap ketika pegawai wanita tadi menambahkan, “Maaf, Tuan. Hanya Anda seorang yang diminta menemui Nona Sophia saat ini.”
Raut kecewa melintas di wajah Mason, meski di dalam hatinya, ia merasa lega karena tidak harus mempertaruhkan harga dirinya di depan Evelyn jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. “Aku yakin kesempatan akan datang di kemudian hari."
“Tentu saja, Tuan Mason. Aku paham.” Evelyn tersenyum meski sedikit kecewa. Ia sadar bahwa kedatangannya ke tempat ini hanya sekedar menemani Mason. Bisa berkunjung ke tempat megah ini saja sudah membuatnya sangat bersyukur.
Ketika Mason pergi mengikuti pegawai, Evelyn tetap tinggal di ruang tunggu. Ia mengeluarkan ponsel untuk memeriksa pesan. Tidak ada yang menarik perhatian hingga jarinya tak sengaja membuka galeri foto.
Deretan gambar muncul, salah satunya adalah foto keluarga yang diambil beberapa tahun lalu. Di latar belakang, terlihat sosok Xander, hanya sebagian tubuhnya yang tampak. Namun, melihat pria itu membuat Evelyn tercenung.
Tanpa sadar, jemarinya mengusap layar, menyentuh sosok Xander yang tertangkap kamera. Ada sesuatu dalam senyum pria itu—membuat hatinya menghangat tanpa sebab.
"Astaga." Evelyn menggeleng, seolah ingin mengusir pikiran yang mulai menguasai dirinya. “Kenapa aku justru memikirkan Xander?”
Ia memasukkan ponsel kembali ke tasnya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Meski mencoba mengalihkan pikiran, perasaan aneh itu masih menggelayuti hatinya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Evelyn berbisik pada dirinya sendiri, menatap kosong ke lantai. “Kenapa aku malah memikirkan Xander?”
Evelyn menarik napas panjang, berlari perlahan, buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas. “Apa yang sebenarnya terjadi? Ke-kenapa aku justru mengingat Xander?”
Berbeda dengan Mason yang saat ini merasakan sangat tegang ketika berada di dalam elevator. la tidak henti-hentinya memeriksa apa yang terjadi untuk memastikan pertemuan ini berjalan lancar. Bertemu dengan Sophia adalah kesempatan langka yang tidak bisa didapat secara sembarangan. Jika pertemuan ini berhasil, maka masalahnya akan bisa terselesaikan.
Ketika elevator berbunyi lembut dan pintu terbuka, jantung Mason berdebar semakin kencang. Ia melangkah keluar dengan napas tertahan, menyusuri lorong hingga tiba di depan pintu ruangan besar. Pegawai wanita yang mengantarnya mengetuk pintu dengan sopan sebelum membukanya lebar.
“Nona Sophia, Tuan Mason dari keluarga Dagger sudah tiba,” kata pegawai itu.
"Biarkan kami berdua di ruangan ini selama sepuluh menit," suara Sophia terdengar lembut tetapi penuh otoritas.
Pegawai itu membungkuk ringan, lalu buru-buru keluar. Pintu tertutup, menyisakan Mason dan Sophia dalam keheningan yang tegang.
Sophia perlahan berbalik menghadap Mason, tatapannya tajam. Mata cokelatnya mengamati Mason dari atas hingga bawah, seolah menilai setiap detail penampilannya. Sebuah senyum tipis, hampir seperti ejekan, terukir di wajahnya.
Kau tidak bisa dibandingkan dengan Tuan Xander seujung kuku pun, tapi kenapa kau bisa sesombong itu, Mason? batin Sophia dengan meremehkan.
“Tuan Mason,” kata Sophia akhirnya. “Anda memiliki waktu sepuluh menit untuk menjelaskan semuanya kepada saya. Silakan duduk.”
“Ba-baik, Nona Sophia,” katanya terbata, lalu dengan cepat menjatuhkan dirinya ke sofa di hadapannya.
