Zia harus menelan pahit, saat mendengar pembicaraan suami dan juga mertua nya, Zia tak percaya, suami dan mertua nya yang selalu bersikap baik padanya, ternyata hanya memanfaatkannya saja.
Zia tidak bisa diam saja, saat tahu sikap mereka yang sebenarnya.
"Awas kalian, ternyata kalian selama ini hanya ingin memanfaatkan aku!" gumam Zia, mencekal tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukacoretan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aksi Roy
"Aaaaaaa" teriak seorang wanita dari arah kamarnya.
"Berisik! Anda juga mau seperti wanita tua ini," ujar Roy.
"Kak Roy, apa yang sudah kakak lakukan, kakak sudah membunuh ibuku, dengan kak Rangga," ucap Lisa, menutup mulutnya.
"Tenang saja, mereka tidak mati," jawab Roy, tersenyum.
"Kematian akhir yang mudah, saya akan membuat kalian lebih menderita, lebih dari ini," sambung Roy.
Lisa histeris, melihat ibu dan juga kakaknya yang sudah bercucuran darah, dan mereka sudah tak sadarkan diri.
"Telat" gumam Rey, saat masuk kedalam rumah Zia.
"Kak, apa yang sudah kakak lakukan," ucap Rey, sembari melihat Rangga dengan bu Minah sudah tergeletak.
"Melakukan yang seharusnya aku lakukan," jawab Roy, dengan tenangnya.
"Ayo kita pulang," ajak Roy.
"Tapi mereka bagaimana, Kak?" tanya Rey.
"Biarkan, kalo tuhan masih mengizinkan, mereka akan hidup, tapi kalo tuhan tidak mengizinkan, ya sudah takdirnya," jawab Roy.
"Hilangkan semua bukti, jangan biarkan mereka membuat celah," titah Roy.
Dengan helaan nafas kasar, Rey mengangguk.
"Jangan pernah mengatakan apapun kepada semua orang, kalo kamu masih ingin hidup tenang," bisik Roy, mengancam Lisa.
"Brengsek!" bentak Lisa.
"Siapa yang brengsek, bukannya, kakakmu dengan ibumu?" ucap Roy.
"Kakak sudah melewati batas," ucap Lisa.
"Aku hanya melakukan apa yang sudah mereka lakukan kepada adik kesayanganku," jawab Roy.
"Tapi ini keterlaluan, kak" ucap Lisa, tak terima.
"Kau juga tidak terima, saat keluargamu diperlakukan seperti ini, aku juga tidak terima adik-ku diperlakukan tidak baik oleh kalian," tekan Roy.
"Dengarkan ucapanku baik-baik! Kalo mau hidup tenang, diamlah," ancam Roy.
"Kak, Zia dibawa ke RS," sahut Rey.
"Ayo kita kesana," jawab Roy, cemas.
Lalu keduanya meninggalkan rumah tersebut, Roy mencemaskan adiknya.
Setelah menempuh satu jam lamanya, Roy dengan Rey sampai di RS tersebut, terlihat kedua orangtuanya sangat mencemaskan Zia.
"Ayah, Zia kenapa?" tanya Roy.
"Dia tiba-tiba pingsan," jawab ayah Dimas.
"Oh tuhan," ucap Roy, mengusap rambutnya.
Ceklek.
Terlihat sang dokter keluar dari ruangan Zia.
"Dok, bagaimana dengan anak saya?" tanya ayah Dimas.
"Keadaanya sangat mengkhawatirkan, karena mentalnya terguncang," jawab sang dokter, memperlihatkan kecemasannya.
"Maksud dokter bagaimana?" tanya ayah Dimas.
Sang dokter menghela nafasnya, dengan berat hati ia harus membicarakannya dengan keluarga pasien.
"Pasien bukan hanya terluka fisik, tapi mental juga terluka, mungkin kalian tahu penyebabnya, apa, tapi saya sarankan, kalo nanti pasien sadar, jangan menanyakan hal yang akan memicu emosinya," ucap sang dokter.
"Seperti yang kalian tahu, Zia memiliki kecemasan berlebihan, semenjak dulu, atau bisa disebut Anxiety disorder," sambung sang dokter.
"Lalu kami harus melakukan apa, dok?" tanya ayah Dimas, dengan raut cemas.
"Setelah Zia sadar, usahakan bujuk dia dengan lemah lembut, agar dia tidak merasa tersinggung, supaya dia mau dibawa ke psikolog," jawab sang dokter.
"Zia memiliki gangguan kecemasan yang berlebihan, atau bisa disebut, anxiety disorder, dan sekarang dia akan mengalami PTSD, gangguan yang terjadi setelah mengalami trauma yang sangat hebat, dan akan menyebabkan kesulitan mengontrol emosi dan stres." Dokter Anita menjelaskan kondisi Zia, yang sedang terbaring diatas ranjang RS.
