Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Kenangan Kecelakaan
Bab 2: Kenangan Kecelakaan
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela perlahan membangunkan Arya. Ia masih merasa lelah, seolah tidur tidak cukup untuk menghapus rasa sakit di tubuhnya. Namun, rasa lelah itu bukan sekadar fisik. Jiwanya terasa terbebani oleh banyak pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Arya duduk di ranjang dengan perlahan, merasakan dinginnya lantai yang bersentuhan dengan kakinya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, di mana burung-burung berkicau dan angin pagi meniup dedaunan pohon mangga di halaman rumah.
“Kenapa semuanya terasa berbeda?” gumam Arya pelan. Ia mencoba mengingat kehidupannya sebelum peristiwa misterius itu. Dan tanpa peringatan, ingatan itu kembali seperti badai yang menghantam pikirannya.
***
Arya teringat dengan jelas. Kecelakaan itu terjadi pada awal Januari, tepat setelah liburan tahun baru ketika ia masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Hari itu cerah, dan Arya mengenakan seragam putih merah yang baru disetrika oleh ibunya. Sepulang sekolah, ia berjalan santai bersama teman-temannya, menuju gerbang sekolah yang menghadap ke jalan raya kecil di kota Sekayu. Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap.
Ketika Arya hendak menyeberang jalan, ia merasa dorongan keras dari belakang. Tubuh kecilnya terpental ke tengah jalan, tepat di jalur sebuah bus yang sedang melaju. Wajahnya sempat menoleh, dan ia melihat bayangan seseorang di pinggir jalan. Itu Dika—teman sekelasnya yang dikenal nakal dan iri dengan kepintaran Arya di kelas.
Waktu seolah melambat ketika bus itu menghantam tubuh Arya. Ia terlempar beberapa meter sebelum akhirnya jatuh di atas aspal. Dunia menjadi gelap dalam sekejap. Rasa sakit yang tak tertahankan menghantam seluruh tubuhnya—tangan kirinya patah, tulang rusuknya retak, dan wajahnya terluka parah akibat terseret di jalan.
Kecelakaan itu meninggalkan bekas yang mendalam, bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Dika tidak pernah dihukum atas perbuatannya. Orang tuanya yang kaya dan berpengaruh dengan mudah menyuap pihak sekolah dan polisi setempat untuk menganggap insiden itu sebagai "kecelakaan biasa."
“Dika…” gumam Arya, tinjunya mengepal. Nama itu terasa pahit di lidahnya, meski tahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa merasakan dendam itu, meski kini ia telah diberi kesempatan kedua.
***
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Arya mencoba meraba tubuhnya. Tidak ada bekas luka di tangan kirinya, yang sebelumnya patah. Dadanya terasa normal, tidak ada tanda-tanda retakan tulang yang pernah ia alami. Bahkan, tubuh kecilnya terasa lebih kuat dan sehat dibandingkan apa yang ia ingat dari masa kecilnya dulu.
Arya mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya yang kecil tapi kokoh. “Ini… berbeda,” pikirnya. Ia mencoba menekuk-nekuk jari tangannya, merasakan kekuatan yang baru. Rasanya seperti tubuh ini adalah versi sempurna dari dirinya yang dulu.
“Apakah karena dunia ini berbeda?” pikir Arya. Kesadarannya mulai menghubungkan titik-titik kecil. Tidak hanya tubuhnya yang berbeda, tetapi juga keluarganya. Rumah ini lebih besar dari yang ia ingat. Orang tuanya tampak lebih sehat dan bahagia. Dan, tentu saja, adik perempuan bernama Amanda—yang tidak pernah ada dalam kehidupan sebelumnya.
Arya menatap ke luar jendela lagi. Di luar sana, dunia tampak seperti yang ia ingat, tetapi dengan sentuhan keanehan yang halus. Ia tahu bahwa kehidupannya di dunia ini telah berubah secara mendasar.
“Ini bukan hanya kesempatan kedua… ini adalah dunia yang sama sekali berbeda,” pikir Arya, perasaan penasaran mulai menguasainya. Tapi pertanyaan yang lebih besar terus menghantuinya: seberapa besar dunia ini telah berubah?
Suara langkah kaki kecil mendekat. Sebelum Arya sempat bangkit dari ranjang, pintu kamar terbuka perlahan, dan wajah ceria Amanda muncul dari balik pintu. Gadis kecil itu membawa nampan berisi segelas susu dan sepotong roti panggang dengan selai kacang. Matanya yang besar berbinar melihat Arya yang sudah bangun.
“Kakak, sarapan dulu, ya! Kata Ibu, Kakak harus makan supaya cepat sembuh,” ucap Amanda dengan suara riang, meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang. Gadis itu kemudian duduk di tepi ranjang, memandang Arya dengan penuh perhatian.