Sophia duduk dengan tenang di sofa lain, menyilangkan kaki dengan anggun. Tangannya bersandar ringan di sandaran sofa, namun tatapannya menusuk langsung ke arah Mason, membuat pria itu semakin merasa terpojok.
Sementara itu, Evelyn masih berada di ruang tunggu. Wanita itu terkejut ketika tiba-tiba seorang pegawai bertanya untuk mengikutinya.
"Nona Evelyn," panggil pegawai itu sopan, “saya diminta untuk mengantar Anda. Mohon ikuti saya."
Evelyn langsung tersentak. "Apa aku melakukan kesalahan, Nona?" tanyanya gugup. Sorot matanya menampakkan kekhawatiran yang dalam. Ia tahu, kesalahan sekecil apa pun di tempat seperti ini bisa berdampak buruk, tidak hanya untuknya tetapi juga keluarganya.
Pegawai itu tersenyum tipis, berusaha menenangkan Evelyn. “Tidak, Nona. Anda tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya ditugaskan untuk menunjukkan beberapa tempat menarik di gedung ini.”
"Ditugaskan?" Evelyn memicingkan mata, penuh selidik.
"Benar, Nona. Saya ditugaskan langsung oleh pemilik Phoenix Vanguard. Mari ikut dengan saya," jawab wanita bernama Grace sambil berjalan lebih dahulu.
Mata Evelyn membelalak. “Pemilik Phoenix Vanguard?” gumamnya, tubuhnya terpaku sesaat. Pemiliknya? Bagaimana mungkin seseorang yang begitu penting itu memerintahkannya untuk berkeliling? Ia bahkan tidak mengenal pria atau wanita itu.
Meski masih diliputi kebingungan, Evelyn akhirnya mengikuti Grace. Mereka memasuki elevator, yang bergerak halus menuju lantai paling atas gedung.
"Nona, aku tidak memiliki kepentingan apa pun di gedung ini," ujar Evelyn mencoba menjelaskan. "Dan aku bahkan tidak mengenal pemilik Phoenix Vanguard. Jadi, bagaimana mungkin—"
Grace memotong dengan sopan, “Saya hanya menjalankan perintah, Nona.” Sesaat kemudian, pintu elevator terbuka. “Dan saya bisa katakan, Anda adalah salah satu orang yang sangat beruntung.”
Evelyn tidak bisa menahan kekagumannya ketika menginjakkan kaki di juga atas. Wanita itu memasuki satu per satu ruangan dengan sorot kekaguman yang tidak luntur. Dekorasi tempat ini benar-benar sangat luar biasa, begitu memanjakan mata dan menenangkan hati. Semua barang tertata dengan apik dan sesuai porsinya. Terdapat banyak ruangan di lantai ini dan semuanya berada di puncak keindahan tertinggi yang pernah Evelyn lihat sebelumnya.
Evelyn menginjakkan kaki di taman yang berada di atas gedung. Terdapat air terjun, taman bunga, pepohonan rindang, kolam renang dan kubah indah menaungi dari atas. Semua yang ada di tempat ini tak lepas dari decak kagum Evelyn.
“Ini benar-benar luar biasa,” gumam Evelyn sambil tersenyum kagum.
Grace menunduk hormat. “Nona Evelyn, izinkan saya meninggalkan Anda sebentar.”
Evelyn mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari taman. Ia berjalan perlahan, menyentuh air mancur dengan ujung jarinya, menghirup aroma bunga-bunga segar, lalu duduk di sebuah bangku yang nyaman.
Saat sedang menikmati keindahan, suara langkah kaki mendekat membuat Evelyn menoleh. Jantungnya berhenti sejenak ketika melihat siapa yang datang.
Sosok Xander muncul, mengenakan jas mewah berwarna gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Penampilannya begitu menawan, bahkan lebih tampan dari yang bisa Evelyn ingat. Setiap langkahnya penuh percaya diri dan wibawa.
“Xa-Xander… apa itu benar-benar kau?”