Semua orang yang mendengar penjelasan dokter Anita, merasa lesu, dunianya seakan runtuh.
"Setidaknya, kalian harus berusaha tegar, agar bisa memberikan semangat untuk Zia," ucap dokter Anita.
"Kami akan berusaha bersikap baik-baik saja, agar Zia kembali seperti semula," jawab ayah Dimas.
"Kalo gitu, saya permisi dulu, kalo ada apa-apa, panggil saya," pamit dokter Anita.
"Baik dok, terima kasih," ucap ayah Dimas.
Lalu dokter Anita meninggalkan anggota keluarga Zia, ada perasaan kasihan dengan mereka.
"Ayah, bagaimana ini, anak kita..." ucap bunda Ita, yang sudah tidak memiliki tenaga.
Ayah Dimas hanya memeluk sang istri, agar sang istri tidak terlalu mencemaskan sang anak.
"Semua akan baik-baik saja, anak kita akan kembali seperti semula," ucap ayah Dimas.
Meskipun ia terluka, mendengar kondisi sang anak perempuannya, tapi ayah Dimas tidak mau membuat anak dan istrinya mencemaskan dirinya.
"Harusnya aku membunuh laki laki bajingan itu tadi," ujar Roy, yang sudah tidak bisa bersabar lagi.
"Jangan bertindak saat kita sedang emosi, semua akan berantakan," sahut ayah Dimas.
"Tapi Zia..." ucap Roy terpotong.
"Ayah tahu, ayah juga sangat mencemaskan Zia, tapi untuk sekarang, ayah minta fokus dengan kesehatan adik kalian, agar dia cepat pulih," jawab ayah Dimas.
"Benar kata ayah, kak, kita fokus dulu dengan kondisi Zia, nanti kita fikirkan harus melakukan apa selanjutnya," timpal Rey.
"Lagian kakak sudah memberikan mereka pelajarankan tadi," sambung Roy.
Roy hanya menghela nafas panjang, yang dibicarakan Rey dengan ayahnya memang benar, kalo ia bertindak sekarang, semua akan berantakan.
Namun perasaan marah dalam benak Roy, tidak bisa ia sembunyikan.
"Aku keluar dulu, kalo ada apa-apa, kabari aku," pamit Roy.
Lalu Roy meninggalkan ruangan tersebut, Roy akan menenangkan dirinya dulu.
Sampailah Roy disebuah taman RS.
Roy duduk, menatap kosong, ia memikirkan sang adiknya, yang sekarang sedang terbaring.
"Maafkan kakak, sudah gagal menjagamu," gumam Roy.
Saat Roy sedang melamun sendiri, tiba-tiba ada anak kecil yang menghampirinya, memberikan sebuah coklat.
"Om, kalo lagi sedih, boleh makan coklat ini," ucap anak kecil itu, menyodorkan satu bungkus coklat.
"Kata siapa, coklat bisa membuat orang tenang?" tanya Roy.
"Tidak menjamin tenang, dan baik-baik saja, tapi setidaknya, saat om sedang sedih, om bisa menghabiskan satu coklat ini," ucap anak kecil itu.
Bahasanya tidak terlalu Roy mengerti, karena anak itu masih kecil, dan masih belajar bicara.
"Mau memberikan coklat itu dengan om?" tanya Roy.
"Sebenarnya, ini coklat kesukaan aku, tapi untuk om tidak apa-apa," jawab anak kecil itu.
Lalu anak kecil itu membuka coklatnya, dan menyuapinya kedalam mulut Roy.
"Nama kamu siapa?" tanya Roy.
"Alisa..."
"Nama yang cantik, seperti hati dan juga wajahmu, sangat cantik," puji Roy.
"Terima kasih om, karena mamah ku cantik, jadi aku juga keturunan cantik," jawab Alisa.
"Sekarang dimana ibu kamu?" tanya Roy.
"Ibu sedang menebus obat," jawab Alisa.
"Obat untuk siapa?" tanya Roy.
"Untuk nenek, nenek dirumah sedang sakit," jawab Alisa.
"Terus kenapa kamu menjauh dari ibu kamu, nanti ada culik loh," ujar Roy.
"Aku bisa bela diri, dan mamahku sangat galak," jawab Alisa.
"Aku jadi penasaran, segimana galaknya sih," sahut Roy.
"Pokonya galak banget, om jangan mau dekat dengan mamahku," jawab Alisa.
Roy hanya tertawa melihat ekspresi wajah Alisa, setidaknya Roy sangat terhibur dengan kedatangan anak kecil yang bernama Alisa itu.
Roy merasakan tenang, berada didekat Alisa, Roy merasakan perasaan berbeda dengan anak kecil itu.
***
bakal berusaha trs mengganggu hdp zia trs
cepat sembuh zia