Arya tersenyum canggung. Kehadiran Amanda masih terasa aneh baginya. Dalam kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah memiliki adik. Namun, gadis kecil ini tampak begitu tulus dan penuh kasih sayang, membuat Arya tidak bisa mengabaikannya.
“Terima kasih, Amanda,” kata Arya sambil mengambil gelas susu. Ia menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan cairan itu mengisi tubuhnya.
Amanda tersenyum lebar. “Kakak janji, ya, jangan sakit lagi. Amanda takut Kakak enggak bisa main di sungai lagi,” ucapnya polos.
Arya mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Gadis kecil ini begitu perhatian, seolah-olah mereka telah berbagi banyak kenangan bersama. Namun, bagi Arya, Amanda adalah sosok yang baru dalam hidupnya.
***
Tak lama kemudian, suara pintu terbuka lagi. Sulastri, ibunya, masuk ke kamar sambil membawa beberapa pakaian bersih. Ia tersenyum lembut melihat Arya yang sudah duduk tegak di ranjang.
“Arya, bagaimana perasaanmu? Masih sakit?” tanya Sulastri dengan nada penuh kasih. Ia menaruh pakaian di lemari kecil di sudut ruangan, lalu mendekati Arya untuk memeriksa dahinya.
“Sudah jauh lebih baik, Bu,” jawab Arya singkat. Meski ingin bertanya banyak hal, ia menahan diri untuk sementara. Ia memilih untuk mengamati terlebih dahulu.
“Baguslah. Nanti setelah sarapan, Ayahmu ingin bicara denganmu. Katanya ada sesuatu yang penting,” ujar Sulastri, menepuk bahu Arya dengan lembut sebelum keluar dari kamar.
Arya mengangguk, tetapi hatinya semakin penuh dengan pertanyaan. Ia menghabiskan sarapannya dalam diam, sementara Amanda terus mengoceh tentang kegiatan sehari-hari mereka. Gadis kecil itu bercerita tentang ayam-ayam di halaman, taman bunga milik Ibu, dan mainannya yang baru.
***
Setelah selesai makan, Arya berdiri dan berjalan ke arah cermin besar yang tergantung di dinding kamar. Ia menatap pantulan dirinya—anak kecil berusia sepuluh tahun dengan mata yang tajam dan tubuh yang sehat. Ia mendekatkan wajahnya ke cermin, mencoba mencari tanda-tanda dari kehidupan sebelumnya. Tapi semuanya terasa baru. Bahkan ekspresinya pun berbeda—lebih penuh energi, lebih optimis.
Arya menarik napas dalam. “Dunia ini bukan dunia yang aku tinggalkan,” pikirnya. Ingatannya tentang kehidupan sebelumnya begitu jelas—sebuah rumah kecil di kompleks asrama polisi yang sempit, ibunya yang lemah, dan ayahnya yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tapi dunia ini… berbeda. Rumah mereka luas, dengan perabotan yang elegan. Bahkan, mereka memiliki seorang pembantu yang membantu pekerjaan rumah tangga.
“Ayah dan Ibu pasti tahu sesuatu,” pikir Arya. Ia mulai menyusun rencana untuk mencari jawaban. Tidak mungkin semua perubahan ini terjadi secara kebetulan.
***
Setelah sarapan, Arya akhirnya duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Brata, yang mengenakan pakaian santai, terlihat lebih gagah dibandingkan apa yang Arya ingat. Ia menatap putranya dengan senyuman penuh kebanggaan.
“Arya, Ayah senang kamu sudah merasa lebih baik,” kata Brata, duduk di kursi rotan di dekat Arya. “Ada beberapa hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu, tapi kita akan pelan-pelan saja. Yang penting sekarang, kamu fokus untuk pulih.”
Arya mengangguk, mencoba menahan rasa ingin tahunya. “Terima kasih, Yah. Tapi… bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Brata mengangkat alisnya. “Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kamu ketahui?”
Arya ragu sejenak sebelum berkata, “Kenapa kita tinggal di rumah ini? Dan… kenapa semuanya terasa berbeda?”
Brata terdiam sejenak, senyum kecil bermain di bibirnya. “Itu pertanyaan yang bagus, Arya. Mungkin jawaban lengkapnya akan terlalu rumit untuk sekarang. Tapi satu hal yang bisa Ayah katakan, kita semua diberi kesempatan untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.”
Kata-kata Brata membuat hati Arya bergetar. Ia tahu bahwa ayahnya menyembunyikan sesuatu, tetapi ia memilih untuk menunggu. Jawaban itu hanya memperkuat keyakinannya bahwa dunia ini berbeda dari yang ia kenal.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa